Bola.com, Semarang - Komisaris PSIS Semarang, Junianto menyoroti tindakan online abuse yang marak terjadi di tengah berjalannya kompetisi BRI Liga 1 2021/2022.
Online abuse atau pelecehan di dunia maya bisa menimpa siapapun di era digital. Terutama kepada para pelaku sepak bola, seperti pemain maupun pelatih.
Menurut pengusaha yang berdomisili di Surabaya ini, sebuah kritikan atau masukan saat PSIS tengah under perform memang hal yang cukup wajar mengingat itu merupakan sebuah gambaran rasa sayang dari fans.
Namun Junianto menyoroti lontaran-lontaran yang kurang sedap dan terus dilakukan berulang-ulang.
“Saya sangat setuju kritik atau istilah jawanya maido karena itu dinamika suatu klub sepak bola sebagai checks and balance. Tapi kalau sampai keterlaluan dan bahkan mempengaruhi psikis atlet atau pemain juga bisa dianggap sebagai sebuah kejahatan di dunia maya atau istilahnya online abuse. Dan itu saya sangat tidak setuju,” ujarnya.
Dibiarkan
Pemilik Wahyu Agung Group ini juga mengatakan bahwa kejadian online abuse selama ini dibiarkan berulang dan dianggap sebagai sebuah hal yang cukup wajar. Namun seyogyanya Junianto juga meminta kepada warganet untuk dapat mengontrol kritikan atau komentar.
“Tindakan online abuse jangan sampai jadi hal yang diwajarkan. Apalagi kalau sampai terus menyerang personal pemain, ofisial, atau siapa pun itu. Kritik atau maido dengan hal yang membangun. Support atau dukungan dari suporter itu sangat dibutuhkan oleh adik-adik pemain,” tegas Junianto.
Junianto juga mencontohkan sebelumnya ada beberapa atlet bulutangkis di Indonesia yang menjadi dampak online abuse karena performanya turun dan menyerang hingga bentuk tubuh sang atlet.
“Sebelumnya ada juga kan, atlet bulutangkis kita performanya turun dan warganet menyerang bentuk tubuh, menyerang melalui kata-kata tidak pantas kepada atlet. Itu hal yang tidak benar,” tandasnya.
Ditanggapi Serius di Eropa
Masalah seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Semenjak munculnya media sosial, sepak bola Eropa juga merasakan hal serupa.
Bahkan cenderung lebih kasar. Sebab, pelecehan yang dilakukan disana terkadang menjurus pada tindakan rasisme. Hal itu belakangan terjadi di Inggris, Italia, dan Spanyol.
Namun, federasi di tiga negara tersebut bertindak tegas. Mereka mengidentifikasi si pelaku pelecehan dan memberikan hukuman kepada mereka. Seperti melarang untuk nonton di stadion atau bahkan dilaporkan ke pihak berwajib.