Nostalgia Syamsul Arifin: Top Skorer Galatama dan Perserikatan dengan Julukan Si Kepala Emas

oleh Abdi Satria diperbarui 10 Mei 2022, 14:15 WIB
Nostalgia Syamsul Arifin di Channel YouTube Pinggir Lapangan. (Bola.com/Abdi Satria)

Bola.com, Jakarta - Sepak terjang Syamsul Arifin sebagai striker dengan sundulan maut kental mewarnai kompetisi Tanah Air. Bersama Niac Mitra, Arek Malang ini dua kali meraih trofi juara Galatama yakni pada musim 1980-1982 dan 1982-1983.

Ia pun menjadi pilar utama Persebaya Surabaya ketika meraih gelar Perserikatan 1987-1988.Pada dua kompetisi berbeda itu, Syamsul juga mencatatkan diri sebagai top skorer yakni Galatama musim 1980-1982 dan Perserikatan di 1987-1988. Di level tim nasional, Syamsul pernah berkostum merah putih dari level junior sampai senior.

Advertisement

Totalitas dan kecintaan Syamsul pada sepak bola tetap tertanam sampai usianya yang sudah 68 tahun.

"Alhamdulillah, saya masih kerap mendapat undangan dari teman-teman di Persebaya Oldstars untuk tur daerah. Tapi, mainnya hanya sebentar sudah nggak kuat," ungkap Syamsul dalam channel youtube Pinggir Lapangan.

Sepanjang kariernya sebagai pemain, Syamsul hanya membela Niac Mitra dan Persebaya. Ia pun tak pernah meninggalkan Kota Surabaya meski mendapat berbagai tawaran dari klub elit Galatama saat itu. Tak ingin jauh dari keluarga jadi alasan Syamsul saat menolak tawaran itu.

"Istri saya kan berprofesi sebagai guru. Jadi tidak bisa kemana-mana. Bagi saya, dekat dengan keluarga adalah prioritas utama," terang Syamsul.

Yang menarik, Syamsul pernah melepaskan kesempatan menjadi pegawai di lingkungan Pemkot Surabaya. Ketika itu, ia mendapat tawaran dari Walikota Surabaya, Poernomo Kasidi untuk menjadi karyawan PDAM Surabaya usai membawa Persebaya meraih trofi juara Perserikatan 1987/1988. Tapi, ia lebih memilih menerima permintaan manajemen Niac Mitra yang ingin memakai jasanya.

"Tanpa pikir panjang saya mengiyakan tawaran Niac Mitra dengan alasan utang budi."

2 dari 5 halaman

Jasa Besar

Nostalgia Syamsul Arifin di Channel YouTube Pinggir Lapangan. (Bola.com/Abdi Satria)

Saat itu, Niac Mitra tengah terpuruk di papan bawah kompetisi Galatama 1988/1989. Kehadiran Syamsul yang sejatinya tak muda lagi membuat lini depan Niac Mitra kembali tajam. Syamsul yang baru bergabung di putaran kedua mampu mencetak 12 gol sekaligus mengembalikan Niac Mitra ke papan atas.

Niac Mitra memang berjasa besar dalam kehidupan dan karier sepak bola Syamsul. Pada 1975, bakatnya ditemukan oleh manajemen Mitra yang berkiprah di kompetisi internal Surabaya saat memperkuat PS Gama Gondanglegi, klub amatir Kabupaten Malang pada sebuah turnamen.

Syamsul pun meninggalkan Malang menuju Surabaya.Selama bergabung di Mitra, Syamsul tak hanya sekadar berstatus pemain. Ia juga diperbantukan sebagai karyawan sebuah bioskop di Surabaya milik manajemen Mitra.

Setiap malam, Syamsul bertugas memeriksa tiket dan mengantar pelanggan bioskop menuju ke kursi masing-masing. Pagi harinya, Syamsul berlatih sendiri untuk meningkatkan kemampuannya.

"Rutinitas latihan itu terus saya lakukan tiap hari diluar latihan reguler tim. Saya tak ingin keputusan meninggalkan Malang sia-sia," tegas Syamsul.

3 dari 5 halaman

Pernah Jadi Bek

Selain menjadi striker, Syamsul juga pernah bermain pada berbagai posisi di lapangan hijau. Ia awalnya lebih banyak bermain sebagai penyerang sayap yang kerap masuk ke tengah menjadi gelandang.

Syamsul baru dipatenkan jadi striker ketika Niac Mitra berlaga di Aga Khan Gold Cup, Bangladesh pada 1979. Striker utama Niac Mitra saat itu adalah Joko Malis.

"Ketika Joko absen karena cedera, saya di plot jadi striker. Ternyata saya dinilai bagus dan produktif sebagai striker," kenang Syamsul.

Tak hanya bermain di depan dan tengah, Syamsul malah pernah menjadi stoper dan libero di kompetisi resmi. Hal ini terjadi ketika Mitra Surabaya mengalami krisis stoper pada Galatama musim 1990-1991.

4 dari 5 halaman

Pengganti Freddy Muli

Andalan di lini belakang, Freddy Muli harus absen karena akumulasi kartu. Pelatih Mitra, M. Basri menawari Syamsul bermain di posisi itu. Sebagai pemain senior dan kaya pengalaman, Syamsul diharapkan bisa jadi pemimpin di lini belakang.

"Sebagai pemain saya tidak menolak. Saya pun dicoba dalam simulasi latihan. Ternyata dinilai cocok. Saya pun bermain sebagai libero ketika Mitra tandang ke Yogyakarta," tutur Syamsul.

Belakangan Syamsul malah dipatenkan sebagai bek meski Freddy sudah bisa bermain kembali. Alhasil, keduanya diduetkan mengawal lini belakang Mitra. "Saya berdiri di depan Freddy yang berperan sebagai libero."

5 dari 5 halaman

Enggan Jadi Pelatih

Sejatinya, pengalaman sebagai pemain yang pernah tampil di berbagai posisi bisa jadi modal Syamsul untuk meneruskan karier sebagai pelatih usai gantung sepatu. Apalagi, ia sempat menjadi asisten pelatih mendampingi Basri.

"Ketika saya terpaksa absen lama karena cedera. Om Basri pun meminta saya mendampinginya. Khususnya menangani latihan tim pada pagi hari," kata Syamsul.

Menurut Syamsul, awalnya ia sangat antusias menerima tugas dari Basri itu. Sang mentor juga memberikan catatan terkait program yang akan diberikan kepada pemain pada latihan pagi. Tapi, seiring waktu berjalan, Syamsul merasa jadi pelatih itu sulit karena tak sesuai karakternya.

"Saya orangnya tak suka banyak omong dan tidak tegaan. Ketika memimpin latihan, saya melihat banyak pemain tak serius menjalankan program dan malah bercanda. Karena tak tega, saya enggan menegur."

Itulah mengapa, Syamsul yang dikenal disiplin dan spartan saat bertanding memutuskan tak meneruskan kariernya sebagai pelatih.

"Saya merasa tidak cocok jadi pelatih. Akhirnya pada akhir musim, saya pensiun sebagai pemain sekaligus asisten pelatih," pungkas Syamsul.

Berita Terkait