Bola.com, Jakarta - Jalan takdir tak ada yang tahu. Abdul Khamid, mantan pemain Niac Mitra yang pernah dielu-elukan publik Gelora 10 November, kini menikmati 'kariernya' sebagai pelatih Sekolah Sepak Bola (SSB) dan tukang ojek.
Kelebihan Abdul Khamid dalam mengeksekusi bola mati jadi andalan Niac Mitra di kompetisi Galatama dan sejumlah turnamen yang mereka ikuti pada pertengahan sampai akhir 1980-an. Pencapaian terbaik Khamid adalah membawa Niac Mitra meraih trofi juara musim 1987/1988.
Sebelumnya, Khamid sudah memberi sinyal positif buat klubnya itu dengan menjadi pencetak gol terbanyak pada Piala Surya 1986 dan Piala Bentoel 1987 plus trofi juara pada dua turnamen pra musim itu.
Di Niac Mitra, Khamid yang sempat berstatus sebagai gelandang di PSSI Garuda kembali bermain di posisi favoritnya yakni stoper atau libero. Di lini belakang tim yang diasuh M. Basri, Khamid bersama Freddy Muli dan Jamrawi jadi tumpuan untuk menghalau serangan lawan. Khusus buat Khamid, ia menjadi pilihan utama saat Niac Mitra mendapatkan tendangan bebas atau penalti.
Dalam channel Youtube Omah Balbalan, Khamid mengungkap resep dirinya bisa dikenal sebagai eksekutor bola mati. Menurut Khamid, ia mendapatkan kelebihan itu secara alami.
"Dulu belum ada latihan khusus untuk mengembangkan kekuatan otot kaki seperti sekarang yang dilakukan di gym. Saya melatih diri lebih banyak berdasarkan feeling dan naluri serta melakukan tendangan itu secara berulang-ulang," kenang Khamid.
Kemampuan Abdul Khamid sebagai eksekutor bola mati semakin berkembang ketika memperkuat PSSI Garuda yang diasuh oleh pelatih asal Brasil, Joao Barbatana yang memasangnya di posisi gelandang. Ia pun setiap hari mengasah kemampuannya itu diluar latihan reguler tim ditemani Hermansyah, kiper PSSI Garuda yang belakangan menjadi legenda Timnas Indonesia.
Video
Kenangan Bersama Niac Mitra
Meski dikenal piawai sebagai eksekutor, Khamid pernah juga gagal. Pada sebuah turnamen di Stadion Gelora 10 November, pendukung Niac Mitra yang selalu memujanya berbalik mencacinya ketika tendangan penaltinya gagal menjebol gawang PSIS Semarang. Yel-yel 'Khamid maling' bergema di sekeliling stadion ketika ia memegang bola.
Beruntung mental Khamid tak jatuh. Ia malah semakin tertantang ketika Niac Mitra kembali mendapat penalti pada laga yang sama. Pada awalnya, striker Niac Mitra, M. Zein Alhadad sudah siap mengambil penalti itu. Tapi, Khamid berinsiatif meminta bola itu dan gol terjadi. Dalam sekejab, pendukung Niac Mitra kembali serentak melontarkan teriakan pujian dengan kalimat 'Khamid bukan maling'.
Khamid juga dikenal sebagai eksekutor penalti yang kerap terang-terangan mengatakan ke kiper lawan ke mana bola akan diarahkannya. Gol penalti yang paling diingatnya pada situasi itu terjadi ketika Niac Mitra ditantang Arseto Solo. Ia berhasil memperdaya kiper Arseto, Eddy Harto yang juga andalan timnas.
"Saya percaya diri saja. Saya berkeyakinan, kalau bola diarahkan dengan benar dan keras, kiper mana pun akan sulit menjangkaunya," ungkap Khamid.
Pelatih SSB dan Tukang Ojek
Usai pemilik Niac Mitra, A. Wenas membubarkan tim pada 1990, Khamid sempat memperkuat Mitra Surabaya, Persegres Gresik dan Persiba Balikpapan. Setelah gantung sepatu, ia kini lebih banyak menghabiskan waktunya sebagai pelatih SSB Bina Bola Assyabaab Bangil, tim pertamanya menggeluti sepak bola.
"Melatih pemain usia muda jadi hiburan tersendiri. Saya berharap bisa melahirkan pemain yang bisa mengikuti jejak saya," kata Khamid.
Diluar itu, Khamid menjadi tukang ojek untuk menutupi kebutuhan keluarganya. Pendidikanya yang terhenti di bangku SMP karena fokus pada sepak bola membuatnya kesulitan mendapatkan pekerjaan formal. "Saya syukuri saja. Bagi saya ini adalah bagian dari perjalanan hidup," pungkas Khamid.