Bola.com, Makassar - Perjalanan karier Erwin Wijaya di sepak bola memang lebih banyak dihabiskan di luar Makassar, khususnya ketika Ho, sapaan akrabnya, bersatus pemain Diklat Salatiga dan kemudian menembus Timnas Indonesia junior. Sementara di PSM Makassar, Ho tidak pernah tampil selama satu musim penuh.
Meski begitu, bersama Juku Eja, Ho kemudian melegenda setelah menjadi pilar klub kebanggaan Makassar itu dengan raihan trofi juara Piala Perserikatan 1991/1992. Sukses itu juga sekaligus membuat Ho bersama Josef Wijaya menjadi pemain keturunan Tionghoa terakhir yang membawa PSM Makassar meraih prestasi tertinggi.
Itulah mengapa Ho mengaku mengidolakan dua pelatih yang dianggapnya berperan besar kepada kariernya di Timnas Indonesia junior dan PSM, yakni Omo Suratmo serta Syamsuddin Umar. Bagi Ho, ketika ditangani Omo, kemampuannya makin berkembang.
"Meski dikenal disiplin, Pak Omo dikenal telaten dan detail dalam mengembangkan kemampuan pemain," ujar Ho kepada Bola.com yang menyambangi kediamannya di Makassar, Selasa (17/11/2020).
Sementara Syamsuddin dinilai Ho sebagai pelatih berkarakter dan kaya strategi. "Pak Syam memiliki kelebihan dalam membaca kekuatan lawan. Beliau pun kadang memainkan pola yang membuat lawan kesulitan," papar Ho.
Ho merujuk strategi yang diterapkan Syamsuddin ketika PSM menghadapi Persib Bandung di semifinal Piala Perserikatan 1991/1992 yang berlangsung di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, 26 Februari. Sadar akan materi lawan lebih secara teknis, Syamsuddin memainkan pola tidak lazim, yakni 3-6-1.
Dari sebelas pemain yang diturunkan, hanya tiga pemain yang bernaluri menyerang, yakni Kaharuddin Jamal, Yusrifar Djafar, dan Alimuddin Usman. Itu pun dua nama terakhir diwajibkan aktif membantu pertahanan.
"Saya sendiri yang selama ini jadi starter disimpan dan baru dimainkan pada babak kedua," papar Ho.
Strategi ini terbukti efektif. Robby Darwis dan kawan-kawan kesulitan menembus pertahanan solid PSM. Tim Maung Bandung ketinggalan lebih dulu setelah tendangan penalti winger PSM, Alimuddin membuat Juku Eja unggul 1-0 pada menit ke-54.
Persib menyamakan kedudukan via penalti oleh Robby Darwis di menit ke-65. PSM kemudian memenangkan pertandingan lewat sundulan Kaharuddin memanfaatkan umpan silang Ho di menit ke-79.
"Selain kaya strategi, Pak Syamsuddin juga piawai memotivasi dan tetap tenang meski dalam keadaan tertekan. Ini yang membuat PSM saat itu sangat solid. Belum lagi dukungan total dari suporter. PSM akhirnya meraih trofi juara setelah 25 tahun puasa gelar," tutur Ho.
Selain pelatih, Ho menjadikan seniornya di PSM, Dullah Rahim, sebagai panutan. Bagi Ho, Dullah yang melegenda bersama Niac Mitra adalah sosok yang rendah hati dan mau berbagi ilmu dengan juniornya. Seperti diketahui, Dullah kembali ke PSM jelang gantung sepatu.
"Dullah sangat disiplin dalam menjaga kondisi. Seperti istirahat yang cukup dan tidak minum es. Ia sangat total bila tampil di lapangan," terang mantan pemain PSM Makassar itu.
Video
Bisnis Onderdil
Setelah gantung sepatu pada 1998, Ho memilih berbisnis sebagai pedagang onderdil bersama saudaranya. Ia tidak berniat menjadi pelatih meski sebagian besar hidupnya pernah dihabiskan di sepak bola.
"Sekarang situasinya sangat berbeda dibandingkan era Perserikatan. PSM Makassar juga lebih memilih mendatangkan pemain bintang daripada mengoptimalkan pemain lokal. Tapi, itu hal yang lumrah buat PSM yang selalu dituntut berprestasi," kata Ho.
Bagi Ho, saat ini, sepak bola hanya sekadar hobi. Itulah mengapa, ia mengaku tak masalah dua anak lelakinya lebih memilih fokus ke pendidikan.
"Saya sendiri sesekali ikut bermain dengan sesama mantan pemain atau dengan komunitas dokter yang hobi sepak bola. Ibaratnya sekadar cari keringat sekalian menjalin silaturahim," pungkas Ho mengakhiri pembicaraan.