Bola.com, Jakarta - Perpisahan dramatis ala Lionel Messi tidak hanya terjadi di kompetisi Eropa. Kasus yang sama juga sering berlangsung di Liga Indonesia.
Kiprah 21 tahun Lionel Messi bersama Barcelona harus berakhir dramatis. Penyerang berusia 34 itu terpaksa meninggalkan klub di luar kemauannya.
Barcelona gagal memperpanjang kontrak Lionel Messi karena terhambat pembatasan gaji oleh La Liga.
Kesediaan Lionel Messi untuk mengurangi gajinya sebanyak 50 persen juga tidak cukup untuk mempertahankannya di Camp Nou.
"Saya memikirkannya tiap hari, bagaimana mengatakan hal ini, tapi sulit. Setelah bertahun-tahun, hidup saya di sini, saya tak siap melakukan ini," kata Lionel Messi.
"Saya selalu ingin bertahan di Barcelona. Ini adalah rumah saya. Rencana utamanya adalah bertahan, dan hari ini, saya harus mengucapkan selamat tinggal."
"Kalau memungkinkan, saya sedianya mengatakan ini di depan semua fans di Camp Nou. Sebab saya saya ingin mengucapkan syukur atas semua cinta dan dukungan kepada saya."
"Kontrak baru saya sudah berakhir. Usai sudah. Saya ingin bertahan dan saat kembali dari liburan, semuanya sirna. Sisanya seperti Laporta sudah jelaskan. Pada akhirnya, semua tergantung La Liga, dan itu tak mungkin terjadi," jelas kapten Timnas Argentina ini.
Berdasarkan data Transfermarkt, Lionel Messi telah membukukan 672 gol dan 305 assists dari 778 penampilannya bersama Barcelona sejak promosi ke tim utama pada 2004.
Lionel Messi dikabarkan akan bergabung dengan Barcelona untuk kontrak berdurasi dua tahun plus perpanjangan semusim.
Perpisahan dramatis ala Lionel Messi juga ditemukan di Liga Indonesia. Berikut Bola.com rangkum enam di antaranya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Boaz Solossa
Kebersamaan 17 tahun Boaz Solossa bersama Persipura Jayapura berakhir tragis. Penyerang berusia 35 tahun itu dipecat dari tim karena kasus indisipliner berat dan berulang.
Tidak hanya Boaz Solossa, pemain senior lainnya, Yustinus Pae, juga dicoret dari oleh Persipura.
"Dengan sangat berat, kami memutuskan untuk melepas Boaz Solossa dan Pae," kata Ketua Persipura, Benhur Tomi Mano dalam rilisnya di akun Instagram klub, @persipurapapua1963 pada 5 Juli 2021.
"Apakah hal-hal indisipliner ini sudah sering terjadi? Ya, benar. Para pemain atau ofisial atau yang berada dan pernah berada di tim ini pasti tahu. Silakan ditanyakan saja kalu kami dianggap berbohong."
"Hampir setiap tahun hal ini terjadi, berlangsung terus-menerus. Kami selalu sabar serta mentoleransi pelanggaran mereka. Apakah kami tidak menghargai mereka?"
"Kami terlalu sayang, hormat, dan menghargai mereka. Sampai kami rela disindir oleh pihak lain karena dianggap terlalu lemah dengan mereka. Tapi kami tetap sabar karena kami menghormati mereka."
"Kami terus menunggu mereka berubah. Banyak pemain muda kami yang menjadikan mereka sebagai contoh. Tapi tidak ada perubahan. Kami sabar. Tuhan Yang Maha Esa maha tahu segalanya. Tetapi untuk kali ini, bagi kami sudah kelewatan," terang Wali Kota Jayapura, Papua ini.
Boaz dan Yustinus Pae mengakui menenggak minuman keras sebelum pencoretan terjadi.
"Mengenai kesalahan indisipliner itu, kami harus siap dengan keputusan manajemen, tapi saya kira kejujuran merupakan hal yang sangat berarti. Yustinus Pae jujur kepada pelatih kalau dia sempat minum. Mungkin sebenarnya pelatih sudah tahu, dan setelah berbicara jujur itu kami tetap bermain," imbuh Boaz.
Pelatih Persipura, Jacksen Tiago bahkan mengindetifikasi perilaku dari Yustinus Pae dan Boaz sebagai "sesuatu yang berbahaya, mengarah ke doping, mengancam nyawa, hingga bisa kolaps di lapangan" ketika beruji coba dengan Persita Tangerang pada 13 Juni 2021.
"Semua orang tahu kalau pengaruh dari meminum minuman keras itu sudah hilang satu hari setelahnya. Ketika meeting dalam ruang ganti sebelum uji coba, saya bilang ke coach bahwa saya dan Boaz memang minum. Semuanya terserah kepada coach. Apakah mau menurunkan kami atau tidak," jelas Yustinus Pae.
"Coach menjawab, karena saya dan Boaz sudah diproyeksikan bermain, maka kami berdua tetap bermain. Setelah kami bermain, terjadi kekacauan itu. Saya lebih dulu diganti pada babak pertama, baru Boaz di paruh kedua."
"Setelah kami diganti, baru ada insiden itu. Setelah kejadian itu, laga dihentikan dan kami masuk ruang ganti. Coach bicara banyak. Akhirnya semua dikaitkan dengan perbuatan kami. Coach juga bilang bahwa kejadian itu buntut dari perbuatan kami," tutur Yustinus Pae.
Hijrah dari Persipura, Boaz bergabung dengan Borneo FC. Sementara Yustinus Pae, masih belum mendapatkan klub hingga saat ini.
Sepanjang kariernya, Boaz telah menyumbangkan tiga gelar Liga Indonesia pada 2005, 2008/2009, 2010/2011, dan 2013 plus satu trofi Indonesia Soccer Championship (ISC) pada 2016.
Selain itu, pemain yang karib dipanggil Bochi ini juga tiga kali menjadi top scorer dan pemain terbaik Liga Indonesia pada 2008/2009, 2010/2011, dan 2013.
Atep
Bagi publik Persib Bandung, nama Atep tidak asing lagi dan dianggap sebagai legenda hidup. Sebagai putra daerah Jawa Barat dan bertahun-tahun membela Persib, Atep menghadirkan banyak cerita untuk Maung Bandung.
Atep sudah 10 tahun ia berkarier di Persib sejak hijrah dari Persija Jakarta pada 2008. Atep ikut berperan penting dalam mengantarkan Persib meraih gelar juara ISL 2014 dan Piala Presiden 2015.
Namun, siapa sangka pemain yang dijuluki Lord Atep oleh bobotoh itu harus berpisah dengan Persib. Tepatnya pada akhir musim 2018, dan menariknya diputus kontak hanya melalui WhatsApp oleh manajemen Persib.
Cerita itu cukup mengharukan. Ia menuturkan semuanya dalam sebuah percakapan di kanal YouTube Republik Bobotoh TV. Pria bernama lengkap Atep Ahmad Rizal ini, mengaku saat dikeluarkannya dari Persib dua tahun lalu adalah momen yang bakal sulit ia lupakan.
Atep sebenarnya punya mimpi besar untuk selama mungkin berseragam Persib, bahkan hingga pensiun. Ia begitu mencintai Persib karena tim tanah kelahirannya. Atep bahkan rela hijrah dari tim rival Persib, Persija Jakarta.
"Sebenarnya yang dilakukan manajemen Persib ke pemain yang kontraknya tidak diperpanjang hampir sama, seperti Airlangga Sucipto, Toni Sucipto, dan Patrich Wanggai yaitu lewat telepon," kata Atep.
Saat diputus kontrak, Atep sedang menghadiri hajatan.
"Saat itu posisi saya di Sukabumi ada sebuah hajatan, bersama Tantan dan Jajang Sukmara dan pemain lain. Lalu dapat WA manajemen Persib, isinya bisa tidak telepon. Saya pikir membahas kontrak atau hal lain. Tapi akhirnya dalam telepon dibilang maaf Atep tidak bisa bersama Persib lagi karena ada peremajaan atau regenerasi. Jadi buat Atep sudah cukup sampai di sini," kenangnya.
Atep mengatakan dalam telepon itu, ia ingin bertemu dahulu dengan manajemen untuk menyampaikan terima kasih karena sudah 10 tahun di Persib. Ia juga mengaku kawan-kawannya sempat tidak percaya kalau diputus kontrak Persib.
Seketika itu pria kelahiran Cianjur, 5 Juni 1985 tersebut menyampaikan kabar pencoretan dirinya kepada sang istri. Jawaban istrinya cukup bijak, karena barangkali rezeki Atep tidak lagi di Persib.
Hariono
Hariono begitu emosional ketika diberikan waktu untuk berbicara di hadapan puluhan ribu suporter Persib Bandung, Bobotoh, setelah kemenangan 5-2 atas PSM Makassar di Stadion Si Jalak Harupat, Kabupaten Bandung, 22 Desember 2019.
Partai pekan ke-34 Shopee Liga 1 2019 tersebut menjadi pertandingan perpisahan Hariono dengan Persib. Setelah 11 tahun bersama, kontrak gelandang berusia 34 tahun itu tidak diperpanjang.
Sejak jauh-jauh hari, pelatih Robert Alberts dan manajemen Persib telah sepakat untuk tidak lagi menggunakan tenaga Hariono pada Shopee Liga 1 musim ini.
Keputusan itu memancing reaksi pro dan kontra. Ada yang berpendapat bahwa Persib seharusnya menghargai loyalitas Hariono yang telah bergabung sejak 2008.
Ada pula yang menyebutkan bahwa kebijakan klub berjulukan Pangeran Biru ini perlu dihargai merujuk dari kebutuhan dan strategi tim.
Saat mendapatkan kesempatan untuk mengucapkan salam perpisahan ke Bobotoh, Hariono mengungkapkan penyebab utama dirinya tersingkir dari Persib.
Mantan pemain Deltras Sidoarjo ini menyebut bahwa Robert Alberts adalah alasan mengapa manajemen tidak memperpanjang kontraknya.
"Jujur dari lubuk hati saya yang paling dalam, saya ingin pensiun di Persib. Tapi sekarang, pelatih tidak menginginkan keberadaan saya di Persib," ujar Hariono yang saat ini membela Bali United.
Hariono adalah pemain terlama di skuad Persib saat itu. Dia telah memperkuat Pangeran Biru sejak 2008.
Selama 11 tahun kariernya di Kota Kembang, Hariono berhasil mempersembahkan dua gelar meliputi trofi Liga Indonesia pada 2014 dan Piala Presiden 2015. Pada partai kontra PSM, ia mampu menutup kariernya di Persib dengan sumbangsih satu gol.
Syamsul Chaeruddin
Syamsul Chaeruddin dan PSM Makassar telah menjadi bagian yang tak terpisahkan. Namun pada 2017, kedua belah pihak terpaksa bercerai.
Kala itu, Syamsul merasa tenaganya sudah tidak dibutuhkan lagi oleh PSM Makassar. Mantan pemain berusia 37 tahun itu juga ingin memberikan kesempatan kepada para pemain muda untuk berkembang di tim berjulukan Pasukan Ramang itu.
Saat itu, PSM tengah mengasah kemampuan Muhammad Arfan sebagai pengganti Syamsul. Ada pula Asnawi Mangkualam yang berposisi sama sebelum berganti peran menjadi bek sayap kanan.
Maka dari itu, Syamsul memutuskan hengkang dari PSM pada akhir 2017. Tujuan berikutnya kala itu ialah PSS Sleman yang masih berkutat di Liga 2.
"Karena di sepak bola yang namanya usia, apalagi sudah banyak pemain yang bisa berkembang kalau dikasih kesempatan, saya pikir, saya harus pindah karena saya lihat juga di beberapa laga saya tak dibutuhkan. Masih banyak pemain baru yang masih diberikan kesempatan bermain," ujar Syamsul dinukil dari wawancaranya di YouTube FERDINAND SINAGA Story.
Sepanjang musim 2017, Syamsul memang tersisihkan dari skuat utama PSM Makassar. Buktinya, mantan pemain Timnas Indonesia ini hanya tampil sebanyak enam kali.
PSM adalah klub pertama Syamsul yang dibelanya sejak 2001. Mantan pemain yang identik dengan rambut panjang ini lalu hijrah ke Persija Jakarta pada 2010 dan Sriwijaya FC pada 2011.
Memasuki pertengahan musim 2012, Syamsul diminta kembali ke PSM. Tanpa pikir panjang, jebolan Persigowa Gowa ini langsung menyetujui tawaran tersebut. Ia bahkan bersedia mengubur rasa kecewanya sempat merasa tak dibutuhkan Tim Juku Eja beberapa tahun sebelumnya.
"Kalau perasaan sedih sekali. PSM yang angkat prestasi saya. Saya memang orangnya kalau soal materi, saya tak pernah permasalahkan kontrak. Yang penting saya bisa bermain di PSM. Jadi saya pikir saatnya keluar pada waktu itu," imbuh jangkar kelahiran 9 Februari 1983 tersebut.
Ahmad Bustomi
Sosok Ahmad Bustomi begitu lekat dengan kota Malang. Maklum ia mengawali karier usia muda bersama Persema Malang. Saat menjejak masuk profesional, ia juga sempat memperkuat Persikoba Batu.
Ahmad Bustomi bergabung dengan Arema FC pada 2008. Tiga tahun berselang, ia harus mengambil keputusan berat dengan meninggalkan tim berjulukan Singo Edan itu.
Ahmad Bustomi memilih untuk merapat ke Mitra Kukar.
Melalui wawancara dengan channel YouTube Sportsmagz TV, pemain yang pernah menjabat kapten Tim Nasional Indonesia itu menceritakan alasannya meninggalkan Arema dan hengkang ke Mitra Kukar.
Ternyata sampai sekarang, tidak ada yang tahu alasannya kecuali keluarga sang pemain. "Memang keputusan yang tidak mudah. Sangat, sangat berat," cerita Ahmad Bustomi.
"Saya sudah pikir matang-matang. Sebenarnya saya tidak boleh keluar dari Arema saat itu. Tapi karena ada sesuatu hal, yang sampai sekarang hanya keluarga saya yang tahu. Akhirnya saya putuskan keluar. Untuk kebaikan saya dan semuanya," lanjutnya.
Karena rasa cinta terhadap kota Malang begitu melekat, Ahmad Bustomi sempat kembali ke Arema pada tahun 2014-2017. Sebelum akhirnya kembali ke Mitra Kukar. Kini, Ahmad Bustomi memperkuat Persela Lamongan.
Eduard Ivakdalam
Bicara soal legenda Persipura, sosok Eduard Ivakdalam, sama sekali tak boleh dilupakan.
Edu, begitu pria kelahiran Merauke, 19 Desember 1974 ini biasa disapa, melewatkan 16 tahun dengan berkiprah bersama Persipura. Ia bergabung mulai 1994 hingga terakhir berkostum Merah-Hitam pada 2010. Setelah itu ia melanjutkan karier bersama Persidafon Dafonsoro serta Persiwa Wamena.
Saat bersama Persipura, Edu tidak hanya jadi pemain tangguh dengan kemampuan bertahan maupun menyerang sama baiknya. Tidak hanya sekadar playmaker dengan visi bermain apik, tidak hanya gelandang yang punya hobi "memberi makan" striker dengan umpan matang.
Edu bukan hanya memiliki tendangan kaki kiri yang kuat, dan jadi algojo tendangan bebas maupun penalti yang akurat, namun juga memiliki sifat pemimpin dan bak ayah maupun kakak dalam tim.
Semua kualifikasi itu membuatnya mengenakan ban kapten Mutiara Hitam selama delapan dari 16 tahun masa pengabdiannya di Persipura. Ia biasa dipanggil Paitua alias Bapak Tua oleh rekan setim, terutama mereka yang lebih muda darinya.
Namun, roda kehidupan senantiasa berputar. Sebagai manusia biasa, Eduard Ivakdalam tak kuasa melawan satu hal: waktu. Seiring bergulirnya waktu, usianya bertambah. Namun, ia tak menyangka bila musim 2009/2010 bakal jadi musim terakhirnya bersama klub kebanggaan warga Jayapura dan Papua itu.
Edu menganggap masih kuat bersaing dengan pemain yang jauh lebih muda darinya kendati ketika itu usianya sudah menginjak 35 tahun. Pemain yang kini berusia 46 tahun itu lantas membeberkan kisah sedihnya bersama tim Mutiara Hitam.
Edu lantas menceritakan bila saat persiapan musim 2010/2011, di saat masih bernegosiasi kontrak dengan Ketua Umum Persipura ketika itu, MR Kambu, ia merasa disisihkan begitu saja lantaran tidak diberitahu perihal jadwal dimulainya latihan usai libur kompetisi musim 2009/2010.
"Saat saya dalam perjalanan pulang setelah bicara dengan Bapak Kambu, saya ditelpon teman-teman yang mengabari bila hari itu latihan dimulai. Saya kaget karena sebagai kapten saya merasa tidak diberitahu. Status saya saat itu masih menunggu pembicaraan kontrak tuntas. Saya pun putar balik menuju Lapangan Brimob dan benar ada latihan. Padahal, saya sempat bertanya kepada Bapak Kambu perihal jadwal latihan dan beliau menjawab tak tahu," kata Edu kepada Bola.com medio Juni 2016.
Edu kecewa. Semestinya ia tidak ditepikan begitu saja karena negosiasi belum tuntas, belum ada kepastian apapun. Ia merasa seharusnya ada komunikasi yang baik dari manajemen kepadanya.
"Selama itu saya tak pernah bermasalah dengan Persipura. Saya selalu bermain dengan hati baik, ikhlas, dari saya nol, tak punya apa-apa. Dari terima bonus mulai Rp50 ribu, Rp100 ribu. Saat jadi kapten saya juga tak mempermasalahkan nilai kontrak," bebernya.
Merasa tak lagi dibutuhkan dan seolah dipaksa menepi karena negosiasi yang tak kunjung tuntas, setelah berembug dengan sang istri, Edu memutuskan meninggalkan Persipura dan menuju Persidafon Dafonsoro.
"Untuk apa saya menunggu? Saya harus mengambil keputusan. Mereka, manajemen Persipura, bilang agar saya bersabar. Tapi saya merasa tarik ulur ini tidak tepat. Saya pun mengambil langkah pergi dari tim," tutur Edu.
Ketika Ketua Persipura memanggilnya lagi, praktis Edu sudah menjatuhkan pilihan untuk melanjutkan kariernya bersama Persidafon. Buat tim tetangga Persipura itu, kehadiran Edu bak mendapatkan durian runtuh. Kendati usianya sudah beranjak tua untuk pesepak bola, kualitas sebagai jenderal lini tengah yang dimiliki Edu belum sirna.
"Persidafon bahkan kaget, tidak pernah berpikir bisa menggaet saya karena mereka berpikir saya hanya milik Persipura," kata Edu.