Hans-Dieter Flick, Kisah Sukses Komunikator Ulung Bersama Bayern Munchen

oleh Erwin Fitriansyah diperbarui 25 Agu 2020, 07:40 WIB
Pelatih Bayern Munchen, Hans-Dieter Flick, awalnya hanya bertugas sebagai pelatih caretaker. (dok. Bundesliga)

Bola.com, Jakarta - Tak mudah buat pelatih manapun untuk melatih dan membawa kesuksesan kala ditunjuk menangani Bayern Munchen. Klub asal Jerman yang sudah berusia 120 tahun ini sarat dengan tradisi akan pencapaian gelar.

Munchen sudah merengkuh gelar juara Bundesliga (Liga Jerman) sebanyak 30 kali. Sementara di ajang DFB Pokal (Piala Jerman) Die Roten meraih 20 trofi. Catatan ini adalah rekor terbanyak buat klub di Jerman.

Advertisement

Sedangkan di level Eropa, sebelum menang 1-0 atas Paris-Saint Germain pada final Liga Champions 2020, Munchen pernah mengangkat Piala si Kuping Besar sebanyak lima kali. Trofi lain sebetulnya masih banyak. Tapi buat klub sekelas Munchen, gelar selain Bundesliga, DFB Pokal, dan Liga Champions bisa dibilang hanya remah-remah rengginang.

Menjadi pelatih Munchen otomatis akan memiliki kemewahan berupa skuat yang bertabur bintang. Tak heran kalau Munchen lantas dijuluki dengan FC Hollywood, merujuk pada pemain bintang yang selalu dimiliki tim tersebut.

Namun dengan latar belakang tim raksasa, tradisi juara, berlimpah uang, dan skuat mentereng, sang pelatih tentu dibebani dengan target yang tinggi. Juara Bundesliga atau DFB Pokal saja kadang tak cukup memuaskan, kalau diraih dengan cara susah payah.

Tingkat kesulitan sang pelatih makin bertambah karena menangani kumpulan pemain bintang di dunia nyata tentu berbeda dengan menjadi manajer di gim Football Manager. Ego tinggi dari pemain bintang atau perseteruan antarpemain (seperti yang pernah terjadi di era Lothar Matthaus-Juergen Klinsmann), adalah hal yang harus dihadapi pelatih Munchen.

 

 

 

 

 

 

 

2 dari 6 halaman

Pengganti Niko Kovac

Niko Kovac (JAVIER SORIANO / AFP)

Tak perlu gagal jadi juara di akhir musim. Penampilan di lapangan yang buruk, plus hasil kekalahan di beberapa laga saja sudah cukup buat manajemen Munchen untuk memecat pelatih. Hal itu yang dialami pelatih asal Kroasia, Niko Kovac, yang juga pernah bermain buat Munchen di tahun 2000-2003.

Mantan pelatih Timnas Kroasia dan Eintracht Frankfurt itu mempersembahkan gelar Bundesliga, DFB Pokal, dan Super Cup Jerman 2019 di musim pertamanya. Namun pada musim kedua, Kovac dipecat usai Munchen dipermak Eintracht Frankfurt 1-5, pada pekan ke-10 Bundesliga, November 2019. Saat itu Munchen ada di posisi empat, tertinggal empat poin dari pemimpin klasemen sementara, Borussia Monchengladbach.

Meski baru memasuki pekan ke-10, kondisi Munchen saat itu sungguh tak kondusif. Permainan Robert Lewandowski dkk. tak enak dilihat. Munchen terlihat belum stabil setelah ditinggal pemain yang sebelumnya menjadi pilar macam Franck Ribery, Arjen Robben, dan Matt Hummels.

“Dalam waktu yang singkat pelatih baru harus bisa membuat Munchen berubah, menjadi tim yang memainkan sepak bola atraktif. Menemukan pelatih seperti itu seperti menemukan batu permata,” kata Jupp Heynckes, pelatih yang membawa Munchen meraih gelar treble di musim 20212/2013.

Nama Massimiliano Allegri dan Mauricio Pochettino sempat mengapung. Wajar, karena mereka pelatih top yang jobless. Namun manajemen Munchen malah mengangkat Hans-Dieter Flick, yang sebelumnya menjadi asisten pelatih Kovac, menjadi pelatih kepala dengan status caretaker.

Hansi, sapaan akrabnya, memang bukan orang yang asing. Semasa masih bermain, ia pernah lima musim berkostum Munchen pada 1985-1990. Hansi ikut mengantar Munchen meraih empat gelar Bundesliga dan satu DFB Pokal.

Tapi masalahnya, Hansi sudah lama tak menjadi pelatih kepala. Terakhir kali ia menjadi pelatih kepala adalah saat menangani 1899 Hoffenheim pada periode 2000-2005. Pada musim pertama, ia mengantar Hoffenheim menjuarai Divisi Empat dan promosi. Namun prestasinya hanya sebatas itu saja. Hansi gagal membuat klubnya promosi ke Divisi Tiga di empat musim berikutnya dan kontraknya tak diperpanjang Hoffenheim.

Setelah itu, ia kemudian bekerja sebagai asisten pelatih legendaris Italia, Giovanni Trapattoni, dan Lothar Matthaus di Red Bull Salzburg. Di klub Austria itu, Hansi bekerja sebagai Direktur Sport.

“Bekerja di bawah Trapattoni mengajarkan saya banyak hal, terutama soal taktik dan membangun relasi dengan pemain. Namun saya tak sepenuhnya cocok dengan taktik bertahan Trapattoni,” ujar Hansi.

 

3 dari 6 halaman

Asisten Pelatih Timnas

Joachim Low menyebut Jerman mempunyai pemain muda yang potensial dan memiliki kualitas yang mumpuni. (AFP/Robert Michael)

Pada 2006, Hansi diminta untuk menjadi asisten pelatih Timnas Jerman, Joachim Low. Ia ikut mengawal Timnas Jerman menjadi runner up Piala Eropa 2008, menduduki peringkat tiga di Piala Dunia 2010, mencapai semifinal Piala Eropa 2012 dan puncaknya menjadi Juara Dunia 2014.

Usai ikut mengantar tim Panser menjadi Juara Dunia di Brasil 2014, Hansi ditunjuk menjadi Direktur Sport Asosiasi Sepak Bola Jerman, hingga Januari 2017. Ia akhirnya kembali ke Bayern Munchen sebagai asisten Niko Kovac pada Juli 2019.

Direktur Sport Munchen, Hasan Salihamidzic, adalah orang yang mengontak Hansi dan menawarkan tugas untuk menggantikan Kovac. Saat itu Hansi dalam perjalanan menuju tempat latihan klub.

“Kami kebobolan banyak gol dan bermain tidak seperti Bayern yang seharusnya. Saya menawarkan perubahan. Kami harus bertahan sejak dari lini depan dan merebut bola secepat mungkin dari lawan,” kata Hansi.

Ujian pertama datang tiga hari setelahnya kala Munchen menjamu Olimpiakos di babak penyisihan Liga Champions Grup B. Hasilnya Munchen menang 2-0 lewat gol Robert Lewandowski dan Ivan Perisic.

Ujian berikutnya datang dengan level yang lebih tinggi di akhir pekan itu. Hansi memimpin Munchen menjamu Borussia Dortmund dalam laga der Klassiker. Munchen berhasil unggul telak 4-0 atas rival bebuyutannya.

Dua kemenangan itu membuat CEO Munchen, Karl-Heinz Rummenigge mengumumkan bahwa Hansi akan menjadi pelatih setidaknya hingga jeda musim dingin di akhir tahun. Pemain legendaris Jerman itu terkesan dengan metode Hansi melatih, penerapan taktik dalam pertandingan, dan caranya dalam berinteraksi dengan pemain.

“Taktik dan pengetahuannya soal sepak bola ada di level tertinggi,” kata Lewandowski soal pelatih barunya itu.

“Kami semua memiliki rasa pengertian yang bagus dengannya. Dia berhasil meyakinkan kami dengan visinya,” imbuh Benjamin Pavard, bek Munchen yang merupakan pemain Timnas Prancis.

Bulan madu Munchen dan Hansi berlanjut setelah Munchen menang 4-0 atas Fortuna Dusseldorf d Bundesliga dan menghabisi Red Star Belgrade 6-0 dalam lanjutan Liga Champions. Empat kemenangan beruntun, mencetak 16 gol, tanpa kebobolan. Sungguh catatan yang manis buat Hansi.

Namun semuanya berubah cepat karena Munchen kemudian takluk dua kali berturut-turut dari Bayer Leverkusen dan Borussia Monchengladbach. Hansi dan pasukannya bak mendarat keras ke bumi setelah sempat melambung tinggi. Posisi Munchen melorot ke posisi tujuh dan ketinggalan tujuh poin dari Gladbach yang masih memimpin klasemen di pekan ke-14.

 

4 dari 6 halaman

Non Teknis

Mertesacker di sesi latihan Jerman (AFP/ PATRIK STOLLARZ)

Selain urusan teknis, tugas Hansi yang tak kalah penting adalah menangani urusan non teknis, kaitannya dengan pendekatan pada pemain. Ia harus berinteraksi dan memimpin sekumpulan pemain bintang tim berjuluk FC Hollywood. Bukan hal yang mudah.

Soal ini, Hansi memang punya bakat hebat. Bek tengah Timnas Jerman di Piala Dunia 2014. Per Mertesacker, punya pengalaman soal kemampuan berkomunikasi Hansi dengan pemain.

Sebelum laga perempat final Jerman lawan Prancis, Mertesacker dipanggil pelatih Joachim Low. Saat itu Low memberi tahu bahwa ia akan melakukan perubahan dan Mertesacker tidak akan dipasang sebagai starter. Tempatnya akan digantikan oleh Jerome Boateng yang akan berduet dengan Matt Hummels.

“Saya shock. Dalam hati saya bertanya-tanya, saya pikir Low sudah mempercayai saya selama ini. Apa yang membuatnya mengambil keputusan ini?” kata Mertesacker yang selalu menjadi starter di tiga laga babak penyisihan.

Setelah menyampaikan keputusan soal perubahan itu, Low berlalu dan pergi meninggalkan ruangan. Low meminta Hansi untuk meneruskan percakapan dengan Mertesacker.

Saat itu Hansi memberi gambaran pada Mertesacker, situasi bisa kembali berubah jika Jerman lolos dari hadangan Prancis dan melaju ke semifinal. Artinya, ada kemungkinan Mertesacker kembali mendapatkan tempat di posisi starter.

Jerman kemudian menang 1-0 atas Prancis, menghancurkan Brasil 7-1 di depan pendukungnya sendiri, dan kemudian meraih gelar juara dunia setelah menang 1-0 atas Argentina di final. Pada tiga laga tersisa itu Mertesacker tak pernah mendapatkan lagi posisi starter. Namun ia tetap memiliki respek tinggi pada Hansi.

“Dia adalah komunikator yang fantastis. Seseorang yang rendah hati, sangat manusiawi, dan memiliki perasaan yang sangat natural,” kata Mertesacker.

“Dia juga selalu mengingatkan Low untuk memuji para pemain cadangan. Ia mengingatkan untuk memuji pemain yang berlatih keras, namun tidak mendapatkan kesempatan bermain,”.

Anggota timnas Jerman lainnya, Arne Friedrich, menyebut Hansi adalah orang yang terbuka, termasuk terhadap kritikan. “Dia memiliki waktu buat pemain dan sangat jujur. Hal itu menjadi kekuatan penting yang dimiliki seorang pelatih. Ia mirip dengan Heynckes dalam hal membangun chemistry dalam tim. Anda bahkan tidak akan pernah mendengar komplain dari pemain cadangan,” kata Friedrich.

 

5 dari 6 halaman

Perubahan Buat Mueller, Alaba, Davies

3. Thomas Mueller - Penyerang berusia 30 tahun ini memiliki kemampuan yang luar biasa dan peran penting dalam serangan Bayern Munchen di Liga Champions. Mueller mampu menghancurkan konsentrasi pemain bertahan lawan untuk memberikan ruang rekan setimnya mencetak gol. (AFP/Alexander Hassenstein/pool)

Faktor komunikasi ini, ketika dipadukan dengan soal teknis di lapangan menjadi salah satu kekuatan terbesar Munchen. Hal itu bisa dilihat pada beberapa contoh yang terjadi sepanjang musim 2019/2020.

Kala menerima tugas sebagai pelatih Munchen, Hansi melihat Thomas Mueller dalam situasi yang buruk. Pemain berusia 30 tahun itu tak lagi mendapatkan posisi inti di bawah pelatih Niko Kovac. Lantaran sudah mendapatkan hampir semua gelar bergengsi, seperti Bundesliga, DFB Pokal, Liga Champions, hingga Juara Dunia, Mueller dinilai sudah kehabisan motivasi. Namun Hansi punya pandangan lain.

“Mueller adalah pemain penting buat klub ini. Dia memenangkan apa yang bisa dimenangkan di klub. Dia adalah identitas yang penting buat Munchen. Di lapangan, dia adalah pemain yang cerdas dan menjadi pemimpin buat pemain lain,” kata Hansi soal Mueller.

Saat jeda musim dingin, Hansi melakukan pendekatan secara personal ke Mueller. Hasilnya mujarab. Mueller selalu mencetak gol di tiga laga awal setelah jeda musim dingin. Ia berperan besar membantu Munchen meraih posisi puncak klasemen tiga pekan setelah jeda. Pada akhir musim, Mueller mencatat rekor sebagai pemain terbanyak yang mencatat assist (umpan berbuah gol) dalam semusim, dengan koleksi 20 assist.

Dalam urusan teknis, Hansi juga menunjukkan kejelian dalam memaksimalkan potensi pemain dan kemampuan berkomunikasinya.

Saat masih dilatih Niko Kovac, David Alaba adalah pengisi pos bek sayap kiri. Pemain internasional Austria itu punya kemampuan bermain di beberapa posisi. Namun selama ini, Alaba memang lebih dikenal sebagai pemain bek sayap kiri.

Sejak Hansi menjadi pelatih kepala di laga lawan Olimpiakos, Alaba dimainkan di posisi bek tengah. Keputusan ini bukannya tanpa resiko. Pasalnya di posisi tersebut Munchen punya Jerome Boateng, Nicklas Sule, Benjamin Pavard dan Lucas Hernandez yang lebih sering dimainkan jadi bek tengah oleh Niko Kovac.

“Alaba adalah pemain yang sangat pintar. Dia mengambil inisiatif dalam berkomunikasi dengan pemain lain. Perkembangannya sebagai bek tengah sangat fenomenal,” ujar Hansi.

Kolaborasi Boateng-Alaba kemudian menjelma jadi duet bek tengah yang sulit ditembus lawan. Namun sesungguhnya, tentu tak mudah menerima kenyataan kehilangan tempat utama di tim inti buat pemain sekelas Pavard dan Hernandez yang juga merupakan anggota Timnas Prancis. Sekali lagi, faktor komunikasi ke pemain yang menjadi andalan Hansi yang jadi kunci dalam hal ini.

“Hansi membuat semua pemain merasa menjadi bagian penting dari tim. Bahkan seorang pemain bintang pun tetap memerlukan sedikit rasa cinta dan pelatih memerlukan empati tingkat tinggi buat memberikan hal itu. Hansi memiliki hal tersebut,” kata Juup Heynckes.

Kejelian lainnya dari Hansi adalah keputusan untuk memberikan tempat Alaba di pos bek kiri ke pemain belia yang baru berusia 19 tahun, Alphonso Davies. Posisi asli pemain internasional Kanada ini adalah sayap kiri. Hansi melihat kecepatan lari Davies, yang bisa mencapai 36 km/jam (termasuk pesepakbola dengan lari tercepat di Eropa), adalah modal bagus buat jadi peman bertahan.

“Dengan kecepatannya, Davies adalah pemain kunci kami untuk lolos ketika tim berada dalam situasi terpenjara. Dia punya kekuatan untuk kembali ke posisi dan merupakan pemain dengan passing yang bagus,” ujar Hansi.

Saat Munchen menghancurkan Barcelona 8-2 di babak semifinal Liga Champions, Davies memporak-porandakan sisi kanan pertahanan lawan. Davies juga yang membuat pemain idolanya sekaligus superstar Barca, Lionel Messi, mati kutu.

 

 

 

 

 

6 dari 6 halaman

Menepati Janji

Pelatih Bayern Munchen, Hansi Flick, mengangkat trofi juara Bundesliga usai melawan Wolfsburg di Volkswagen Arena, Sabtu (27/6/2020). Kemenangan itu membuat Bayern kokoh di puncak klasemen sekaligus mengunci gelar juara Bundesliga. (AP/Kai Pfaffenbach)

Hansi menepati janji mengubah gaya main Munchen dengan menerapkan pertahanan sejak dari lini depan. Pada laga final lawan PSG, pemain menyerang seperti Serge Gnabry dan Thomas Mueller mau habis-habisan berjibaku, meski resikonya mendapat ganjaran kartu kuning, untuk meredam pelari-pelari cepat seperti Angel Di Maria, Neymar, hingga Kylian Mbappe.

Setelah memenangkan gelar Liga Champions, Hansi mencatat rekor bersama Munchen karena menyapu kemenangan dalam 11 laga beruntun sejak dari babak penyisihan grup. Di Bundesliga, Hansi mencatat 25 kemenangan dari 28 laga di berbagai ajang, rasio kemenangan terbaik dalam sejarah klub.

Rasio poin per game Hansi di Munchen mencapai 2,71. Angka itu melebihi pencapaian terbaik Pep Guardiola 2,6 di musim 2013/2014 dan raihan 2,7 milik Juup Heynckes. Di bawah kendali Hansi, Munchen mencetak rata-rata tiga gol per pertandingan, rasio terbaik dalam sejarah klub. Sebuah hal yang sulit dibayangkan bakal terwujud jika melihat penampilan Munchen yang sempat terseok di awal musim.

“Hansi punya rencana yang jelas. Dia kembali mengenalkan sejumlah nilai dan pemain mengikutinya. Pemain mempercayai dia, begitu juga sebaliknya. Hal tersebut menjadi faktor yang sangat penting buatnya sebagai pelatih,” kata sang CEO Munchen, Karl-Heinz Rummenigge.

Pada bulan April, Munchen sudah menyodorkan kontrak sebagai pelatih permanen hingga 2023 pada Hansi. Saat ini ia sedang menjalani periode paling indah dalam karier kepelatihannya setelah mengantar Bayern Munchen meraih treble winner.

Namun tantangan sesungguhnya akan datang di musim-musim mendatang. Seperti ungkapan lama, mempertahankan akan lebih sulit ketimbang merebut. Hal yang sangat mungkin akan dihadapi oleh Hans-Dieter Flick bersama Bayern Munchen di Jerman dan Eropa.

Sumber: Bundesliga, NYtimes, UEFA, dan berbagai sumber

 

Berita Terkait