Bola.com, Jakarta - Jika ada yang bertanya, mungkinkah sebuah klub sepak bola dikelola atau dimiliki oleh suporter, maka jawabannya sangat bisa. Itu dibuktikan oleh setidaknya dua klub, yakni FC United of Manchester dan St. Pauli.
Beberapa hari lalu, sepak bola Eropa digegerkan oleh wacana Liga Super Eropa. Kabarnya, seluruh tim yang mendaftar mengeluarkan keputusan tanpa meminta 'restu' para suporter. Padahal, Manchester United misalnya, memiliki Manchester United Supporters' Trust (MUST), yang punya hak bersuara.
Ya, suporter sebagai satu dari banyak pondasi dalam sepak bola tidak bisa begitu saja diacuhkan. Meski ada bumbu-bumbu rivalitas antarsuporter, nyatanya bisa kompak dan bersatu saat melihat ada sesuatu yang tidak beres.
Kita bisa melihat fans Leeds United dan Liverpool bergabung bersama di luar Elland Road sebelum pertandingan mereka pada Senin malam. Kita bisa melihat rivalitas sepak bola seperti Gary Neville dan Jamie Carragher menghapus proposal ini dengan satu suara. Kita bisa melihat dunia sepak bola bersatu tidak seperti sebelumnya.
Kondisi ini memunculkan lagi budaya punk football. Tidak jelas siapa yang memproklamirkan istilah ini, namun maknanya sangat jelas. Konsep D.I.Y atau Do It Yourself ala punk diaplikasikan sedemikian rupa. Siapa yang menjalankannya? Tak lain dan tak bukan: Suporter.
Secara garis besar, punk football juga bisa diartikan bahwa operasional klub dijalankan seutuhnya oleh dan untuk kepentingan suporter. Mereka tidak bergantung pada sponsorship, tapi mengedepankan 'kolektipan' yang bisa berasal dari pendapatan penjualan merchandise dan sebagainya.
Konsepnya sama saja ketika ada gigs (acara musik) di mana band yang tampil justru harus membayar, bukannya dibayar. Siapa yang melakukannya? Suporter yang memiliki hak milik.
Kepemilikan saham dan legalitas lainnya sama saja dengan klub-klub 'konvensional' lainnya di muka bumi. Tapi cara punk football menjalankan operasionalnya yang sedikit berbeda. FC United of Manchester memiliki slogan: Our Club, Our Rules.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini
Model Bundesliga
Bundesliga memiliki model ownership yang menarik yang dikenal dengan nama '50+1'. Konsep ini memungkinkan klub memiliki lisensi untuk bersaing di Bundesliga jika klub memegang mayoritas hak suara mereka sendiri.
Pada dasarnya, ini sama saja memastikan bahwa suporter memiliki setidaknya 50% saham ditambah satu bagian. Alhasil, suporter memiliki hak utama dalam membuat satu keputusan.
Dengan begitu, suporterlah (biasanya akan dijadikan dalam satu wadah seperti Manchester United Supporters' Trust) yang punya palu untuk memutuskan, bukan investor yang tak mengerti sepak bola dan cuma berorientasi pada keuntungan semata.
Selanjutnya Inggris?
Pemerintah, melalui Badan Legislatif, bisa mewujudkan punk football seutuhnya. Hanya saja, belum ada peraturan resmi mengenai kepemilikan saham 50+1 seperti di Bundesliga Jerman.
Kebetulan, Partai Buruh di Inggris memiliki celah untuk memasukkan proposal melalui Parlemen. Partai Konservatif atau biasa disebut Tory MP mendapatkan dukungan penuh dari mantan Menter Olahraga Inggris, Helen Grant, yang juga memiliki 'bekingan' dari Partai Buruh.
Alison McGovern, Menteri Olahraga dari Partai Buruh menyatakan bahwa ini adalah momen yang pas guna mewujudkan konsep klub dimiliki oleh suporter (fan-owned atau fan-led football club).
"Saya pikir kita harus melakukan lebih banyak sebelum hari ini untuk memastikan bahwa pendukung memiliki suara yang tepat dalam sepak bola. Jika kita dapat mengubah sepak bola, maka 48 jam yang gila ini mungkin benar-benar bernilai sesuatu," kata McGovern kepada BBC.
Punk football tidak hanya dimulai dan diakhiri dengan mencegah Liga Super Eropa. Ini juga dapat memengaruhi cara penggemar diperlakukan di stadion, harga tiket, waktu kick-off, harga kereta untuk pergi dan pulang dari pertandingan tandang, serta harga makanan dan minuman di stadion.
FC United of Manchester, Klub Anti-Glazer
Keluarga Glazer sudah merusak Setan Merah sejak kedatangannya 16 tahun lalu. FC United of Manchester jadi saksi bertapa serakahnya pengusaha asal Amerika Serikat rekanan JP Morgan itu.
Pada Mei 2005, ketika pengusaha Amerika Malcolm Glazer dan keluarganya menyelesaikan pengambilalihan Manchester United, mereka disarankan oleh Ed Woodward yang saat itu masih bagian dari bank investasi JP Morgan.
Pengambilalihan tersebut membuat United yang sebelumnya bebas hutang dibebani dengan kewajiban menyicil utang sebesar 660 juta pounds, yang pembayarannya telah membuat klub kehilangan bunga dan pembayaran sebesar £ 1 miliar.
Sebagai protes, sekelompok pendukung United memisahkan diri dari klub yang mereka dan keluarga mereka ikuti di seluruh Inggris dan Eropa selama beberapa dekade dan membentuk klub mereka sendiri yang bernama FC United of Manchester. Mereka telah melihat apa yang terjadi, dan mereka melihat apa yang akan terjadi. Sudah cukup.
Enam belas tahun kemudian, Woodward adalah wakil ketua eksekutif United (dan akan mundur akhir 2021), putra kedua Glazer, Joel, menjadi wakil ketua Liga Super Eropa, sebuah kompetisi waralaba beromset triliunan rupiah.
Potensi meraup uang dalam jumlah besar di tengah kondisi serbasulit ini makin menguatkan motivasi mereka. Ketamakan dan sikap money-oriented para pemilik klub tampaknya jadi satu-satunya motif kuat di balik Liga Super Eropa.
Tengkorak St. Pauli
Nama St. Pauli mungkin tidak sepopuler rivalnya, Hamburg SV. Tidak usah lah bicara prestasi, sebab kedua tim bak langit dan bumi.
Tapi jika ada satu hal yang bisa dibanggakan dari St. Pauli, itu adalah idealismenya. Klub sepak bola yang berlokasi di daerah prostitusi paling populer di Eropa, Reeperbahn, itu, dikenal sebagai musuhnya para fasis karena dianggap sebagai tim sepak bola paling kiri di dunia.
Sejak berpisah dengan Hamburg-St. Pauli Turnverein 1862 pada 1924, St. Pauli melewati berbagai periode suram. Finansial mereka berantakan, hingga hancur pasca-Perang Dunia II. Lalu, pesepak bola bernama Karl Miller datang, seraya mengajak Heinz Hempel, Heinz Köpping, Walter Dzur, serta Helmut Schön ke klub tersebut.
St. Pauli sempat merasakan Bundesliga I (kasta tertinggi sepak bola Jerman) pada periode 1970-an, namun kembali merosot ke Bundesliga II dua musim kemudian. Kondisi ini diperparah dengan 'kemunduran sosial' di Hamburg, mulai dari prostitusi hingga kriminalitas yang berujung pada perang antar geng.
Pemerintah Jerman dengan sigap 'membersihkan' area tersebut. Hanya butuh beberapa tahun saja, wilayah yang tadinya rusak, baik secara moral maupun tata kota, tumbuh berkembang pesat. Bangunan-bangunan mewah, hotel bintang 5, hingga area perbelanjaan muncul bak jamur setelah hujan.
Hal ini, menariknya, membuat suporter St. Pauli tidak senang. Bukan karena sudah bersihnya wilayah Hamburg, tapi karena budaya kapilisme yang tumbuh subur. Banyak pekerja imigran yang terusir karena dianggap sampah, dan ini memunculkan ketidaksukaan dari para suporter St. Pauli yang hingga kini dikenal sangat 'liberal dan plural'.
Perlawanan terus dilakukan hingga ke Stadion Millerntorn. Spanduk melawan fasisme, rasialisme, dan diskriminasi menghiasi tiap sudut stadion saat St. Pauli bertanding.
Memasuki 2000-an, St. Pauli tetap mempertahankan ideolegi yang telah berkembang sejak lama. Ada sebuah toko merchandise bernama Fanladen yang dikelola oleh suporter St. Pauli, di mana sebagian penghasilannya langsung masuk ke kas klub.
Konsep punk football yang mengedepankan anti-komersialisasi sepak bola alias against modern football diaplikasikan seutuhnya oleh St. Pauli. Apakah terkendala? Jelas.
Keteguhan St. Pauli untuk tidak menerima investor nyaris membuat mereka dinyatakan bangkrut sebangkrut-bangkrutnya. Corny Littman, Presiden St. Pauli pada 2002 sampai 2010, hampir putus asa.
Satu ketika, ia duduk bersama perwakilan suporter mencari jalan terbaik. Saat itu opsinya sangat mudah: Menjual St. Pauli kepada simbol kapitalisme. Tapi itu tidak dilakukan.
Alih-alih menjual klub, Littman dan suporter sepakat untuk menjual lisensi kepemilikan merchandise kepada pihak ketiga. Penghematan besar-besaran dilakukan seperti memaksimalkan pemain muda sembari tetap mengharamkan investor yang ingin merusak warisan klub.
St. Pauli, dengan segala proyeksi sosial dan identitas sebagai klub paling kiri di dunia, berhasil keluar dari ancaman kebangkrutan. Sekali lagi, konsep punk football berhasil dijalankan. Bendera tengkorak akan terus berkibar, melawan simbol-simbol kapitalisme dan keserakahan duniawi.
Our club, our rules...
Baca Juga
Rahmad Darmawan Ceritakan Kronologi PSM Mainkan Pemain ke-12 Vs Barito Putera di BRI Liga 1: Lawan Mengakui, Wasit Tetap Play-on
Lisandro Martinez Frustrasi dan Marah Besar dengan Kelemahan Utama MU
Masa Adaptasi di Real Madrid Tuntas, Kylian Mbappe: Mencapai Titik Terendah adalah Hal Baik untuk Saya