Bola.com, Jakarta - Sahabat Bola.com kembali lagi ke rubrik Cerita Bola yang pada edisi kali ini tidak akan membicarakan sepak bola tapi olahraga motorsport, khususnya balap motor atau lebih spesifik MotoGP.
Berbicara MotoGP, kelas tertinggi Kejuaraan Dunia Balap Motor ini memiliki banyak fans di Indonesia. Tapi ya cuma sekadar nge-fans. Karena faktanya kita memang belum pernah punya pembalap yang bisa mentas di kelas MotoGP. Jadi dukungnya pembalap dari negara lain. Sebut saja Marc Marquez, Valentino Rossi atau yang lagi hot sekarang, Joan Mir.
Rider Indonesia sendiri paling mentok ikut Moto2. Itupun prestasinya standar banget. Doni Tata Pradita, Rafid Topan Sucipto, Dimas Ekky Pratama sampai terbaru di musim 2020, Andi Gilang. Nasib semua pembalap ini sama. Cuma numpang lewat, finis 15 besar yang merupakan batas terakhir mendapat poin sangat sulit. Ujung-ujungnya tidak jarang mereka mendapat kritik dari netizen Tanah Air yang memang tampak paling benar.
Pantaskah mereka mendapat kritik? Penulis coba menjawabnya setelah berkesempatan ngobrol dengan beberapa pembalap Indonesia pernah mentas di Moto2. Yup, kita masih bicarakan Moto2 lho, belum MotoGP yang memang levelnya teramat tinggi.
Pertama, faktanya dari nama-nama Doni Tata Pradita, Rafid Topan Sucipto, Dimas Ekky Pratama, dan Andi Gilang, cuma yang disebut pertama pernah mendapat poin. Doni Tata Pradita yang memperkuat Gresini pada musim 2013 finis posisi 15 di Sirkuit Phillip Island. Itupun cuma dapat sebiji poin. Sebagai gambaran, balapan Moto2 diikuti lebih dari 25 pembalap lebih banyak dari MotoGP.
Dan buat masuk 20 besar saja sangat sulit. Ini menggambarkan betapa kerasnya persaingan di kelas Moto2. Nah masalah untuk pembalap Indonesia ini mereka sangat minim dapat kesempatan. Dari empat nama yang penulis sebut di atas, semuanya hanya ikut satu musim, setelah itu out. Andi Gilang terbilang beruntung. Honda Team Asia, timnya masih memberinya kesempatan pada tahun 2021 meski harus turun ke kelas Moto23.
Sebagai gambaran, peserta kelas Moto2 mayoritas sudah terlebih dulu ikut Moto3. Artinya secara jam terbang lawan-lawan pembalap Indonesia ini sudah lebih mumpuni. Pertanyaannya, apa yang bisa diperbuat Dimas Ekky dan pembalap Indonesia lainnya ketika mendapat kesempatan hanya turun satu musim?
Hello, adik sekaliber juara dunia MotoGP enam kali, Marc Marquez, Alex Marquez butuh lima musim di Moto2 sebelum merasakan titel juara dunia tahun 2019 dan kemudian naik ke kelas MotoGP. Hal sama berlaku buat Luca Marini, adik Valentino Rossi. Dia baru bisa mentas di MotoGP 2021 setelah mengikuti Moto2 selama lima tahun berturut-turut.
Kasian kan Dimas Ekky dan kawan-kawan, sudah kesempatan minim, dikritik juga. Apalagi Dimas Ekky di Moto2 2019. Dia hanya mendapat kesempatan sebelas kali balapan dari total 19 seri. Cedera membuatnya harus absen balapan cukup banyak.
"Ketika saya kembali setelah cedera, saya merasakan semakin ketinggalan dengan pembalap lain. Balapan pada level setinggi Moto2 dan absen satu race saja, efeknya sangat banyak," kata Dimas Ekky dalam sebuah kesempatan wawancara bersama Bola.com.
Saksikan Video Pilihan Kami:
Perjuangan Berat, Mantal Harus Kuat
Satu hal yang perlu diketahui lagi, para pembalap Indonesia ini melalui perjuangan sangat berat baik dari aspek teknis maupun non teknis selama mengikuti Moto2. Jangan anggap, mereka di sana hidup enak bisa leha-leha, datang ke sirkuit tinggal balapan.
Santapan latihan fisik maupun teknik motor harus ditelan setiap hari. Tim-tim balap top mayoritas berbasis di Eropa. Dan mereka menempa pembalap dengan disiplin, intinya wajib mandiri dan punya mental kuat.
Doni Tata pernah bercerita pengalamannya gabung tim Gresini pada Moto2 2013. Kala itu dan masih sampai dengan saat ini, tim Gresini pada ajang Moto2 disponsori perusahaan oli asal Indonesia, Federal Oil. Meski dapat pemasukan banyak dari Indonesia, bukan berarti Gresini memperlakukan Doni Tata bak raja. Faktanya justru sebaliknya. Dia mendapat tempaan untuk mandiri.
"Wah banyak cerita. Seperti kalau abis latihan, Doni itu bersihin sendiri motornya. Terus setiap datang ke Italia (markas Gresini), tim cuma menyiapkan mobil dan GPS di bandara. Jadi Doni itu setir mobil sendiri ke markas tim Gresini di Faenza dan cuma mengandalkan GPS. Sering juga nyasar waktu itu," Doni Tata bercerita.
Kesimpulannya, pembalap Indonesia yang bersaing pada pentas dunia, memang harus bermodal mental kuat. Andai tidak kuat, semangat Anda mungkin sudah down sebelum balapan. Soal mental ini juga pernah diceritakan Andi Gilang. Dia mengaku sempat gugup ketika harus satu trek dengan nama-nama pembalap top Moto2 seperti Luca Marini.
"Tipe pembalap-pembalap Eropa itu tidak kenal ampun di trek. Jadi kita memang harus fight jika ingin mereka respek terhadap kita. Gilang sendiri semakin sering berada di trek, sudah semakin terbiasa," Andi Gilang mengungkapkan.
Pembalap-pembalap Eropa ini memang sudah merasakan atmosfer persaingan ketat dan mengalami tempaan mental sejak kecil. Di negara-negara seperti Italia atau Spanyol memiliki banyak event balap atau istilahnya Kejuaraan Nasional yang punya level tinggi.
Contoh CEV Repsol di Spanyol. Meski berstatus Kejuaraan Balap Motor Spanyol, tapi kini peserta berasal dari mancanegara, termasuk Indonesia. Kesimpulannya pembalap Eropa sudah tidak kaget atau tidak memulai dari nol ketika bersaing di Kejuaraan Dunia seperti Moto3, Moto2, dan MotoGP.
Solusi Ada di Indonesia Sendiri
Berbicara solusi harus dari akar rumput. Ya, kuncinya ada di Indonesia sendiri. Sekarang penulis tanya, ada berapa sirkuit bertaraf internasional di sini? Ya, cuma satu yaitu Sirkuit Sentul, Bogor. Bandingkan dengan Italia atau Spanyol. Hampir di setiap kota memiliki trek yang mempunyai Grade A untuk Federasi Sepeda Motor Internasional (FIM).
Tidak heran, tiga sirkuit asal Spanyol masuk kalender balap MotoGP. Dari Sirkuit Jerez, Ricardo Tormo sampai Valencia. Kesimpulannya pembalap Indonesia yang ingin mengikuti kejuaraan yang levelnya lebih tinggi harus belajar dari nol lagi soal pemahaman trek. Karena ketika meniti karier di Tanah Air, ya mereka belajarnya di Sentul lagi, di Sentul lagi.
"Ini jelas sebuah kerugian. Pembalap-pembalap Eropa itu sering berlatih di banyak trek dengan karakteristik berbeda. Jadi ketika bertemu trek baru, mereka tidak adaptasi dari nol," Dimas Ekky pernah curhat.
Solusi berikutnya adalah berikan kesempatan panjang dan berjenjang untuk pembalap Indonesia. Ya, solusi ini sudah mulai diterapkan oleh beberapa Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM) di Indonesia seperti Honda atau Yamaha. Misalnya PT Astra Honda Motor. Mereka punya jenjang jelas untuk pembalap binaan mereka. Dimulai sekolah balap, Astra Honda Racing School. Lulusan terbaik akan diberikan kesempatan tampil di level Asia seperti Asia Road Racing Championship atau Asia Talent Cup.
Lulus dari dua event level Asia, mereka kemudian mentas di CEV Repsol sebelum akhirnya ke Kejuaraan Dunia. Andi Gilang dan Dimas Ekky adalah bukti berhasilnya program perjenjangan pembalap milik PT Astra Honda Motor. Yang disayangkan keduanya cuma diberikan kesempatan oleh Honda Team Asia selama satu musim di Moto2.
Jelas Indonesia butuh lebih banyak pihak-pihak seperti PT Astra Honda Motor. Karena untuk berkarier di dunia balap memang butuh finansial hebat. Sangat disayangkan tentunya jika ada pembalap berbakat tapi tidak punya sponsor untuk membiayai karier mereka. Sudah banyak lho pembalap Indonesia yang merasakan hal ini.
Mengenai kesempatan buat pembalap Indonesia ini sempat disinggung pengamat MotoGP asal Italia yang lama tinggal di Indonesia, Matteo Guerinoni.
"Pembalap Indonesia ke Moto2, orang ekspektasi langsung dapat hasil. Satu tahun habis, setelah itu tidak ada kontrak lagi. Sulit. Dimas Ekky sebelum podium di CEV (event yang diikuti Dimas Ekky sebelum Moto2) butuh berapa season (tiga)," kata Matteo melalui channel Youtube MSGP. "Alex Marquez adiknya Marc Marquez untuk juara dunia Moto2 butuh berapa season (musim). Empat season. Franco Morbidelli juga sangat lama di Moto2 sebelum juara," lanjutnya.
Selain kesempatan, Matteo turut menyoroti infrastruktur motorsport Indonesia yang masih jauh tertinggal ketimbang negara-negara seperti Italia, Spanyol, dan Jepang.
"Infrastruktur di Indonesia tidak ada, mau balap di mana. Road race (trek dadakan), apa itu trek? Tidak. Apakah itu atmosfernya sama kaya di trek. Tidak," Matteo menerangkan.
"Infrastruktur itu apa? Race track (sirkuit permanen), Jepang, Spanyol, Italia semua kota punya trek. Kompetisinya juga gila. Bisa digelar pada 13 trek berbeda. Kalau di Italia, balapannya dari jam 8 pagi baru selesai jam 8 malem (saking banyaknya kelas balapan)," tambah pria yang juga seorang chef itu.
So, tahu kan apa kendalanya sehingga Indonesia belum bisa mencetak pembalap-pembalap hebat layaknya Valentino Rossi atau Marc Marquez.