Bola.com, Jakarta - Tidak berlebihan rasanya bila saya mengacungkan dua jempol kepada Jokowi dan jajaran pemerintah saat ini karena komitmen mereka untuk menggelar PON XX Papua 2021 setelah setahun tertunda karena pandemi. Beban mereka berlipat ganda karena isu keamanan Bumi Cendrawasih tengah mengemuka ketika perhelatan pesta olahraga nasional ini diputuskan akan tetap berjalan.
Sebanyak sepuluh ribu atlet dan ofisial dari seluruh provinsi di Indonesia tumpah ruah ke empat kota atau kabupaten di Papua saat ini dengan risiko terpapar Covid-19 dan mengalami gangguan Kelompok Kriminal Bersenjata yang hingga bulan lalu saja masih melakukan serangan bersenjata api dan sejumlah pembakaran rumah warga di kaki Pegunungan Bintang.
Mengundurkan, apalagi membatalkan PON Papua, seakan menjadi pembenaran bahwa kawasan paling timur ini sedang bergolak dan tidak cukup aman untuk membuktikan utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Namun, ternyata kita tetap mampu bergerak maju sebagai sebuah bangsa yang besar dan mempunyai visi geopolitik yang terang benderang bahwa Papua adalah bagian integral dari Nusantara dan segala problem soal pemerataan pembangunan dan keadilan ekonomi masih terus berupaya kita selesaikan.
Wawasan geopolitik dalam helatan PON Papua kali ini jadi penting tidak hanya dari sudut kepentingan kita tapi juga dalam hal perang informasi. Dari 1.900 wasit yang bertugas di event ini, ada 34 pengadil yang berasal dari luar negeri. Salah satunya berasal dari Australia, yang sikap politiknya terhadap Papua sedikit banyak membangkitkan trauma kita kala Timor Timur lepas dari Indonesia pada 1999.
Itulah sebabnya sudah menjadi tugas awak media Tanah Air untuk menyuarakan peran kita sebagai pilar keempat dalam dunia demokrasi Indonesia untuk memastikan bahwa PON Papua memang tidak sempurna tapi kita berdaulat dan mampu mengurus diri sendiri.
Saat ledakan bom mengguncang Olimpiade Atlanta 1996, AS tetap menggelar event hingga selesai dan Presiden Bill Clinton mengajak warga untuk membuktikan teror itu tidak akan bisa membuat mereka takut. Saya berdoa agar tragedi yang sama tidak terjadi di Papua.
Lagu Lama Pembajakan Atlet
Dengan perubahan pola media mainstream versus media sosial saat ini dibanding 1996, kini tantangan bagi Presiden Jokowi dan TNI-Polri di PON Papua jelas lebih berat. Tanpa gangguan keamanan saja, isu-isu seputar pembinaan atlet antarprovinsi kerap muncul ke permukaan seperti lagu lama yang diputar berulang-ulang.
Tapi, setidaknya media dan netizen di Tanah Air semoga sepakat bahwa sekarang bukan waktu yang tepat untuk menertawakan diri sendiri tapi justru kita wajib menyatukan hati untuk menghadapi segala bentuk teror pemecah persatuan bangsa.
Dalam senarai nama tujuh ribu atlet yang bertanding dan berlomba di Papua percaya atau tidak ada yang sudah 2-3 kali berganti KTP demi membela provinsi berbeda yang menjanjikan mahar besar sejalan raihan medali mereka kelak. Praktik ini sudah terjadi sejak era '80-an.
Penulis masih ingat ketika Gubernur Jawa Barat, almarhum Yogi Suardi Memet, protes keras karena DKI Jakarta membajak sejumlah atlet nasional asal Jabar yang berlatih di ibu kota agar mereka membela DKI pada PON ke-12 di Jakarta 1989. Saat Pak Yogi didapuk menjadi Mendagri pada empat tahun kemudian sikapnya soal pembajakan atlet ini tidak berubah.
Saat itu penulis masih menjalani studi di Bandung tapi kasus ini lekat dalam ingatan karena almarhum ayah saya, Profesor Ateng Syafrudin, ikut angkat bicara menyoal ini. Sebagai penggagas pendirian Bapenas dan Ketua Badan Pembangunan Daerah Jabar, beliau mengatakan proses pembajakan atlet bisa diredam bila PON kembali digelar di daerah dan tidak melulu di Jakarta sehingga pemerataan pembangunan infrastruktur olahraga terjadi dan imbasnya atlet bisa berlatih intensif di provinsi masing-masing.
Menambahkan opini di atas, menurut penulis langkah KONI, Kemenpora, dan para stake holder dunia olahraga Indonesia untuk memastikan PON menjadi ajang pembibitan atlet dengan pembatasan umur dan status prestasi mereka sudah tepat. Atlet peraih medali di level multi-event internasional dan sudah berusia lebih dari 26 tahun memang harus memberi jalan kepada para juniornya untuk unjuk gigi di PON.
Namun, pembajakan atlet junior ini pun masih tetap terjadi dan beberapa di antara mereka bahkan menghubungi penulis secara pribadi untuk curhat dan meminta pendapat.
Prestasi Internasional sebagai Barometer
Pada tatanan yang lebih matang dan tertata rapi seperti dalam sepak bola dalam konfederasi UEFA saja, isu seperti ini tetap terjadi. Kita tidak perlu khawatir.
Pemain potensial asal Eropa kontinental banyak yang dibajak klub-klub asal Inggris sebelum berusia 17 tahun, misalnya, demi memastikan mereka saat berstatus profesional dapat didaftarkan sebagai home-grown-player (pemain binaan lokal) dan dapat didaftarkan untuk berlaga mewakili klub Inggris dengan sahih.
KONI dan Kemenpora pun mungkin bisa memupus istilah “uang pengganti pembinaan” bila ada seorang atlet junior dibeli sebuah provinsi dari provinsi lain jelang PON berikutnya. Prasyarat boleh tidaknya seorang atlet mewakili sebuah daerah sebaiknya ditambah dengan klausul batasan minimal durasi dan total biaya yang telah dikeluarkan seorang gubernur untuk membiayai home-grown athtletes miliknya.
Penulis yakin dengan tambahan aturan ini maka ajang adu prestise para kepala daerah di PON lebih bersifat strategis dan jangka panjang sehingga pembajakan atlet tidak akan terjadi. Kondisi ini akan mengerucut kembali dalam prespektif Wawasan Nusantara yang diusung undang-undang keolahragaan nasional kita.
Ya, berlomba membina atlet daerah akan memacu prestasi olahraga internasional sebagai barometer akhir keberhasilan pembinaan atlet-atlet kita. Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki sprinter Lalu Muhammad Zohri yang pada usia ke-18 menjadi juara dunia junior dengan mengalahkan dua sprinter asal AS di Finlandia.
Pemegang rekor nasional lari 100 meter dengan catatan waktu 10,03 detik ini sekarang baru berusia 21 tahun dan baru saja mencicipi turun berlaga di Olimpiade Tokyo 2021. Pelari kelahiran Lombok ini jelas tidak bakal kesulitan untuk meraih emas di nomor 100 meter, 200 meter, dan bahkan menginspirasi tim estafet 4 x 100 meter NTB yang dibelanya di PON Papua ini.
Apakah ia seharusnya tidak turun di PON? Bukankah ia berhak juga atas uang bonus medali dan pembinaan seperti atlet lainnya? Pelatih atletik nasional, Eni Nuraeni, sendiri memandang PON adalah test event yang baik bagi Zohri seraya menunggu kejuaraan atletik antarnegara.
Polemik tidak akan berakhir dan harus dilihat dari multimatra tapi bagi penulis semangat wawasan kebangsaan dalam olahraga pada akhirnya baru terjawab dengan pertimbangan apakah Zohri-Zohri kita kelak bisa mengharumkan Indonesia?
Kibaran merah putih dan lagu Indonesia Raya yang menggetarkan nurani dan membuat kita menitikkan air mata adalah alasan yang sama mengapa Papua adalah bagian utuh dari kita, bangsa Indonesia. Torang bisa!
*) Penulis adalah wartawan, VP Operations dan Editor in Chief untuk Bola.com serta Bola.net, kolom ini berisi wawasan pribadi yang terlepas dari sikap kolektif insitusi.