Bola.com, Jakarta Kepergian Diego Armando Maradona sungguh membuat saya terhenyak, hanya dalam hitungan hari setelah kepergian striker legendaris Indonesia, Ricky Yacobi, Maradona juga mangkat karena serangan jantung. Sosok mereka yang sama-sama diakui FIFA sebagai figur yang berpengaruh di lapangan hijau pernah mengisi hati dan pikir saya dalam ruang terdalamnya pada era 80-an dan awal 90-an.
Almarhum Ricky terakhir bertegur sapa dengan saya pada peluncuran Shopee Liga 1 2020 di Hotel Fairmont Jakarta pada Februari silam sedangkan sosok yang cukup beruntung untuk bisa bertemu langsung dengan Maradona adalah almarhum Sumohadi Marsis, salah satu pendiri Tabloid Bola yang pernah menjadi mentor saya di bilangan Palmerah Barat.
"Jangan bercerita hal-hal yang biasa, yang banyak dibahas orang. Ceritakan pengalamanmu langsung, bagaimana perasaanmu, apa yang diendus kelima inderamu saat bertemu orang besar di dunia olahraga," kata Pak Sumo pada saat kami pertama jumpa di 1999.
"Saat saya berhasil meminta Maradona turun dari bus karena saya mengacung-ngacungkan kamera kacang (kamera saku), kami pun bisa berfoto berdampingan dan hanya satu yang saya ceritakan soal momen itu pada pembaca, soal aroma keringatnya yang khas usai bertanding membela Napoli."
Kiprah Mas Sumo ini juga yang kian menginspirasi redaktur saya, Arief Natakusumah, untuk semakin mengikuti kiprah Maradona dan Napoli sejak medio 80-an. Mas Nata lebih dari satu dekade lalu pernah bercerita kepada saya betapa ia sudah melihat Maradona berpotensi melebihi Pele justru ketika Maradona muda dikartu merah karena menjejalkan kakinya ke perut pemain Brasil di Piala Dunia 1982, jauh sebelum ia hijrah ke Napoli.
Bala di Tanah Spanyol
Maradona punya kualitas psikomotorik yang eksepsional dan visi super-istimewa untuk mencetak gol dan menjadi dirijen tim namun beban yang diembannya pada Espana 82 membuat emosinya sangat dekat dengan titik didih, terlebih ketika ia melihat rekan setim Juan Barbas terkena sambaran kaki Batista di kepala.
Secara reflek Maradona pun membalas menerjang perut Batista dengan sodokan kaki kiri. Saat itu di pengujung pertandingan fase grup kedua Argentina tengah tertinggal 0-3 (1-3) dan sang bintang yang baru berusia 21 tahun tidak ragu untuk mengambil sebuah tindakan dengan konsekuensi besar, di panggung besar pula.
Saya sedikit mempertanyakan pandangan Mas Nata soal mengapa momen ini justru jadi sebuah milestone di mata senior saya itu.
Belakangan, setelah melihat gambar yang lebih besar saya mendapatkan senarai deskripsi yang membuka mata saya bahwa justru peristiwa ini yang memantiknya pada sejumlah moment of greatness di dua piala dunia berikutnya. Tapi, kepahitan di Espana 82 masih terbawa saat ia berbaju Barcelona.
Terlepas dari kesuksesan membawa Blaugrana menyabet Piala Raja 1983, kepada wartawan Argentina ia mengaku bahwa insiden cedera engkel yang fatal dan perkelahian massal dengan para pemain Bilbao setahun kemudian justru lebih mendominasi memorinya di Barcelona.
Insiden yang terjadi di bawah tatapan mata Raja Juan Carlos bersama puluhan ribu warga Spanyol lainnya itu membuat Maradona ditabalkan sebagai musuh publik ketimbang sebagai hero Barcelona. Tanah Spanyol lagi-lagi mendatangkan bala untuknya.
Namun, resonansi yang luar biasa justru muncul setelah deretan kegelapan melanda karier pemain brilian ini. Maradona hengkang ke Napoli dan semangat solidaritas kaum terbuang di sanalah yang menghantarnya untuk menemukan jiwa mulia yang menghantar kepada kesuksesan sang maestro bola di Piala Dunia 1986.
Keberhasilan Pembersih Toilet
Bersama Napoli, warga Naples menyebutnya sebagai Il Nostro Dio alias "Sang Dewa Kami". Ironisnya, Maradona disindir mayoritas publik Italia yang cemburu pada keberuntungan Napoli mendapatkannya dengan sebutan sebagai pemain malang yang dibeli lewat uang Camorra, alias klan mafia Italia Selatan di bawah kendali Luigi Giuliano, yang tongkrongannya untuk generasi sekarang sangat mirip dengan mantan gelandang Manchester United, Marouane Fellaini.
Ya, warga Naples pada era tersebut, bahkan hingga sekarang, dianggap sebagai penghuni jamban Italia.
Ilustrasi sadis ini bisa lebih benderang setiap kali kita membaca poster-poster yang dipajang pendukung lawan setiap kali Napoli datang bertandang: "Selamat Datang Tim Kolera", "Napoli Tiba, Siapkan Desinfektan", "Masker Tak Bisa Menahan Bau Toilet Naples". Napoli dianggap sebagai ibukota Italia Selatan yang identik dengan kemiskinan, bus sekolah yang bobrok, kekumuhan lokasi pelacuran, got mampet, dan sarang penyakit.
Maradona pun datang dianggap sebagai tukang bersih-bersih jamban dalam arti yang satire, dan ternyata dia sangat berhasil sebagai "pengharum WC".
Semua pembersihan kekotoran yang jadi latar belakang warga kelas dua di belahan bawah Italia itu terwujud nyata lewat suara riuh rendah 75 ribu rakyat Stadion San Paolo ketika meraih scudetto Serie A 1986/87. Trisula serangan Napoli saat itu adalah Maradona, Bruno Giordano dan Antonio Careca, namun hanya Maradona yang mural-nya abadi di dinding gedung tinggi dan gang-gang sempit kota Naples.
Nyala Lilin Abadi di Buenos Aires
Gairah sebagai sosok Robin Hood yang merampas kekayaan penduduk Italia Utara dan mempersembahkannya untuk masyarakat selatan negara semenanjung berbentuk sepatu tersebut itulah yang menjadi bahan bakar Maradona ketika tampil impresif juga di Mexico 86, setahun sebelum Napoli menjadi kampiun Serie A.
Sayangnya kejayaan bersama kaum pinggiran ini menjadi satu paket dalam cerita sisi gelap yang dialaminya bersama Giuliano. Klan Camorra, yang hidup dari uang preman dari hasil mengutip omset mayoritas perdagangan komoditas yang masuk di pelabuhan Italia Selatan, berusaha menyandera Maradona.
Maradona dijerat dengan kokaina dan wanita. Kejahatan bisnis Camorra itulah yang terus menghantui kiprah kesehatan mental dan fisik sang bintang, bahkan sampai ketika ia pergi meninggalkan Napoli setahun setelah Piala Dunia 1990. Pada panggung Italy 90 uniknya Maradona pun memecah dua bumi Tricolore ketika Argentina jumpa Italia di semifinal.
Bayangkan, duel hidup-mati ini terjadi di kandang Napoli, San Paolo, yang dipadati 60 ribu penonton. Mayoritas warga Italia selatan di luar stadion dan di depan layar kaca saat itu malah mendukung Maradona dan Argentina sebagai bentuk balas dendam kepada kaum menengah dan elite negerinya yang bertahun-tahun merendahkan mereka. Argentina pun lolos ke final setelah menang adu penalti.
Hanya figur sekelas dewa sajalah yang punya kemampuan mengaduk-aduk perasaan seperti yang Maradona lakukan kepada orang Spanyol, Italia, Argentina, hingga seluruh penghuni planet bumi. Ribuan lilin menyala abadi di Buenos Aires dan Napoli sejak kepergiannya pekan ini.
Keluarga dekat menyebut almarhum pergi Rabu malam karena gerogotan gaya hidup urakan yang mengkonsumsi ketahanan fisiknya, saya menilai ia meninggal karena efek kehebatannya di dalam dan luar lapangan. Semangat kaum pinggiran yang mendarahi gemerlap kariernya juga membuatnya terperosok ke dalam dunia penuh narkotika. Sang dewa tenggelam dalam lautan kesaktiannya. Saya tidak akan melupakanmu Maradona, kau satu-satunya pahlawan sepak bola yang akrab berangkulan dengan gelap dan terang. Tak ada yang lain.
*Penulis adalah wartawan, VP Operations dan Editor in Chief untuk Bola.com serta Bola.net, kolom ini berisi wawasan pribadi yang terlepas dari sikap kolektif insitusi.