Bola.com, Malang - Nama Reinold Pietersz terselip sebagai seorang legenda Persebaya Surabaya. Mungkin namanya tidak sebesar Bejo Sugiantoro, Anang Ma’ruf atau Jacksen Tiago pada era 1990-an. Namun, ada satu prestasi unik yang hanya bisa dilakukan Koko, sapaan akrabnya, yaitu meraih juara di semua level kompetisi Indonesia.
Pria kelahiran Ambon 1974 itu pertama kali meraih gelar juara Liga Indonesia 1996/1997 bersama Persebaya Surabaya. Waktu itu Koko berkontribusi sebagai tandem dari Jacksen Tiago di lini depan tim berjulul Bajul Ijo tersebut. Kecepatan dan karakter ngotot khas pemain Ambon jadi ciri khasnya.
Setelah keluar dari Persebaya pada musim 2002, Koko gabung Persela Lamongan. Dia membawa tim itu promosi ke kasta tertinggi lewat jalur play off.
Tahun selanjutnya, giliran Persekabpas Pasuruan yang dibawanya menjadi juara kasta kedua dan promosi ke kasta tertinggi. Tak cukup sampai di sini, selanjutnya Koko gabung Persiku Kudus dan jadi juara Divisi II, atau yang kini lebih sering disebut Liga 3.
“Kadang saya melihat medali yang saya taruh di rumah. Medali dari semua kasta sepak bola Indonesia ada. Dari yang tertinggi, kasta kedua sampai ketiga. Satu lagi medali emas PON 1996 untuk Jawa Timur,” katanya.
Koko bersyukur dengan catatan prestasi tersebut. “Setiap melangkah ke satu tim, ada sejarah dan kenangan yang saya simpan di sana,” lanjutnya.
Ketika kembali membela Persebaya Surabaya pada tengah musim 2006, dia juga membawa tim ini juara kasta kedua. Koko mengakhiri petualangan pada musim 2007 ketika sudah berusia 36 tahun.
“Sebenarnya secara fisik saya masih kuat main di kasta tertinggi. Sempat ada tes VO2Max tahun itu, hasilnya masih bagus. Tapi, saya merasa sudah cukup. Lalu saya mengalami cedera juga,” kata Koko.
Tidak Sempat Membela Timnas Indonesia
Jika melihat prestasi semasa jadi pemain, ada yang kurang dari Reinold Pietersz. Dia tak pernah masuk dalam skuat Timnas Indonesia. Itu pun diakuinya. Dia hanya sempat masuk daftar panggil seleksi pada 1996. Namun, namanya tidak tercantum dalam ajang resmi yang diikuti Timnas Indonesia.
“Waktu itu hanya 1996 ada daftar panggilan. Tapi, waktu itu banyak sekali striker bagus di Indonesia. Widodo Cahyono Putro, Rocky Putiray, Kurniawan Dwi Yulianto, masih ada juga Peri Sandria. Tapi, saya tetap semangat waktu itu. Selalu bersyukur meski bukan di level tim nasional, tapi di tempat lain masih bisa berbuat sesuatu,” tegasnya.
Dia tak menyesal berkemnbang pada era 1990-an, di mana Indonesia memiliki banyak striker bagus hasil dari kompetisi. Berbeda dengan era saat ini, Indonesia seakan kehabisan penyerang lokal karena mayoritas klub memakai striker asing.
“Mungkin karena perbedaan regulasi dulu dan sekarang,” pungkasnya.