Bola.com, Jakarta - Sejak 2017, Azrul Ananda memegang kendali manajemen Persebaya Surabaya dengan status sebagai presiden klub. Ditangan Azrul yang menyelesaikan studi International Marketing di Universitas Negeri California Sacramento pada 1999 ini, pamor Persebaya sebagai tim elite Indonesia perlahan tapi pasti kembali.
Dimulai dengan promosi ke kompetisi kasta tertinggi dengan status juara Liga 2 2017. Di Liga 1, Persebaya langsung merangsek ke papan atas. Pada 2018, tim kebangaan warga Surabaya ini, bertengger di peringkat lima klasemen akhir. Musim berikutnya naik ke posisi dua di bawah sang juara Bali United.
Tak hanya dari sisi prestasi, Azrul bersama tim manajemennya melakukan sejumlah terobosan bisnis untuk menopang keuangan timnya. Di antaranya membuka store atau toko olahraga yang menjual pernak-pernik Persebaya.
Pada tahap awal sudah ada 18 store yang tersebar pada 6 kota di Jawa Timur. "Rencananya, store Persebaya ada di 30 kota/kabupaten di Jawa Timur. Semoga kompetisi Liga 1 bisa berjalan dengan lancar dan terjadwal dengan baik," ujar Azrul dalam channel Youtube Helmy Yahya.
Menurut Azrul, kepastian jadwal kompetisi sangat dibutuhkan oleh tim peserta untuk membuat perencanaan dan program. Khususnya terkait dengan sponsor untuk menopang operasial tim.
Azrul merujuk kondisi yang dialami oleh Persebaya di Liga 1 2020 yang mengalami beberapa kali penjadwalan ulang sebelum dinyatakan batal oleh PSSI akibat izin dari polisi tak kunjung turun dengan alasan wabah pandemi COVID-19.
"Kami mengalami kerugian mencapai puluhan miliar. Saya yakin, ada klub yang merugi lebih besar Persebaya," ungkap Azrul.
3 Kriteria
Dalam mengelola tim, Azrul mengungkap tiga kriteria yang harus dipenuhi agar kondisi keuangan sehat layaknya sebuah tim profesional. Pertama adalah fans eguity yang artinya suporter jadi penopang keuangan dengan mendatangkan pemasukan lewat tiket, merchandise atau hal-hal lain yang berkaitan dengan klub.
"Saya mengapreasiasi dukungan total yang memperlihatkan para bonek (suporter Persebaya) dengan slogan, no ticket no game. Buktinya, pada musim 2019, Persebaya menjadi tim dengan penonton terbanyak di Liga 1," papar Azrul.
Kedua adalah Social equity dapat ditinjau dari keaktifan suporter Persebaya di media sosial. Sedangkan away equity dilihat dari seberapa banyak suporter Persebaya yang datang di pertandingan tandang. "Secara langsung kami juga membantu keuangan tim tuan rumah dari pendapatan tiket," terang Azrul.
Pada kesempatan ini, Azrul meluruskan stigma bonek yang masih dinilai minor. Menurut Azrul, pada awalnya arti Bonek yang terdiri dari dua kata yakni Bondho (modal) dan Nekat (tekad yang kuat).
Ia merujuk pengalamannya ketika menjadi suporter Persebaya yang berkiprah di Stadion Utama Senayan dengan istilah ikonik, tret tet tet saat melancong ke kandang lawan.
"Saya waktu itu masih berusia belasan tahun ke Jakarta dengan naik bus bersama pendukung Persebaya. Ada juga yang naik kendaraan pribadi dan pesawat. Jadi arti bonek yang sebenarnya adalah punya modal disertai tekad kuat saat mendukung Persebaya,"tegas Azrul.
Bonek Telah Berubah
Azrul menambahkan, Bonek di era Liga 1 sudah berubah jauh yang secara perlahan memupus stigma minor itu. Azrul mengungkap rasa takjubnya ketika mendampingi tim pada Piala Dirgantara 2017 di Stadion Maguwoharjo.
Di mana kala itu, suporter Persebaya justru mengadang rekan-rekannya yang ingin masuk ke stadion tanpa memiliki tiket. Belakangan Bonek kian dikenal dengan berbagai aktivitas sosial yang berhubungan langsung dengan masyarakat seperti mendirikan panti asuhan, ikut membantu meringankan beban korban bencana alam, menggelar program sejuta masker dan vaksinasi massal.