Bola.com, Jakarta - Masyarakat Tionghoa di seluruh dunia sedang meyarakan Tahun Baru Imlek 2021, Jumat (12/2/2021). Tak terkecuali dengan masyarakat di Indonesia yang memiliki darah keturunan Tionghoa.
Sepak bola Indonesia juga punya memori bahagia bersama pemain-pemain keturunan Tionghoa. Contohnya adalah PSM Makassar yang secara sejarah tak bisa dipisahkan dengan kontribusi pemain keturunan Tionghoa.
Sejumlah pemain keturunan Tionghoa pernah memperkuat PSM Makassar, bahkan hingga menjadi bagian penting saat meraih trofi pada 1956/1957, 1957/1959, 1964/1965, 1965/1966, dan 1991/1992. Mereka adalah Tan Seng Tjan, Piet Tio, Frans Jo, John Simon, Harry Tjong, Keng Wie, Abdi Tunggal, Yosef Wijaya, dan Erwin Wijaya.
Nama terakhir merupakan generasi terakhir keturunan Tionghoa yang membawa Juku Eja meraih trofi. Bersama Yosef Wijaya, Erwin menjadi starter Juku Eja ketika menekuk PSMS Medan dengan skor 2-1 di Stadion Gelora Bung Karno, Senayan, 27 Februari 1992.
Pertandingan yang sangat dramatis dan berujung dengan raihan gelar untuk PSM Makassar tak pelak Erwin menjadikan hal itu sebagai momen tak terlupakan. Bahkan, momen itu disebutnya sebagai yang terbaik sepanjang karier sebagai pesepak bola.
"Sukses tersebut menjadi momen terbaik dalam karier sepak bola saya. Bayangkan, kami meraih trofi juara dengan status tim yang tidak diperhitungkan dan terseok-seok pada awal musim," kenang Erwin kepada Bola.com .
Hal itu memang tak berlebihan mengingat semuanya diraih berkat kerja keras. Ho memang mengawali kariernya secara bertahap dari dasar sejak menggeluti sepak bola di bangku Sekolah Dasar.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Telanjang Kaki Hingga Trofi
Jauh sebelum Erwin Wijaya membantu PSM Makassar, awal karier sepak bolanya sangat memprihatinkan. Masih teringat dengan jelas semua perjuangan yang dilakukannya untuk bermain sepak bola.
Bahkan, Erwin pernah bermain hanya beralaskan kulit kaki tanpa sepatu. Bersama rekan-rekan sebayanya yang kerap memanfaatkan tanah kosong di sekitar rumahnya untuk sekadar menendang bola.
"Dulu kami bertanding tanpa memakai sepatu atau telanjang kaki. Baru setelah masuk SMP, saya bergabung dengan Bangau Putera, klub anggota kompetisi internal PSM," terang pria yang akrab disapa Ho itu.
Di Bangau Putera, Ho mendapatkan ilmu dasar sepak bola dari mantan pemain PSM Makassar, Kamaluddin. Bagi Ho, Kamaluddin adalah pelatih bertangan dingin dalam melahirkan pemain. Ia merujuk sejumlah pemain didikan Kamaluddin yang mencuat di pentas sepak bola nasional.
Tiga tahun kemudian, Ho mendapatkan memperkuat tim sepak bola Sulawesi Selatan mengikuti Pekan Olahraga Pelajar Seluruh Indonesia (POPSI) pada 1979. Dalam ajang tersebut, peruntungan Ho di sepak bola mulai terbuka.
Setelah membawa tim Sulsel menembus semifinal, namanya masuk dalam daftar 50 pemain yang mengikuti seleksi Diklat Salatiga dan Diklat Ragunan.
"Dari Sulsel, ada lima nama yang dipanggil. Selain saya, ada Hanafing, Muhrim, Mustari Ato, dan Haruna Rasyid. Setelah mengikuti seleksi dan tes kesehatan, saya, Mustari, dan Haruna, dinyatakan lolos," terang Ho.
Ho resmi tercatat sebagai pemain binaan Diklat Salatiga mulai 1980. Setiap hari, Ho dan rekan seangkatannya seperti Tias Tono Taufik, Hermansyah, Erwin, Frans Sinatra, dan lain-lain berlatih di bawah penanganan trio pelatih, Maryoto, Edi Santoso dan Aang Witarsa. Selain berlatih, pemain Diklat Salatiga juga dibekali pendidikan dengan terdaftar sebagai siswa di SMAN 1 Salatiga.
Selepas Diklat Salatiga, Ho masuk dalam program tim Galasiswa yang dilatih Omo Suratmo dan Izak Udin. Tim ini merupakan gabungan pemain terbaik Diklat Salatiga dan Diklat Ragunan. Tim ini pernah mengikuti turnamen Asham Cup di Pakistan dan Lion Cup di Singapura.
"Saya tergabung dalam tim Galasiswa sebelum kembali ke Makassar pada 1989 untuk bergabung dengan PSM," ungkap Ho.
Baca Juga