Bola.com, Jakarta - Aceh pernah punya talenta sepak bola hebat di era 90-an bernama Fakhri Husaini. Lahir di Lhokseumawe, Aceh, 27 Juli 1965 dan menjadi satu di antara pemain bintang baik di level klub maupun Timnas Indonesia.
Ia banyak menghabiskan kariernya untuk klub Pupuk Kalimantan Timur (PKT) Bontang. Selama sembilan musim ia berseragam PKT dan mengantarkan timnya hingga tiga kali menjadi runner-up Liga Indonesia.
Fakhri Husaini juga mentereng bersama tim Merah-putih dengan tampil tiga kali pada ajang SEA Games. Ia menjadi kapten Timnas Indonesia, dengan puncak kariernya di SEA Games 1997 Jakarta dan mempersembahkan medali perak.
Sosoknya tidak hanya sukses sebagai pemain saja, lantaran Fakhri juga punya prestasi sebagai pelatih Timnas Indonesia kelompok usia. Kariernya sebagai pelatih meroket dengan ditunjuk menangani Timnas Indonesia U-16 dan U-19 sejak 2017.
Prestasi tertingginya adalah membawa Garuda muda U-16 menjuarai Piala AFF U-16 di Sidoarjo tahun 2018. Lantas ia sempat mengantarkan Timnas Indonesia melaju ke perdelapan final ajang Piala Asia U-16 di Kuala Lumpur pada tahun 2018.
Sayangnya perjalanan tim Merah-putih kala itu harus dihentikan Australia. Kekalahan yang sekaligus membuat langkah Timnas Indonesia U-16 gagal melaju ke Piala Dunia U-17 2019.
Pengaruh Keluarga
Terdapat kisah menarik dari seorang Fakhri Husaini ketika jauh menengok ke belakang berpuluh tahun lalu atau saat ia mulai belajar sepak bola. Sosok sang ayah merupakan yang pertama kali memperkenalkannya dengan olahraga si kulit bundar.
Namun demikian, ayahnya pula yang sebenarnya melarang Fakhri Husaini menjadi pemain sepak bola. Tidak hanya ayah, ibunya juga sempat melarang Fakhri Husaini menjadi pesepakbola.
"Orang yang memperkenalkan sepak bola adalah ayah saya yang dulu pemain sepak bola PS Pertamina Rantau Panjang. Awalnya tidak diizinkan karena ayah pernah ribut di pertandingan, kepala terluka karena keributan penonton. Untuk itu tidak mengizinkan saya ikut jejaknya," tutur Fakhri Husaini dalam kanal YouTube Omah Bal-balan.
Perlahan hati ayahnya melunak meski dengan proses yang tidak mudah. Dimulai saat pengurus tim sepak bola Lhokseumawe mendatangi ayahnya untuk meminta izin bahwa Fakhri harus tampil di ajang Piala Soeratin karena punya bakat terpendam. Nama Fakhri bahkan sempat diusulkan ikut seleksi program PSSI Garuda I.
Tidak sampai disitu, klub dari Malaysia yang sempat mengasakan tour ke Aceh dan Medan, sempat melirik bakat Fakhri. Hingga ia sebenarnya mendapat tawaran untuk bermain di Malaysia, namun tetap belum mendapat izin dari ayahnya.
"Perlahan mendapatkan dukungan tapi belum keluar dari Aceh dulu. Saat di Piala Soeratin ikut Aceh Utara bertemu Medan, ayah saya manajer timnya, saya tidak boleh main, alasannya saya ikut tim. Padahal umur saya masih 15 tahun dan ingin main untuk menikmati pertandingan dengan pemain seusia," kata Fakhri.
"Kemudian saya pindah ke Jakarta ikut Bina Taruna setelah ujian SMA. Saya kembali ke Aceh hanya untuk tanda tangan ijazah. Selama lima tahun saya di Bina Taruna, yang kemudian berlanjut ke klub profesional seperti Lampung Putra, Petrokimia Putra Gresik, dan PKT Bontang," lanjut pria 56 tahun tersebut.
Gelandang Jenius
Masa kejayaan Fakhri Husaini memang membuatnya menjadi bintang tidak hanya untuk PKT, namun juga Timnas Indonesia. Satu tempat di posisi gelandang terutama sebagai playmaker melekat pada dirinya.
Fakhri tidak hanya dibekali kecepatan atau kelincahan dalam dribel. Ia juga cerdik dalam memberikan operan atau penempatan posisi. Bahkan nalurinya mencetak gol juga tinggi, hingga ia pernah dijuluki gelandang yang jenius.
Ia mengaku kondisi yang membentuknya seperti itu adalah ketika selama belajar main bola di Aceh. Yaitu bahwa formasi tim 4-2-4 sangat lazim di kampung halamannya dan Fakhri betul-betul ditempa sebagai gelandang yang harus bekerja keras.
"Karena saya saling muda disuruh terus untuk kejar bola. Kondisi yang membuat kreativitas itu muncul, kalau saya salah passing atau peluang gagal saya malu untuk itu saya belajar sendiri. Latihan di rumah dengan pot-pot bunga untuk berlatih dribbling, banyak pot pecah dan membuat ibu saya sempat marah," kenangnya.
Fakhri terus berlatih dengan cara seperti itu selama di Aceh. Hingga akhirnya ia semakin berkembang ketika ke Jakarta bersama Bina Taruna. Dari skema permainan 4-2-4 ke 4-4-2 membuatnya sangat terbantu dengan gelandang lainnya.
"Saya menjadi pemain yang beruntung. Karena dilatih Ipong Silalahi di Bina Taruna, lalu oleh Risdianto di Lampung Putera, dan Ronny Pattinasarany di Petrokimia Putra. Ketiganya membawa pengaruh besar dalam mengajarkan kemampuan di sepak bola," jelas Fakhri Husaini.
Sumber: YouTube Omah Bal-balan