Bola.com, Jakarta - Pagi itu matahari baru seperempat perjalanan dari peraduannya menuju langit semesta. Namun, Khadijah Safitri sudah bergegas untuk menuju depan layar laptopnya.
Itu adalah rutinitas yang sudah dijalani Khadijah sejak pandemi COVID-19 menyerang Bogor, Jawa Barat, dan seluruh penjuru dunia. Sebagai guru Sekolah Dasar Islam Terpadu, wanita yang sudah menginjak usia 40 tahun itu harus memutar otak agar metode pembelajaran terus berjalan.
Dengan modal hanya sikat gigi, tanpa mandi pagi, Khadijah tetap percaya diri menuju layar laptop. Sebagai wali kelas VI, beban besar tentu berada di pundaknya untuk mengantarkan anak muridnya ke pintu kelulusan dengan nilai maksimal.
"Assalamualaikum, nak. Bagaimana kabarnya hari ini? Apa saja kendala belajar dari rumah?," sapa Khadijah yang menjadi pertanyaan wajib setiap membuka kelas virtual.
Menurut Khadijah, dirinya harus mengetahui kondisi psikologis setiap muridnya sebelum memulai pembelajaran. Langkah itu dilakukan agar bisa memastikan materi yang akan diberikan bisa diterima dengan baik oleh muridnya.
Pertanyaan demi pertanyaan dari yang bersifat pribadi hingga general ditanyakan olehnya. Ritual itu rutin dilakukan demi tetap terciptanya ikatan emosional antara guru dan murid.
Maklum, semenjak Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberlakukan sistem pembelajaran online, tak ada lagi kegiatan tatap muka. Situasi yang membuat hubungan antarmanusia seperti guru dan murid terbatas layar laptop.
"Hal semacam ini harus dilakukan. Supaya murid tidak stress setiap berkomunikasi dengan guru. Saya yakin dengan suasana pembuka yang lebih cair, murid bisa lebih bersemangat dalam mengikuti pembelajaran," ucap wanita yang sedang menyelesaikan program Magister di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA itu.
Khadijah sadar, metode pembelajaran virtual tak bisa dijadikan acuan untuk penilaian muridnya. Penyebabnya adalah metode pembelajaran seperti ini belum sepenuhnya efektif, apalagi dalam situasi pandemi COVID-19.
"Pembelajaran virtual tak terlalu efektif. Murid harus menaruh konsentrasi lebih saat pembelajaran karena suasana yang berbeda jauh dengan belajar di sekolah dengan metode tatap muka," tegas Khadijah.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Tak Sepenuhnya Efektif
Rampung menggelar kelas online pada pukul 11.00 WIB, Khadijah Safitri bergegas untuk istirahat sejenak. Seusai menyantap makan siang, tidur siang menjadi pilihan yang terbaik untuk memulihkan stamina.
Maklum, pada pukul 16.00 WIB nanti dirinya yang kebagian menjadi murid. Khadijah akan mengikuti kelas dari program Magister Pendidikan Dasar yang sedang ditempuhnya.
"Paginya saya yang mengajar, kalau sorenya kebagian saya yang belajar," ucap Khadijah sembari tertawa.
Situasi yang lebih cair justru berbeda dalam pembelajaran virtual yang digelar Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA. Maklum, para mahasiswanya mayoritas merupakan guru yang setiap hari mengajar.
Perkuliahan tetap diawali dengan ceramah khas dosen yang terasa seperti mendengarkan podcast. Silang pendapat dan pendekatan akademik sesekali terjadi, namun tetap saja lebih banyak didominasi dosen yang memberikan materi.
Khadijah akhirnya perlahan memahami perasaan yang dialami muridnya selama ini. Pembelajaran dengan komunikasi satu arah tidak sepenuhnya efektif.
"Ternyata pembelajaran dengan metode komunikasi satu arah saat penyampaian materi cenderung membosankan. Saya merasakannya secara langsung sehingga materi tidak efektif dan murid sudah bosan," ucap Khadijah.
Fakta yang baru didapat Khadijah setelah beberapa bulan mengajar melalui metode pembelajaran virtual. Fakta itu pula yang membuatnya ingin sedikit memodifikasi gaya penyampaian materi kepada murid agar tidak cepat bosan.
Tantangan yang tentu tidak mudah. Mengingat murid Khadijah hanyalah anak berusia 11 tahun yang tentu saja memiliki perasaan tidak stabil ketika mengikuti pembelajaran secara virtual pada masa pandemi COVID-19.
Pro Kontra
Kasus positif COVID-19 di Indonesia memang belum menunjukkan tanda-tanda penurunan. Namun, muncul wacana dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk segera menyelenggarakan pembelajaran di sekolah pada Januari 2021.
Rencananya yang tentu saja menuai pro kontra. Di satu sisi, tak adanya jaminan akan kesehatan pada murid dan guru selama berada di sekolah. Situasi inilah yang saat ini sedang ditimbang-timbang.
Wakil Ketua DPR, Azis Syamsuddin, meminta pemerintah untuk meninjau ulang rencana pembelajaran tatap muka pada awal 2021. Menurutnya, rencana semacam ini membahayakan keselamatan siswa.
"Meningkatnya covid-19 ini harus menjadi perhatian bagi kita semua tidak terkecuali di dunia pendidikan. Harus dipikirkan dengan matang dampak yang akan terjadi jika pembelajaran tatap muka tetap diberlakukan, terlebih banyak orang tua murid yang merasa keberatan dan menolak wacana tersebut," ucap Azis Syamsuddin.
Di sisi lainnya, murid sekolah lebih menyambut antusias pembelajaran tatap muka. Begitu juga dengan minoritas dari orang tua murid yang kewalahan membantu pembelajaran anaknya melalui virtual.
Jezilla Amanna Nousra satu di antara murid yang tidak setuju diadakannya pembelajaran virtual. Siswi SMA Islam Terpadu AT Taufiq Bogor itu menilai metode pembelajaran virtual lebih melelahkan ketimbang tatap muka di sekolah.
"Banyak tugas, terkadang tugasnya hanya diberikan saja tanpa adanya pemberian materi. Terus terang, saya mulai jenuh belajar virtual gini. Lebih enak di sekolah, bisa belajar dan bertemu dengan teman-teman," ucap Jezilla.
Perasaan yang tentu tak hanya dirasakan Jezilla, melainkan mayoritas murid sekolah di Indonesia. Jadi, hal inilah yang juga perlu dipertimbangkan oleh pemangku kepentingan di Indonesia. Agar terciptanya suasana yang kondusif meskipun di tengah pandemi COVID-19.
Kampanye 3M
Pemerintah saat ini sedang mengkampanyekan gerakan 3M untuk menekan angka penyebaran COVID-19. Gerakan 3M meliputi Menggunakan masker, Menjaga jarak, dan Mencuci tangan.
Hal inilah yang menjadi tantangan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terkait rencana mulai menggelar pembelajaran tatap muka pada awal 2021. Pemerintah harus mampu menjamin, seluruh sekolah bisa menyediakan segala kebutuhan untuk mendukung rencana 3M tersebut.
Berbagai hal itulah yang menjadi alasan orang tua murid masih khawatir untuk melepas anaknya ke sekolah. Contohnya adalah Yuliana Laila, yang mendukung rencana program belajar tatap muka dengan sejumlah catatan.
"Sekolah harus mampu menyediakan segala fasilitas yang mendukung rencana 3M itu. Supaya kami para orang tua bisa tenang melepas anak kembali ke sekolah," ucap Yuliana.
Mendukung program 3M bisa dilakukan sekolah dengan cara menyediakan tempat cuci tangan, melakukan pembatasan murid pada setiap kelas demi mendukung adanya jaga jarak, dan mewajibkan semua murid yang bersekolah untuk menggunakan masker.
"Bila perlu sekolah menyediakan masker gratis. Hal ini dilakukan agar setiap periode tertentu murid bisa mengganti masker," ucap Yuliana.
Kini, keputusan akhirnya tetap berada di tangan pemerintah. Tentu segala keputusan akan menulai pro kontra.