Bola.com, Jakarta - Apakah Timnas Amerika Serikat dan Iran berjodoh?. Mungkin iya, atau bisa jadi memang tidak alias kebetulan semata. Tapi itulah yang akan mereka hadapi ketika kembali bersua di putaran final Piala Dunia 2022 Qatar.
Kedua negara yang secara politik internasional sudah berseteru sejak lama itu berada di Grup B bersama Timnas Inggris dan Timnas Wales. Situasi ini bukan kali pertama di pentas bola terakbar empat tahunan.
24 Tahun Silam
Dua puluh empat tahun lalu di Prancis, di ajang Piala Dunia 1998, AS dan Iran juga bertarung di grup yang sama. Saat kedua negara sadar mereka satu grup, ketegangan kontan terjadi.
Federasi Sepak Bola AS, saat itu, menyebutnya sebagai "ibu dari semua permainan". Pada saat yang sama, rezim politik di Teheran, gemetar. Sejak revolusi Iran yang menggulingkan Shah pro-Amerika pada 1979, hubungan kedua negara memanas.
Siapa Mengalah?
Kini mereka berhadapan di lapangan sepak bola. Tegang. Siapa yang akan lebih dulu memberikan salam?. Mehrdad Masoudi yang lahir di Iran adalah petugas media FIFA untuk pertandingan itu, namun mengingat ini menyangkut masalah diplomatik dan keamanan, tanggung jawabnya jauh lebih luas.
"Satu di antara masalah pertama adalah Iran adalah tim B dan Amerika Serikat adalah tim A. Menurut peraturan FIFA, tim B harus berjalan menuju tim A untuk jabat tangan pra-pertandingan. Tetapi Pemimpin Tertinggi Iran Khamenei memberi perintah tegas, tim Iran tidak boleh berjalan ke arah Amerika," jelas Masoudi, mengingat momen menegangkan itu.
Ada Kompromi
Akhirnya, negosiasi dan kompromi memutuskan pemain AS-lah yang berjalan menuju para penggawa Iran. Di luar lapangan, sebuah organisasi telah membeli 7.000 tiket dan berencana menggelar protes selama pertandingan.
Akan tetapi, kelompok yang diketuai Mujahedin Khalq tak diterima di Lyon, tempat berlangsungnya pertandingan. Keamanan siaga penuh, tak mau kecolongan. Apalagi, sebanyak 42.000 penonton sudah menyemut di stadion.
Sempat Kecolongan
"Informasi dari intelijen yang kami terima, kami tahu siapa pembuat onar utama. Kami memberikan foto kepada juru kamera TV sehingga mereka tahu orang mana dan spanduk mana yang harus dihindari," sebut Masoudi.
Meski begitu, banyak pengunjuk rasa berhasil menyelundupkan sebagian spanduk dan menyatukannya dengan Velcro, tapi kamera TV berhasil menghindarinya. Rencana awal kelompok pembuat onar berhasil digagalkan.
Intelijen tetap ekstra waspada, karena mereka mengendus ada rencana B yakni para pengacau akan nekat menginvasi lapangan. Polisi anti huru hara Prancis disiagakan. "Mereka tidak akan memasuki stadion kecuali itu adalah kasus yang ekstrim," ungkap Masoudi.
Mawar Putih
Ketika kedua tim keluar terowongan untuk memulai pertandingan, semua berlangsung baik. Itulah yang diharapkan FIFA dan Federasi Sepak Bola Iran.
"Presiden Federasi Iran ingin menggunakan pertandingan itu untuk menunjukkan negaranya dalam cahaya terbaik," kata Masoudi. Realisasinya, sang presiden meminta kit man membeli seikat bunga untuk dibawa setiap pemain ke lapangan. Walhasil, ada mawar putih, simbol perdamaian di Iran.
Kedua belah pihak berfoto bersama dan kemudian peluit ditiup memulai pertandingan yang mungkin paling bermuatan politik dalam sejarah Piala Dunia. Pertandingan itu juga merupakan segalanya yang diharapkan oleh orang-orang Iran. Tim berjuluk Team Melli menang dengan skor 2-1 via Hamid Estili dan Mehdi Mahdavikia.
Duel Damai
Menariknya, duel tak berlangsung kasar seperti yang dikhawatirkan banyak pihak. Wasit Urs Meier asal Swiss hanya mengeluarkan tiga kartu kuning. Satu untuk Abang Sam, sedangkan dua lagi untuk Iran.
Pemain AS menerima kekalahan dengan lapang dada. "Kami melakukan lebih banyak dalam 90 menit daripada yang dilakukan para politisi dalam 20 tahun," kata bek AS, Jeff Agoos, saat itu.
Bertemu Lagi
Delapan belas bulan kemudian kedua tim bermain lagi dalam pertandingan persahabatan di Pasadena, California. "Dalam banyak hal, pertandingan ini jauh lebih penting karena merupakan pertandingan persahabatan dan membutuhkan kerja sama kedua belah pihak," kata Masoudi.
Menurut Masoudi, semua itu berawal dari Piala Dunia 1998. Kita berharap, di Qatar 2022 nanti, AS dan Iran kembali mengedepankan sikap fair play ketimbang politik.