Bola.com, Jakarta - Innalilahi wa inna illaihi rojiun. Indonesia kehilangan salah satu pahlawan olah raga setelah Markis Kido dinyatakan meninggal dunia pada Senin (14/6/2021). Kido meninggal dunia di usia 36 tahun setelah sempat jatuh dan tak sadarkan diri ketika bermain bulu tangkis di GOR Petrolin, Tangerang.
Kido dinyatakan meninggal dunia meski sempat dibawa ke rumah sakit terdekat dan masuk ke ruang Instalasi Gawat Darurat. Punya riwayat hipertensi, Kido diduga meninggal akibat jantungnya yang bermasalah. Ia meninggalkan istri dan dua anak perempuan.
Bersama Hendra Setiawan, Markis Kido adalah peraih medali emas nomor ganda putra cabang bulu tangkis di Olimpiade Beijing 2008. Cuma 11 orang saja atlet Indonesia yang berhasil meraih medali emas di ajang paling bergengsi multieven Olimpiade, yang hanya digelar empat tahun sekali. Kido adalah salah satunya.
Prestasi itu adalah salah satu bukti kehebatan Kido. Bukti lain adalah gelar juara dunia 2007 dan sederet trofi bergengsi lainnya di turnamen bulu tangkis internasional.
Saksikan Video Berikut
Kelas Dunia
Saya beruntung punya pengalaman meliput di lingkungan pelatnas PBSI pada masa 2008-2010. Bertugas di desk bulu tangkis dan melakukan liputan di pelatnas PBSI adalah pengalaman berharga dan membanggakan.
Narasumber yang dicari dan dihadapi sebagai sumber berita di pelatnas PBSI adalah atlet dan pelatih kelas dunia yang kerap membawa kejayaan dan kebanggaan buat Indonesia di kancah internasional. Lewat perjuangan mereka lagu kebangsaan Indonesia Raya berkumandang dan bendera Merah Putih berkibar mengiringi momen kemenangan dan juara.
Ketika saya masuk ke lingkungan pelatnas PBSI, Kido tengah berada dalam puncak kejayaan sebagai pemain dan berpartner dengan Hendra Setiawan. Mereka berstatus sebagai juara dunia 2007 dan sudah meraih sejumlah gelar bergengsi.
Kala itu Kido/Hendra termasuk dalam empat ganda putra terbaik dunia yang mewakili empat negara Asia penguasa persaingan di level elit. Kido/Hendra kerap bersaing lawan Cai Yun/Fu Haifeng (Cina), Lee Yong-dae/Jung Jae-sung (Korsel), dan Koo Kien Keat/Tan Boon Heong (Malaysia).
Secara bergantian, empat ganda putra dari empat negara itu bergantian meraih podium tertinggi di berbagai turnamen. Jika mereka berlaga, penonton dipastikan mendapat suguhan permainan tingkat tinggi nan menghibur.
Disegani Lawan dan Kawan
Di pelatnas PBSI, status Kido/Hendra sebagai juara dunia 2007 membuat mereka menjadi pemain andalan untuk meraih gelar juara. Prestasi apik, buah dari level permainan kelas dunia, membuat mereka menjadi pemain yang disegani tak hanya oleh lawan, namun juga oleh rekan-rekannya di pelatnas.
Saat itu, menurut saya ada dua tipe atlet yang disegani di pelatnas bulu tangkis PBSI. Satu adalah atlet senior dan sarat prestasi. Yang kedua adalah pemain yang belum terlalu senior, namun sudah sarat prestasi.
Contoh pemain yang masuk kategori pertama ketika itu adalah Nova Widianto dan Taufik Hidayat. Nova yang bermain di nomor ganda campuran bersama Lilyana Natsir adalah juara dunia 2005 dan 2007. Sementara Taufik Hidayat adalah juara dunia 2005 dan peraih medali emas Olimpiade Athena 2004.
Pada masa itu Nova dan Taufik bisa dibilang adalah leader di kalangan pemain pelatnas PBSI. Semua pemain terlihat segan dan menaruh respek yang tinggi saat berinteraksi dengan mereka. Hal itu juga terlihat dalam interaksi Nova dan Taufik dengan awak media. Mereka tak mudah untuk diwawancarai.
Doyan Bercanda
Sementara Kido dan Hendra masuk dalam kategori kedua. Pemain yang lebih muda, namun disegani di pelatnas karena sudah sarat prestasi. Kala itu, usia mereka baru memasuki angka 24 tahun. Meski sudah menjadi bintang dan andalan di tim bulu tangkis Indonesia, sikap Kido dan Hendra tetap membumi.
Baik Kido ataupun Hendra tak pernah sulit ditemui atau diwawancarai. Dalam kondisi lelah usai digenjot latihan, mereka selalu mau meladeni permintaan wawancara atau sekedar ngobrol ringan dengan awak media. Hanya saja, meski relatif mudah ditemui, tetap perlu kesabaran dan trik buat mewawancarai Kido dan Hendra.
Walaupun ramah, Hendra cenderung pendiam. Jika ditanya ia lebih sering menjawab dengan kalimat-kalimat singkat. Sementara Kido, kebalikan dengan Hendra, lebih ekspresif dan sangat doyan bercanda.
Menggali informasi dari Kido bukan hal yang mudah dilakukan karena ia lebih sering bercanda. Jika diajak mengobrol, bisa jadi hanya 30 persen saja Kido menjawab dengan serius, sementara 70 persennya diisi dengan bercanda dan lebih banyak hahahihi.
Hal itu juga kerap terjadi di momen resmi macam konferensi pers usai pertandingan. Hendra tampil dengan jawaban pendek, sementara Kido dengan jawaban ceplas ceplos sambil cengar cengir. Pemandangan tersebut kerap terlihat, baik saat mereka menang atau kalah.
Di lapangan, dua karakter yang bertolak belakang itu saling melengkapi. Hendra dengan ketenangannya menjadi playmaker di depan net. Sergapan dan antisipasinya ditakuti lawan. Sementara Kido, meskipun bertubuh lebih pendek, menjadi eksekutor dengan smash-smash dahsyat dari garis belakang. Loncatan vertikal Kido saat melepas smash dan pergerakannya dari satu sudut ke sudut menjadi sajian kelas wahid buat penonton.
Bisa Amat Serius
Meski doyan bercanda, Kido adalah atlet yang punya dedikasi tinggi dan sangat serius untuk hal-hal tertentu. Sebelum turnamen Jepang Terbuka 2009, hasil pemeriksaan medis menunjukkan tekanan darah Kido yang di atas rata-rata. Ia sempat pingsan kala digembleng latihan fisik di Mabes TNI.
Buntutnya, dokter di PBSI tidak merekomendasikan Kido untuk berangkat dan tampil di turnamen karena kondisi tersebut. Namun Kido tak mau menyerah dan ngotot tetap berangkat karena merasa sudah melakukan persiapan dengan baik.
Sigit Pamungkas, pelatih yang menangani sektor ganda putra semasa Kido masih di pelatnas, mengenang anak asuhnya bersikeras tetap pergi sampai akhirnya tercapai kesepakatan.
“Akhirnya waktu itu dibikin surat pernyataan pakai tanda tangan di atas materai, isinya jika terjadi apa-apa, maka resiko ditanggung sendiri olehnya,” ujar Sigit, saat ditemui di pemakaman Kido.
Di mata keluarga, Kido adalah pahlawan sesungguhnya. Semasa masih di pelatnas, Kido selalu memikirkan nasib dua adiknya yang juga bergabung di pelatnas, Bona Septano dan Pia Zebadiah. Saat masa negosiasi kontrak berlangsung, Kido selalu berusaha memperjuangkan nasib adik-adiknya yang kebetulan secara prestasi tak secemerlang dirinya.
Mentor Marcus
Setelah merasakan hampir semua gelar bergengsi bersama Hendra Setiawan, akhirnya Kido memutuskan keluar dari pelatnas pada 2009 menyusul kejadian dirinya pingsan saat latihan fisik akibat hipertensi yang diderita. Saat itu Hendra memutuskan untuk mengikuti langkah Kido keluar dari pelatnas dan tetap bermain melalui jalur profesional.
Toh dalam kondisi seperti itu, Kido/Hendra sempat meraih medali emas Asian Games 2010. Usai momen itu, perlahan kemampuan Kido menurun dan ia memutuskan untuk berpisah dengan Hendra pada 2012. Kebersamaan selama 14 tahun antara Kido dan Hendra akhirnya usai.
Hendra kemudian kembali ke pelatnas dan berpartner dengan M. Ahsan hingga sekarang. Sementara Kido masih sempat bermain dan berpasangan dengan Marcus Fernaldi Gideon. Kesempatan bermain dengan senior yang hebat seperti Kido itu menjadi modal bagi Marcus yang kini menguasai panggung ganda putra dunia bersama Kevin Sanjaya.
Setelah pensiun, hingga akhir hayatnya Kido tetap mendedikasikan dirinya buat bulu tangkis. Selain melatih di klub asalnya, Jaya Raya, Kido juga masih kerap diundang untuk bermain di sana-sini. Tak jarang ia bergabung dengan koleganya untuk bermain, seperti yang dilakukan di saat-saat akhir hayatnya.
Selamat jalan Markis Kido. Semoga damai di sisi Tuhan. Terima kasih atas semua prestasi, kebanggaan, dan perjuangan yang kau berikan lewat bulu tangkis buat Indonesia. Jasa dan prestasimu akan selalu dikenang.