Bola.com, Jakarta - Diego Maradona tak bisa lepas dari dua hal ini: Timnas Argentina dan Napoli. Bagi Argentina, Maradona tak sekadar legenda tapi juga pahlawan. Pada Piala Dunia 1986, Maradona membawa La Albiceleste menjadi yang terbaik di pentas terakbar empat tahunan.
Di final, sang Kapten yang tampil mentereng mulai awal turnamen memimpin Argentina mengalahkan Jerman Barat 3-2. Kedigdayaan itu sekaligus menyudahi keraguan banyak pihak terkait kualitas Tim Tango.
Bawa Juara
Delapan tahun sebelumnya, Argentina juga tampil sebagai kampiun Piala Dunia 1978. Tak sedikit yang nyinyir, keberhasilan mereka saat itu tak lepas dari faktor keberuntungan sebagai tuan rumah.
Setelah 1986, Argentina tak pernah lagi naik podium kehormatan. Sebuah keniscayaan, mengingat Argentina tak pernah berhenti menghasilkan pemain-pemain berbakat. Satu di antaranya adalah Lionel Messi.
Akhir Messi
Kini, untuk kesekian kalinya, Messi kembali mengemban misi suci di Qatar. La Pulga harus bisa membawa pulang trofi Piala Dunia 2022, seperti yang dilakukan Maradona pada 36 tahun silam.
Saat ini, Messi berusia 35 tahun dan belum pernah memenangkan Piala Dunia. Bisa dibilang, Qatar merupakan momen terakhirnya untuk mensejajarkan diri dengan El Pibe del Oro.
Awal Karier
Lalu Napoli. Sebelum Maradona datang dari Barcelona pada 1984, Napoli dipandang sebelah mata. Itu karena Partenopei belum pernah sekalipun memenangkan Serie A. Di Italia, Serie A merupakan syarat mutlak eksistensi klub.
Bersama Maradona, Napoli memenangkan Serie A untuk kali pertama pada 1986/1987. Selain itu, Maradona juga mempersembahkan gelar Piala UEFA 1989 dan scudetti kedua di musim 1989/1990.
Tak Juara
Ironisnya, hingga kini atau sampai Maradona berpulang pada November 2020, Napoli tak pernah lagi mengangkat trofi Serie A. Itu jelas jadi PR berat bagi Luciano Spalletti saat ini. Bermaterikan amunisi cukup mumpuni di semua lini, Spalletti diharapkan bisa mengakhiri puasa gelar di kasta tertinggi Negeri Pizza.
Menariknya, sosok Maradona pernah membuat rakyat Italia terbelah. Pada 3 Juli, juara bertahan Argentina bertemu tuan rumah Italia di semifinal Piala Dunia 1990. Bagi Italia, juga Maradona, itu lebih dari semifinal. Italia terpecah!
Bak Pisau
Mengenakan jersey 'The White & Sky Blue', Maradona dkk berhadapan dengan para penggawa Gli Azzurri di kandang Napoli, Sao Paolo. Di satu sisi, Maradona adalah pemain Napoli. Tapi dia juga harus bertarung demi nama besar Argentina.
Meski sudah dianggap sebagai dewa, publik Sao Paolo memilih realistis. Sebuah spanduk dibentangkan. Tulisannya: “Maradona, kami mencintaimu. Tapi Italia adalah tanah air kami".
Berkuasa Penuh
Fabio Cannavaro, yang bermain di tim muda Napoli selama masa Maradona, memahami apa arti pemain Argentina itu bagi kota dan para penggemarnya. "Maradona adalah Tuhan bagi orang-orang Napoli. Saya juga seorang penggemar dan menjalani tahun-tahun itu bersama Maradona. Sungguh luar biasa," kata Cannavaro.
Di akhir laga, Argentina menang adu penalti 4-3 setelah bermain imbang 1-1 hingga babak perpanjangan waktu. Argentina gagal mempertahankan gelar. Jerman Barat yang mereka libas di final Piala Dunia 1986, sukses menuntaskan dendam via gol semata wayang Andreas Brehme pada menit ke-85.
Bikin Beda
Sedangkan Italia finis di posisi ketiga. Itu jauh lebih bagus dari pencapaian empat tahun sebelumnya yakni terhenti di babak 16 besar. Cinta Argentina, pun cinta Napoli tak akan pernah padam. Ketika sang legenda berpulang, ribuan rakyat Argentina tumpah ke jalan. Air mata di mana-mana.
Nun jauh di sana, di Napoli, fans Partenopei, tua muda, juga tumbang dihantam duka mendalam. Sebagai penghormatan, markas Napoli berganti nama menjadi Stadion Diego Armando Maradona. Merinding!