Memori Eks Niac Mitra di Galatama: Nama Panggilan Aneh dan Tiga Kali Patah Tangan

oleh Abdi Satria diperbarui 12 Jan 2021, 12:00 WIB
Mantan pemain NIAC Mitra, Eduard Mangilomi. (Bola.com/Abdi Satria)

Bola.com, Jakarta - Eduard Mangilomi mengenang kariernya saat berseragam Niac Mitra. Di sana ia akrab dipanggil dengan nama Edo meski di tanah kelahirannya, Kupang, mantan winger lincah itu biasa disapa Edu. Terselip cerita lucu mengenai hal tersebut.

Aksi lincah Eduard Mangilomi sebagai penyerang sayap kanan Niac Mitra Surabaya kala itu termasuk paling ditunggu publik Stadion Tambaksari. Kolaborasinya bersama Hanafing di sayap kiri dan M. Zein Alhaddad (striker) jadi momok menakutkan buat tim lawan pada kompetisi Galatama musim 1987-1988.

Advertisement

Dalam channel youtube Omah Balbalan, Eduard mengungkap sejumlah kenangannya bersama Niac Mitra. Di antaranya, nama panggilan Edo yang melekat dengannya sampai sekarang.

Menurut Edo, panggilan itu berawal dari Supangab, seorang penyiar radio di Surabaya yang bertugas menyebut nama-nama pemain yang tampil. "Mungkin karena nama saya terlalu panjang untuk disebut, Supangab sengaja memberikan kesempatan kepada suporter untuk meneruskan kalimatnya. Dan suporter menyebut nama Edo. Padahal, waktu di Kupang saya dipanggil Edu," kenang Edo.

Terkait panggilan ini, Edo menyimpan cerita lucu ketika rekannya dari Kupang ingin menemuinya di mes Niac Mitra yang berlokasi di kawasan jalan Dr.Soetomo Surabaya. Temannya itu sempat kebingungan ketika bertemu dengan penjaga mes yang bilang tak ada nama Edu, yang ada hanya Edo.

 

Video

2 dari 3 halaman

Cedera Patah Tangan

Pada kesempatan itu, Edo juga menceritakan masa sulitnya ketika bergabung dengan Niac Mitra. Datang dari Kupang sebagai pemain yang direkomendasi khusus oleh M. Basri, pelatih Niac Mitra, Edo langsung dihadapkan pada situasi sulit. Ia langsung terkena cedera engkel karena bertabrakan dengan kiper pada awal latihan. "Engkel saya bengkak dan memaksa saya harus menepi," ungkap Edo.

Setelah sembuh, Edo kembali berlatih. Pada momen uji coba Niac Mitra dengan Colombo, klub internal Persebaya, Edo mengalami cedera patah tangan yang bisa membuat terancam absen untuk waktu yang lama.

Setelah berobat ke dokter, tangannya digips dan diberi waktu istirahat dalam hitungan bulan. Tapi, baru dua minggu, Edo datang ke dokter untuk meminta gipsnya di buka. Tapi, sang dokter tidak mau. "Saya pun keluar dan bertemu perawat. Saya bilang, dokter sudah memberi izin untuk membuka gips itu."

Menurut Edo, ia nekat mengambil tindakan itu karena tak tahan hanya berdiam diri di mes pemain. Sepulang dari dokter, ia pun melakukan berbagai cara untuk mempercepat pemulihan cederanya. Di antaranya rutin melakukan terapi uap air panas dan push-up untuk menguatkan otot tangannya.

Setelah cederanya mulai membaik, nama Edo pun masuk line-up. Tapi hanya sebagai pemain cadangan. "Itu juga karena permintaan saya sendiri kepada Pak Wenas (pemilik Niac Mitra). Saya tidak mau tampil di lapangan tanpa permainan yang optimal. Tapi, saya bertekad dalam hati akan menjadi pemain inti yang tak tergantikan," tegas Edo.

Edo membuktikannya dengan menjadi pilar Niac Mitra ketika meraih trofi juara Galatama 1987-1988. Musim berikutnya, ia kembali mengalami patah tangan untuk kali kedua setelah berduel dengan Jaya Hartono, mantan rekannya di Niac Mitra yang membela Petrokimia Putera.

"Jaya langsung meminta maaf tapi saya tidak marah. Saya yakin Jaya tak sengaja melakukannya. Apalagi kami sudah berteman lama dan statusnya sebagai pemain timnas," papar Edo.

 

3 dari 3 halaman

Ngeyel

Berbeda dengan cedera sebelumnya, Edo terpaksa menjalani operasi. Kebetulan kompetisi baru saja berakhir. Saat sedang dalam pemulihan, rekannya, Hanafing memintanya bergabung dengan tim yang sudah berganti nama menjadi Mitra Surabaya.

"Hanafing bilang, itu kan cuma cedera tangan. Nanti juga sembuh. Saya pun ikut latihan dan membela Mitra di turnamen Piala Tugu Muda di Semarang."

Di turnamen itu, cedera tangan Edo kembali kambuh setelah bertabrakan dengan pemain Assyabaab. Ia pun pulang ke Surabaya untuk berobat.

"Dokter Sukarna yang merawat saya sempat marah, kenapa saya tetap ngotot main meski belum pulih. Saya bilang, sebagai pemain, hidup saya di sepak bola. Dia pun mengerti dan melanjutkan pengobatan dengan menambah panjang pen (besi) di tangan saya," pungkas Edo.

Berita Terkait