SEORANG bapak asyik menenggak minuman soda, sesekali ia berdiri bersorak dan bertepuk tangan. Sementara itu, di sebelahnya seorang ibu, yang notabene istri sang bapak, asyik membagikan burger dan hotdog untuk dua anaknya.
Mereka dengan ceria menikmati pertandingan yang mempertemukan Brisbane Roar Vs Perth Glory, dalam sebuah area berukuran 3 x 4 meter, di Suncorp Stadium, Brisbane, Australia. Puluhan keluarga lainnya juga asyik melakukan aktivitas tak jauh beda.
Mereka keluarga yang membeli paket Family Box di area tribune stadion, yang kebetulan jaraknya tak jauh dari area jurnalis meliput. Pemandangan itu membekas dalam hati saya ketika melakukan perjalanan liputan di final A-League (Liga Australia) pada akhir April 2012.
Sebagai sebagai jurnalis olahraga dengan area peliputan sepak bola Indonesia pemandangan itu membuat hati terenyuh. Dalam hati saya sempat berujar, “Seandainya di Indonesia seperti ini, asyik benar ya.” Fanatisme penggila sepak bola Indonesia jauh lebih dahsyat dibanding Australia.
Bukan pemandangan aneh melihat tribune-tribune stadion penuh disesaki orang yang ingin memberi dukungan kepada klub kesayangannya. Sepak bola sudah mendarah daging bagi masyarakat Indonesia.
Memori Masa Kecil
Memori masa kecil saya kembali tergiang. Momen yang paling 'sakral' ketika ayah beberapa kali mengajak saya serta adik laki-laki menonton pertandingan perserikatan di Stadion Utama Senayan. Nama venue terakhir kini bernama Gelora Bung Karno.
Papa saya yang menghabiskan masa kecil di Makassar adalah fan berat PSM Makassar. Ia berdarah Manado, namun karena hidup dari kecil di sebuah rumah mungil di belakang Stadion Mattoangin, dan juga gila sepak bola, ia menjadi sosok fanatis ke Tim Juku Eja.
Saat masih bocah, beliau hampir tiap hari rutin bermain bola di Lapangan Karebosi. Teman mainnya bal-balan-nya, Ronny Pattisarany, yang di masa datang jadi bintang dan legenda Timnas Indonesia.
“Saya kenal Papamu, ceritanya benar soal masa kecil main bersama di Karebosi,” celetuk almahum Ronny, ketika kami berbincang santai di Kuala Lumpur dalam sebuah liputan timnas junior.
Fanatisme sepak bola coba ditularkan ayah saya ke kedua putranya dengan rajin mengajak nonton langsung ke stadion. Berbagai kejadian unik saya rasakan ketika ada di tribune nonton PSM atau bahkan Timnas Indonesia. Mulai dari kena sambit batu hingga guyuran air kencing. Ibarat candu, kami tak pernah kapok.
Kode untuk meninggalkan stadion 15 menit sebelum pertandingan selesai sudah saya hafal betul. “Ayo kita pulang, nanti rusuh,” ujar almarhum Papa, sembari mengarahkan kedua putranya buat menuju pintu keluar tribune kelas ekonomi.
Siap Bonyok
Ketika dewasa dan menjadi jurnalis dengan tugas meliput sepak bola nasional, saya makin tergila-gila dengan bal-balan negeri ini. Nonton gratis dan menulis reportase pertandingan besar menjadi privilage yang menyenangkan. Banyak idola masa kecil dan remaja kemudian menjadi kolega atau bahkan sahabat di luar urusan pekerjaan.
Sayang, dari perspektif mantan suporter, apa yang saya rasakan di masa kecil tidak terjadi di masa sekarang. Menonton sepak bola Indonesia makin banyak dramanya. Terutama kalau sudah melibatkan klub-klub besar dengan basis masa pendukung berlimpah.
Datang ke stadion selalu memunculkan ketegangan. Was-was potensi rusuh. Bahkan bisa dibilang lebih parah. Jika saat saya menyaksikan pertandingan perserikatan, suporter tim bertanding bisa bersanding di satu stadion.
Kondisi ini mustahil terjadi sekarang ini. Fanatisme pada tim kesayangan kian tak terkendali dan terkesan kebablasan. Artinya, Anda harus siap bonyok atau bahkan kehilangan nyawa jika menghadiri pertandingan di markas klub rival. Puluhan korban jiwa menegaskan tingkat bahayanya menonton bola.
Tak Melulu Negatif
Dalam sebuah liputan di Stadion Benteng, Tangerang, medio 2006, saya pernah terjebak di tengah-tengah massa pendukung yang bentrok. Mobil yang mengangkut kami menuju lokasi liputan kacanya pecah porak-poranda jadi korban sambitan benda keras.
Saya dan kawan fotografer berjuang keras melindungi diri agar tak jadi bulan-bulanan adu benda keras suporter klub sekota yang berkonflik. Serem bener.
Semenjak itu, di laga-laga rawan kami selalu membawa helm, antisipasi kerusuhan.
Akan tetapi, tak melulu suporter sepak bola Tanah Air identik dengan hal-hal negatif. Atraksi mereka saat memberi dukungan lewat nyanyian atau koreo menjadi elemen penting yang membuat sepak bola Indonesia lebih terasa hidup.
Prestasi kita mungkin belum kelas dunia, namun bicara fanatisme dan aksi-aksi suporternya di tribune kita fantastis. Menonton 90 menit pertandingan bak ada di surga di langit ke-7 saat mereka hadir di stadion.
Namun, jujur saja sepak bola lokal kita belum bisa menjadi sebuah tontonan yang nyaman. Ada risiko yang kudu ditanggung.
Saya angkat topi buat ayah-ayah yang berani membawa anaknya ke stadion, terutama di laga-laga rivalitas panas. Saya ingin seperti mereka, membawa putri kesayangan menikmati keindahan sepak bola nasional.
Tapi saya tak punya cukup nyali, karena menyadari potensi-potensi negatif yang mungkin terjadi. Saya yakin banyak orang sesama penggemar bola berpikir yang sama. Mereka ingin membawa keluarga ke stadion, tapi takut akan risikonya.
Bosan Bertikai
Sayangnya problematik kenyamanan menonton bola ini tak pernah dibenahi secara serius oleh pihak-pihak berkepentingan. PSSI sebagai otoritas tertinggi sepak bola Tanah Air, sepertinya kepayahan membedah akar masalah kenapa sepak bola Indonesia bisa begitu menakutkan.
Hal yang wajar. Karena kompetisi mereka hanya sebatas tata kelola dan menghidupkan industrinya. Mereka tidak punya kemampuan menyentuh hal-hal berbau kemasyarakatan (aspek sosiologi dan atropologi atau geo politik). Bagaimana mau menyelesaikan konflik sosial, wong untuk urusan mengatrol prestasi dan menjalankan pembinaan sepak bola, PSSI rapornya masih merah!
Petinggi-petinggi kelompok suporter sejatinya menyadari, konflik-konflik di jajaran akar rumput anggota mereka makin ke sini makin kebablasan. Fanatisme mereka ke klub dicintai bak dua sisi mata uang. Bisa menyenangkan, sekaligus amat menakutkan.
Mereka bukan tanpa upaya menekan konflik. Sejumlah orang berpengaruh di kelompok suporter sudah berupaya melakukan meretas jalan damai. Namun, itu semua tidak bisa berjalan mulus, karena nihil kesepahaman bersama di kalangan akar rumput yang jumlahnya amat besar.
Problematik suporter di Indonesia, bukan hanya menyangkut sepak bola. Masalah-masalah di kehidupan keseharian mereka ikut berperan. Bukan rahasia lagi, kalau suporter di Indonesia kerap diidentikkan dengan sekumpulan orang dengan tingkat perekonomian menengah ke bawah, sebuah jumlah kelas sosial yang mendominasi di negara kita.
Jangan Mengolok-olok
Mereka menjadikan sepak bola sebagai sarana melupakan kesusahan kehidupan. Mereka yang sudah sering kalah dalam kehidupan, menumpukkan harapan ke klub kesayangannya.
Lewat identitas klub mereka bisa merasakan kemenangan, hal yang mungkin mereka tak dapatkan dalam kehidupan. Keceriaan dalam sepak bola bisa melupakan sejenak masalah masing-masing pribadi.
Jangan heran mereka bisa begitu marahnya, saat tim kesayangan kalah. Hal terindah dalam kehidupan mereka tersakiti. Apa iya sepak bola maknanya begitu besar buat mereka? Realitanya seperti itu. Sepak bola bagi masyarakat Indonesia merupakan sebuah harapan.
Anda mungkin bisa mengolok-olok klub-klub dunia seperti Liverpool, Manchester United, AC Milan, Barcelona, Real Madrid, tanpa menderita konsekuensi. Tapi jangan pernah bicara negatif tentang Persija, Persib, Persebaya, Arema dsb. di hadapan fans fanatisnya. Habis Anda.
Buat mereka klub adalah identitas yang sudah menyatu dengan kehidupan. Tak bisa dipandang remeh.
Konsumen yang Punya Hak
Tragedi Kanjuruhan seperti menyadarkan kita bom waktu masalah di dunia sepak bola negeri tercinta, yang tak pernah dianggap dan ditangani serius. Lebih dari seratus orang meninggal dunia. Banyak di antara mereka bukan dari kalangan suporter kebanyakan, tapi anak kecil dan wanita.
Ngenesnya yang merenggang nyawa, bukan oknum-oknum suporter yang masuk ke lapangan meluapkan kekecewaan karena tim kesayangan kalah dari rival. Mayoritas mereka adalah orang-orang yang duduk manis di area tribune.
Fans datang ke stadion dengan membayar, mereka konsumen yang semestinya dilindungi. Bukan objek eksploitasi mencari cuan atas nama industri sepak bola. Akhirnya, penonton harus ikut menderita dari sebuah drama fanatisme tanpa penanganan yang baik dari PT Liga Indonesia Baru dan instrumen pendukungnya, seperti klub, panpel, sampai kepolisian. Menyedihkan!
Pemerintah yang kerap jadi lawan 'suporter' dalam keseharian, lewat kebijakan yang tidak pro rakyat, harus membuka lebar matanya melihat masalah yang terjadi di sepak bola. Problematiknya luas tak hanya menyangkut unsur olahraga. Kesemuanya bukan cuma urusan PSSI atau Kemenpora saja.
Ini masalah bersama yang harus dibenahi dengan bergandengan tangan, bukan dengan gampang menunjuk tangan mencari kambing hitam. Kita harus belajar dari kasus holinganisme Hesyel 1985, kala final Piala Champions Liverpool Vs Juventus. Hukuman berkecimpung di dunia sepak bola Eropa buat klub Inggris selama lima tahun, tak membuat sepak bola Negeri Singa mati.
Bersama Kalian
Justru sebaliknya lewat kolaborasi aktif antara pemerintahnya, saat itu Perdana Menteri Margaret Thatcher, FA, klub, asosiasi suporter, jadi titik balik pembenahan besar-besaran dan kebangkitan sepak bola Inggris. Di kemudian hari kompetisi profesional domestik mereka, Premier League jadi kompetisi yang tak hanya menguntungkan dari sisi bisnis tapi jadi tontonan yang ramah bagi semua orang.
Mereka sukses kembali menempatkan sepak bola ke khitahnya sebagai hiburan buat semua kalangan.
Saya tidak ingin mengubur mimpi menyaksikan pertandingan ba-balan Indonesia ke stadion dengan membawa putri tercinta tanpa diganggu rasa takut. Suatu saat, hari itu akan datang. Saya percaya Indonesia bangsa pemenang yang bisa bangkit.
Turut berduka cita saudara-saudaraku Aremania di Malang. Kami bersama kalian!
*) Penulis menjabat sebagai Redaktur Pelaksana Bola.com