Bola.com, Jakarta - Pelatih Timnas Italia, Roberto Mancini terlihat mengembangkan senyum sesaat setelah hasil drawing Euro 2020. Yup, Romexpo, sebuah 'dome' di pusat kota Bucharest, Rumania, menjadi saksi dari sikap optimistis sang allenatore. Bagaimana tidak, berstatus tim spesiali turnamen, Gli Azzurri akan menghadapi tiga lawan di rumah sendiri.
Saat itu, Mancio berujar kalau timnya akan dengan senang hati menjamu tamu-tamu istimewa mereka dengan rasa hormat yang tinggi. Bukan nyata, seluruh ucapan eks manajer Manchester City tersebut hanyalah hiperbola semata.
Satu yang pasti, Timnas Italia akan menghadiahi setiap tim tamu dengan rasa tidak nyaman, ketakutan dan berujung pada kekalahan saat meninggalkan Stadion Olimpico, Roma. Jika tak ada aral melintang, Lorenzo Insigne dkk akan menerima tiga lawan di Roma, kota yang penuh 'kesangaran' yang membuat tim tamu tak tenang.
Sayang, itu dulu, pada medio November 2019, ketika seluruh tim masih belum menunjukkan hasil maksimal. Terakhir, calon lawan Timnas Italia hanya berjibaku di UEFA Nations League, dan memang tak ada yang istimewa.
Timnas Wales, Timnas Turki dan Timnas Swiss seolah hanya sebatas di level semenjana jika dibandingkan dengan Timnas Italia. Faktor sejarah, pengalaman sampai mentalitas menjadi perbandingan yang tak sepadan.
Artinya, Italia punya banyak benefit ketika berada di putaran final Piala Eropa 2020. Tapi, sekali lagi, itu hanyalah coretan pena di atas kertas. Pada kondisi terakhir, Italia tak akan mudah melibas lawan-lawannya, terutama Turki.
Yoa, siapa yang kini tak kaget dengan sepak terjang Turki, setidaknya pada medio awal tahun 2021. Unjuk gigi Turki teraktual adalah pada fase Kualifikasi Piala Dunia 2022 zona Eropa.
Bagaimana tidak mengagetkan, Turki langsung membuka perjalanan terjal dengan menggulung tim unggulan, Belanda. Pada momen istimewa 25 Maret 2021 tersebut, Turki menggelontokan empat gol ke gawang tim Oranye.
Pesona Turki
Sontak, aksi Burak Yilmaz dkk tersebut membuat publik dunia bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi dengan 'Wakil Asia' tersebut. Nyatanya, tak ada yang istimewa selain daya juang tinggi dan sentuhan taktik istimewa ala Senol Gunes.
Tak berhenti di laga kontra Belanda, Turki juga membuat shock therapy ke publik ketika menjadi hantu mematikan bagi tim yang sedang naik daun, Norwegia. Tidak tanggung-tanggung, lawatan tersebut berhasil dimenangkan Turki dengan skor 3-0.
Sebuah pencapaian yang tak biasa. Apalagi, Norwegia juga sedang menjadi daya tarik publik berkat penampilan apik bomber Borussia Dortmund, Erling Haaland. Tapi, armada Gunes membuktikan kalau kerja kolektif jauh lebih berharga ketimbang nama besar individu.
Secara sepak terjang dan modal terakhir, Turki layak mendapat tempat teratas sebagai tim yang bisa mengejutkan Grup A Euro 2020. Komunikasi dan kolektivitas permainan yang bagus, karena sebagian tim selalu bersama dalam beberapa tahun terakhir, membuat Turki terkenal punya jejaring tak putus di lapangan.
Mereka tak sekadar punya Burak Yilmaz. Oleh karena itulah, Turki tak ingin bernasib seperti edisi terakhir Piala Eropa. Kala itu, mereka tak sanggup lolos dari fase grup, dan harus mengakui keunggulan Kroasia serta Spanyol. Satu kemenangan atas Republik Ceska menjadi hadiah hiburan.
Kini, kekuatan Turki merata di semua lini. Perpaduan pengalaman dan keberanian Senol Gunes memberi ruang para pemain muda, mulai menuai hasil. Pada lini belakang, sosok Caglar Soyuncu tergolong dominan. Ia sedang mendapat angin bagus ketika berduet dengan pemain Liverpool, Ozan Kabak.
Jangan lupa juga, sang pelayan Burak Yilmaz adalah pemain yang kini sedang menjadi sorotan, yakni Hakan Calhanoglu. Kualitas performa gelandang serang asal AC Milan tersebut akan memberi kemudahan terhadap fleksbilitas pola ala Gunes.
Jika Yulmaz terpaksa bermain berpasangan alias sejajar, Turki memiliki pemain muda, Yusuf Yazici. Pemain asal klub Lille ini biasanya beroperasi di sektor sayap. Namun, Gunes melihat sisi lain, sehingga terkadang mendorong Yazici mendampingi Burak Yilmaz.
Waspada Italia
Kekuatan Turki tersebut bisa menjadi batu sandungan bagi Italia. Apalagi, mereka akan bersua kali pertama, sekaligus laga perdana Piala Eropa 2020, di Stadion Olimpico, Roma. Pelatih Italia, Roberto Mancini berbagi ingin mengoptimalkan peran seluruh pemain yang bisa menunjukkan diri sepanjang Liga Italia 2020/2021.
Mancini hafal benar kekecewaan publik ketika Italia harus tersungkur pada Euro 2016. Saat itu, Gli Azzurri takluk via adu penalti kala bersua Jerman. Kini, peremajaan armada menjadi prioritas Mancio.
Kini, ia gemar mengombinasikan secara pas pemain muda dan senior. Hal itu tercermin di seluruh lini. Stefano Sensi dan Nicola Barella bisa menjadi duet serasi di lini tengah. Meskipun mereka tak disatukan, bisa jadi satu di antara mereka tetap bisa menjadi dirigen tim.
Beberapa pengamat di Italia menyebut, pasukan Mancio layak bermain cepat alias mulai menanggalkan sistem bertahan sangat rapat. Kombinasi area depan menjadi tipikal pembuka sinyal itu. Andrea Belotti menjadi pilihan bersama Lorenzo Insigne.
Nah, mereka punya banyak pemain muda berbakat, termasuk Federico Chiesa. Mereka juga masih punya duet anak muda, Moise Kean dan Pietro Pellegri. Uniknya, dua pesepak bola ini sama-sama sedang meniti karier di Ligue 1 Prancis.
Jika di Grup A ada tim unggulan seperti Italia dan tim kejutan layaknya Turki, ada dua negara lain yang mendapat sikap sangsi alias keraguan publik. Mereka tak lain Wales dan Swiss.
Wales sempat menjadi bahan perbincangan ketika sanggup tampil brilian pada penyelenggaraan Piala Eropa 2016. Sayang, langkah mereka berhenti setelah kalah dari Portugal dengan skor 0-2.
Bagaimana Wales dan Swiss ?
Namun, berkat performa ciamik, beberapa nama yang awalnya asing di telinga publik, menjadi buah bibir. Beberapa di antara mereka adalah Hal Robson-Kanu, Neil Taylor, Sam Vokes dan Ashley Williams.
Kini, sama seperti Italia dan Turki. Timnas Wales sedang melakukan peremajaan. Tak heran jika stok para pemain muda yang betebaran diambil. Selain Harry Wilson yang berada di rumah sendiri, beberapa yang lain menimpa pengalaman di Liga Inggris.
Walhasil, Wales punya gelandang Ethan Ampadu yang berusia 20 tahun, Daniel James-nya Manchester United (23) dan penggawa berbaju Liverpool, Neco Williams (20).
Lebih 'gila lagi', Wales memberi kepercayaan kepada para pemain muda guna menjaga daerah pertahanan. Lihat saja, mereka sudah mematenkan formasi lini belakang berdasarkan keberadaan Chris Mepham (23) dan Joe Rodon (23), serta sang mentor James Lawrence (28).
Meski banyak yang meragukan, caretaker pelatih Wales, Ryan Giggs menganggap kesempatan Wales mengulang cerita manis di Prancis, bisa terulang. Mereka berbekal tim yang solid dan semakin berpengalaman usai bertarung di UEFA Nations League dan babak Kualifikasi Piala Dunia 2022.
Satu tim lain yang tak boleh dianggap remeh adalah Swiss. Jauh-jauh hari, Pelatih Swiss, Vladimir Petkovic sudah menyatakan siap perang, meski amunisi tak banyak berubah.
Nah, kondisi terakhir itulah yang membuat Petkovic yakin anak asuhnya bisa melayani pertarungan kontra Italia, Turki dan Wales. Berkaca dari perhelatan Piala Eropa 2016, Piala Dunia 2014 dan Piala Dunia 2018, Swiss harus tancap gas sejak awal.
Pada tiga turnamen tersebut, Swiss selalu gagal melangkah lebih jauh dari area Babak 16 Besar. Petkovic berharap Swiss bisa memberi efek kejutan, sekaligus lolos ke babak berikutnya, meski harus terbang ke Roma dan Baku pada pertarungan di Grup A ini.
Profil Singkat Pelatih
Roberto Mancini (Italia)
Nama Roberto Mancini mulai menanjak ketika berhasil meraih dua trofi Coppa Italia pada dua tim berbeda : Fiorentina dan Lazio. Hal itu pula yang membuat Inter Milan kepincut. Bersama La Beneamata, sebutan Inter Milan, Mancio sanggup meraup 3 scudetti.
Berkat prestasinya, Manchester City kesengsem. Nah, di sinilah namanya semakin cetar membahana. Maklum, raihan trofi Liga Inggris 2011/2012 menjadi satu di antara drama sepanjang sejarah Premier League.
Setelah sempat menangani Galatasaray, kembali ke Inter Milan dan bareng Zenit St Petersburg, Roberto Mancini mengabdi ke negara. Ia menjadi pelatih sejak 2018. Sepanjang UEFA Nations League dan Kualifikasi Piala Dunia 2022 zona Eropa, ia menunjukkan Italia akan tampil lebih menggigit dengan porsi anak muda yang semakin besar.
Senol Gunes (Turki)
Ia orang baru tapi lama. Yup, kembali menangani timnas pada 2019, Senol Gunes pernah sukses besar dalam periode empat tahun kepemimpinan di awal 2000. Sepanjang empat tahun (2000 - 2004), Gunes membayar sifat kerasnya dengan prestasi.
Pada periode pertama bersama Timnas Turki, Gunes membawa negaranya duduk di peringkat 3 Piala Dunia 2002. Setahun kemudian, ia membawa pulang peringkat 3 Piala Konfederasi 2003.
Kini, ia tak ingin Turki melepas momentum bagus sepanjang babak awal Kualifikasi Piala Dunia 2022. Artinya, Burak Yilmaz menjadi ancaman besar bagi tiga lawannya.
Ryan Giggs dan Rob Page (Wales)
Duet ini tergolong dadakan setelah Chris Coleman undur diri usai mengabdi selama lima tahun. Tugas tak ringan bakal menjadi tantangan bagi Ryan Giggs dan Rob Page di panggung Euro 2020.
Satu yang pasti, Wales layak berstatus menjanjikan dan unggulan berkat prestasi mereka lima tahun silam. Yup, mereka bertubi-tubi menjadi bahan pembicaraan setelah lolos ke babak semifinal Piala Eropa 2016. Sayang, momentum tersebut tak sanggup mereka teruskan karena gagal lolos ke putaran final Piala Dunia 2018.
Beruntung bagi Giggs dan Page, deretan armada yang mereka tangani sudah bersama sejak 2016. Artinya, Gareth Bale dkk tak memiliki masalah komunikasi, sekaligus kabar bagus bagi para fan Wales.
Jurang yang menganga tak lain pengalaman Giggsy dan Page. Nama terakhir naik pangkat setelah dianggap berhasil menangani Timnas Wales U-21. Sementara itu, Giggsy punya nama besar, sehingga dianggap tepat memberi wejangan dari pinggir lapangan.
Vladimir Petkovic (Swiss)
Satu keistimewaan Vladimir Petkovic adalah kemampuan menstabilkan permainan anak asuhnya, meski dalam kondisi sulit. Namun, hal itu seperti mendarah daging, sehingga Swiss tak sanggup berprestasi lebih tinggi lagi.
Nama Vladimir Petkovic sempat menyembul ke permukaan gara-gara pertikaian yang melibatkan manajemen Timnas Swiss dan Lazio. Akhirnya, Petkovic lebih memiliki Swiss, dan posisinya di Lazio diganti Edy Reja.
Sebuah pilihan yang tepat, karena Petkovic sanggup membawa Swiss tampil konsisten. Swiss sanggup mencapai Babak 16 Besar pada dua turnamen terakhir, yakni Euro 2016 dan Piala Dunia 2018.
Modal konsistensi itulah yang menjadi tantangan bagi Petkovic. Pada sisi lain, senjata itu pula yang bisa menghancurkan Italia, Turki dan Wales.