Tragedi Kanjuruhan di Liga 1: Trauma Psikologis Pemain Arema FC Sulit Disembuhkan

oleh Wahyu Pratama diperbarui 07 Okt 2022, 10:31 WIB
Kiper Arema FC, Adilson Maringa, menamburkan bunga di depan monumen patung Singa Tegar yang jadi ikon Stadion Kanjuruhan, sebagai tanda berduka cita atas meninggalnya ratusan Aremania setelah Tragedi Kanjuruhan, Sabtu (1/10/2022). (Bola.com/Iwan Setiawan)

Bola.com, Jakarta - Tragedi Kanjuruhan benar-benar mencoreng nama Indonesia di mata internasional. Setidaknya 131 korban jiwa meregang nyawa selepas pertandingan Arema FC vs Persebaya Surabaya pada 1 Oktober 2022.

Insiden itu benar-benar tak pernah diduga siapapun. Apalagi, tak ada satupun Bonek, pendukung Persebaya yang datang di derbi Jawa Timur yang berakhir 2-3 untuk kemenangan sang tamu.

Advertisement

Gas air mata dituding sebagai senjata dalam peristiwa terburuk sepanjang sejarah sepak bola Indonesia ini. Tetapi jangan lupakan pula akses stadion yang tak memadai termasuk gerbang yang terkunci dalam kejadian ini.

Pada akhirnya, sepak bola benar-benar direnggut dengan paksa. Malapetaka ini memaksa kompetisi sepak bola tanah air kembali memasuki masa tergelapnya.

Moratorium sepak bola Indonesia menjadi kesempatan membersihkan diri dari segala benalu yang menggerogoti selama ini. Tetapi kapan semua orang bisa kembali menikmati sepak bola yang kita kenal selama ini?

 

2 dari 5 halaman

Trauma Psikologis

Orang-orang berdoa dekat patung singa, maskot Arema FC, di luar Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Selasa (4/10/2022). Polri menjatuhkan sanksi kepada 10 anggota polisi dan menyelidiki 18 orang lainnya buntut tragedi kerusuhan yang menewaskan 125 orang di Stadion Kanjuruhan. (AP Photo/Dicky Bisinglasi)

Penggawa Arema FC tentu ingat betul bagaimana peristiwa mengerikan itu terjadi. Mereka mungkin masih terus berandai-andai dan mungkin menyalahkan diri sendiri lantaran gagal memenangkan pertempuran kontra sang rival.

Abel Camara yang sejatinya menemukan ketajamannya kembali, benar-benar kalut selepas laga. Bagaimana tidak, ia melihat langsung suporter yang mengelu-elukan mereka berpulang tepat di depan matanya.

Pelatih Javier Roca bahkan memberikan keterangan yang lebih menyayat hati. Selepas menghadiri sesi konferensi pers, ia mendapati salah satu korban mangkat saat tengah berada di pelukan sang pemain.

Bersama manajer Ali Rifki, para pemain membaur bersama Aremania untuk menyelamatkan saudara-saudara mereka. Tetapi sayangnya, tak semua selamat dari bencana kemanusiaan ini.

 

3 dari 5 halaman

Tak Mungkin Main dalam Waktu Dekat

Pelatih Arema FC, Javier Roca melakukan tabur bunga di Tugu Singa Stadion Kanjuruhan. (AFP/Juni Kriswanto)

Rasa traumatis yang sangat dalam dirasakan pemain Singo Edan, jelas harus disikapi dengan cermat. Peristiwa memilukan ini bakal terngiang-ngiang di kepala mereka sepanjang hayat.

"Kami membuat suatu statement agar ditunda sampai ada evaluasi kepastian sepak bola berjalan dengan aman. Ini bukan hanya karena simpati dan empati dari pemain lain tetapi juga karena psikologis terutama pemain Arema," ungkap Muhammad Hardika Aji, CEO APPI dalam program Mata Najwa.

"Tidak mungkin dalam satu minggu, mereka sembuh (secara psikologis). Bagaimana bisa mereka melihat kembali tribun, stadion, rumput dan locker room, disaat mereka melihat jenazah saat itu," tegasnya.

 

4 dari 5 halaman

Kompetisi Dibatalkan?

Perlu ada kajian mendalam bagaimana mental Johan Alfarizi dkk luluh lantak akibat kejadian ini. Memaksakan mereka bermain dalam waktu dekat, sama saja menafikan hati nurani para pemain.

Menghentikan kompetisi yang tengah memasuki masa berkabung ini, juga bukan sebuah solusi konkret. Tetapi untuk saat ini, menyembuhkan duka yang mereka alami merupakan sebuah keharusan.

"Apakah ada waktu yang cukup rigid? Jelas tidak. Waktu penundaan ini disamping untuk suatu rasa simpati dan empati dari seluruh pemain, tetapi juga untuk menyembuhkan rasa traumatik yang dialami pemain-pemain Arema," jelas Aji.

5 dari 5 halaman

Persaingan di Liga 1

Berita Terkait