Perjuangan wanita 24 tahun ini sangat panjang hingga dapat berkompetisi di ajang olah raga paling bergengsi di dunia. Ali Zada tak menyangka jika bersepeda akan memicu masalah bagi dirinya di Afganistan. (Foto: AFP/Fabrice Cofrini)
Di tanah kelahirannya, dirinya pernah dilempari batu dan diserang secara fisik karena berani mengenakan pakaian olah raga dan mengayuh sepeda di depan umum. (Foto: AFP/Fabrice Cofrini)
Tahun pertama ketika mulai bersepeda, ada orang yang memukul dirinya dari dalam mobil. Begitu juga dengan atlet di Afghanistan lainnya yang mendapatkan perlakuan mengerikan, terutama atlet putri. (Foto: AFP/Fabrice Cofrini)
Akhirnya dirinya terpaksa meninggalkan Afghanistan pada tahun 2017 akibat banyaknya tekanan dari masyarakat sekitar hingga keluarganya. (Foto: AFP/Fabrice Cofrini)
Ali Zada akhirnya mencari suaka di Prancis dan berhasil menyabet gelar sarjana teknik sipil selama berkuliah dua tahun di Lille. Dirinya juga tetap bersepeda selama berkuliah disana. Pengalaman telah membawanya menjadi pribadi yang lebih percaya diri. (Foto: AFP/Fabrice Cofrini)
Dia terpilih menjadi penerima beasiswa solidaritas dari Komite Olimpiade Nasional (IOC) dan dipercaya untuk mengikuti perlombaan Olimpiade Tokyo 2020. Ali Zada saat ini sedang menjalani latihan di UCI World Cycling Center di Aigle, Swiss Barat sebelum terbang ke Jepang. (Foto: AFP/Fabrice Cofrini)
Pelatihnya, Jean-Jacques Henry (kanan) menyebut bahwa Ali Zada adalah pembalap sepeda jalan raya putri terbaik yang pernah dihasilkan Afghanistan. Dirinya juga terkesan dengan kemajuan pesat sang atlet. (Foto: AFP/Fabrice Cofrini)
Ali Zada akan menghadapi 25 peserta time trial jalan raya putri pada 28 Juli nanti. Dia akan menempuh jalur sejauh 22,1 km dan itu merupakan pengalaman pertamanya berlomba dalam nomor time trial di Olimpiade Tokyo 2020. (Foto: AFP/Fabrice Cofrini)
Membawa misi kemanusiaan, Ali Zada ingin semua wanita di Afghanistan agar memiliki hak bersepeda. (Foto: AFP/Fabrice Cofrini)