Bola.com, Jakarta - Sukses Red Star Belgrade atau Crvena Zvezda merajai Eropa pada 1990/1991 menjadi inspirasi Anatoli Polosin, pelatih Timnas Indonesia berkebangsaan Rusia pada SEA Games 1991.
Selain menjadi juara Liga Utama Yugoslavia 1990/1991, Red Star Belgrade mengangkat trofi Liga Champions yang saat itu masih bernama European Cup, Interconinental Cup 1991, dan jadi runner-up UEFA Super Cup 1991.
Namun, setelah itu, nama Red Star Belgrade di Eropa tenggelam. Red Star Belgrade kembali mengorbit di Liga Champions 2019/2020. Sayangnya, anak asuh Dejan Stankovic itu menjadi bulan-bulanan di Grup B. Mereka memang masuk grup berat karena ada runner-up musim sebelumnya, Tottenham Hotspur dan jawara musim itu, Bayern Munchen.
Kini, Red Star Belgrade akan berlaga di babak 32 besar Liga Europa. Tim berjulukan Crveno-beli itu akan menantang raksasa Italia, AC Milan, Jumat (19/2/2021).
"Saya adalah anak dari Red Star. Jadi, saya merasa terhormat melatih mereka. Saya di sini sekarang dan saya akan memberikan segalanya dengan benar sampai akhir," kata pelatih Red Star Belgrade, Dejan Stankovic.
Tentunya, Red Star sekarang dengan yang dulu ketika masa keemasan berbeda. Dalam ulasan di Tabloid BOLA edisi 1991, disebutkan bahwa Polosin sangat menggemari skuad Red Star Belgrade 1990/1991. Ia pun mempelajari apa saja yang bisa ia tularkan ke Timnas Indonesia, termasuk metode latihan yang mengedepankan fisik.
Gaya melatih Polosin khas tim-tim Eropa timur yang mengandalkan kekuatan fisik sempat membuat beberapa pemain mundur. Namun, hal itu berbuah manis. Tak lain ialah medali emas SEA Games XVI di Manila, Filipina.
Sudah menjadi hal biasa bagi pemain sampai muntah akibat kerasnya latihan fisik. Polosin tak ragu menerapkan metode di luar batas kemampuan.
"Pada momen inilah kekuatan mental dan fisik sangat menopang penampilan tim. Terbukti kami bisa mengalahkan Singapura di semifinal dan Thailand pada laga puncak, semuanya lewat adu penalti," ujar Aji Santoso dalam channel youtube Official Persebaya.
Sebelum ke Filipina, mental dan fisik pemain Timnas Indonesia memang digembleng ala militer oleh Polosin. Satu sesi latihannya adalah menempa fisik dan stamina dengan berlari naik turun gunung di kawasan Cimahi, Jawa Barat.
Video
Ada Perdebatan
Satgas Pelatnas waktu itu, Kuntadi Djajalana, mengaku sempat ada perdebatan ketika Timnas Indonesia digembleng begitu keras. Indonesia menyiapkan latihan fisik khusus di Bandung selama 30 hari.
Dibantu pakar-pakar dari KONI Pusat, kerja keras pemain dan pelatih membuahkan hasil. Mereka berangkat ke Manila dalam kondisi fit.
Polosin mengerti alasan Indonesia kurang meroket sebab karakter pemain yang cenderung manja dan kurang disiplin. Metode latihan Polosin yang terkenal dengan nama “Shadow Football” ini fokus pada kekuatan fisik, stamina, dan insting bermain. Berlatih tanpa bola dan bukan di lapangan sepak bola menjadi ciri khas yang mudah diingat dari latihan ala Polosin ini.
Dalam dua bulan pertama pelatnas, pemain hanya berlatih di kolam renang dan pantai. Sementara, keberadaan bola ditunjuk oleh pelatih, ke mana tangan menunjuk maka ke sanalah pemain harus bergerak menyentuh bola. Area gunung juga dipilih untuk lebih meningkatkan fisik pemain dengan menggendong teman naik turun gunung.
"Kadar latihannya sama dengan tentara yang akan mendapatkan baret Kopassus dan Polisi Militer," kenang Aji Santoso.
Fisik Standar Eropa
Namun, Polosin mampu melahirkan pemain yang mampu berlari sepanjang 4 kilometer dalam waktu 15 menit! Hasil tersebut merupakan merupakan standar VO2 Max pemain Eropa.
Tanpa beberapa pilar bekennya, Polosin tetap melaju menuju Manila dengan skuat muda seperti Widodo C. Putra, Rochy Putirai, Aji Santoso, Sudirman, dan lain-lain yang saat itu masih berusia 20 tahunan.
Setelah menjalani rangkaian uji coba, Timnas Indonesia melangkah penuh keyakinan ke Manila. Pada fase grup, tim Garuda menang atas Malaysia 2-0 di pertandingan pertama SEA Games 1991. Dua hari berselang mengalahkan Vietnam dicukur 1-0.
Pada partai terakhir grup melawan tuan rumah Filipina, Polosin mengistirahatkan beberapa pemain inti dan menurunkan lebih banyak pemain lapis kedua. Sempat tertinggal 0-1 di babak pertama, Indonesia bangkit dengan membalikkan keadaan menjadi 2-1.
“Sejauh yang saya lihat di media-media waktu itu kami memang tidak diunggulkan. Hasil uji coba kami jelek, main bola saat itu juga tidak cantik, dan tidak punya pola permainan yang bagus. Kami hanya punya mental pemenang,” ujar Sudirman, satu di antara pemain Timnas Indonesia di SEA Games 1991.
Akhirnya, sampailah skuad Garuda di final bertemu Thailand. Thailand adalah musuh bebuyutan Indonesia ketika itu. Timnas Indonesia mampu memberikan perlawanan sengit hingga kedudukan 0-0 hinga laga berakhir.
Indonesia memastkan medali emas setelah memenangi duel itu lewat adu penalti dengan skor 4-3.
Tangis Pecah di Ruang Ganti
Tangis pemain yang akrab disapa Jenderal itu tak terbendung saat bercerita pertemuan dengan pelatih, Anatoli Polosin di ruang ganti stadion setelah Timnas Indonesia memenangi adu penalti.
Pelatih asal Uni Soviet (kini disebut berkebangsaan Rusia) itu menunggu di ruang ganti karena tak berani menyaksikan drama adu penalti melawan tim Negeri Gajah Putih.
"Saat itu, setelah pertandingan, dia bilang ke anak-anak, kalian luar biasa. Dia juga memeluk pemain satu per satu," ucap Sudirman sambil menahan haru saat diskusi bincang taktik "Mengembalikan Tradisi Emas Sepak Bola SEA Games" di Gedung KLY, Jakarta, Kamis (10/8/2017).
"Hal itu membuat saya pribadi bangga, (medali) emas itu hingga 26 tahun ini, belum kita raih lagi," ia melanjutkan sambil terbata-bata.
Baca Juga
Erick Thohir Blak-blakan ke Media Italia: Timnas Indonesia Raksasa Tertidur, Bakal Luar Biasa jika Lolos ke Piala Dunia 2026
Erick Thohir soal Kemungkinan Emil Audero Dinaturalisasi untuk Timnas Indonesia: Jika Dia Percaya Proyek Ini, Kita Bisa Bicara Lebih Lanjut
Maarten Paes Bawa Level Berbeda di Bawah Mistar Timnas Indonesia: Perlu Pesaing yang Lebih Kuat?