Bola.com, Jakarta - Sepak bola Indonesia masih jauh dari kata sempurna. Bahkan, untuk sekedar berprestasi di regional Asia Tenggara pun, sepak bola Tanah Air masih sangat kesulitan.
Di tengah upaya merangkak untuk meraih prestasi, sepak bola kita ditimpa ujian berat. Ujian yang datang akibat kelalaian yang mengakibatkan ratusan jiwa melayang di Stadion Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022.
Kejadian yang belakangan disebut Tragedi Kanjuruhan itu menjadi salah satu di antara tragedi terburuk sepak bola dunia. Hal yang menyedihkan adalah kebanyakan tragedi serupa di belahan dunia lain terjadi puluhan tahun yang lalu.
Sementara di Kanjuruhan terjadi di era milenium yang seharusnya kejadian serupa tak terjadi lagi. Namun, apalah daya, kita tentu tidak bisa memutar waktu.
Saat ini kita hanya bisa menunggu hasil investigasi pihak-pihak terkait. Yang pasti, sosok-sosok yang dinilai bertanggung jawab atas kejadian memilukan itu harus dihukum sesuai hukum yang berlaku.
Memimpin dari Penjara
Carut-marut pengelolaan sepak bola nasional sebenarnya bukan barang baru. Bahkan, di setiap generasi ada saaja kejadian yang membuat masyatakat pecinta sepak bola Tanah Air mengernytkan dahi atau mengelus dada, bahkan mengamuk dan marah.
Kita tentu ingat dengan sosok Nurdin Halid. Sosok asal Sulawesi Selatan itu pernah delapan tahun memimpin PSSI, yakni dari tahun 2003 hingga 2011.
Nurdin mulai populer dikenal oleh publik sepak bola Tanah Air pada dekade 1990-an. Saat itu, ia menjadi pengurus yang membawa PSM Makassar menjadi juara Liga Indonesia 1999/2000.
Nurdin pun sempat punya hubungan dengan keluarga Bakrie. Ia pernah juga menjadi pengurus Pelia Bakrie di tahun 1997/1998.
Selama memimpin PSSI, Nurdin memilili satu riwayat menarik. Ia tetap menjadi ketua umum PSSI meski sedang ada di dalam penjara karena kasus korupsi.
Menariknya, Nurdin bisa lepas dari tekanan publik, pemerintah, dan FIFA saat itu. Nurdin bergeming atas segala tekanan yang muncul. Ia pun melawan dengan melakukan perubahan pada isi statuta PSSI mengenai ketua umum yang sebelumnya berbunyi 'harus tidak pernah terlibat dalam kasus kriminal' menjadi 'harus tidak sedang dinyatakan bersalah atas suatu tindakan kriminal'.
Dualisme
Setelah era Nurdin Halid di PSSI selesai, sepak bola nasional tak juga membaik. Bahkan di tahun 2011 sepak bola Indonesia terpecah menjadi dua kubu.
Ada dua liga yang yang mengklaim sebagai liga kasta tertinggi sepak bola nasional saat itu. Dua liga yang dimaksud adalah Indonesia Super League (ISL) dan Indonesia Premier League (IPL).
Dampaknya sangat merusak. Timnas Indonesia pun terbelah menjadi dua. Ujungnya di Piala AFF 2012 Timnas hanya diperkuat para pemain yang berlaga di IPL.
Sebab, para penggawa yang bermain di klub ISL tak dilepas klubnya. Ada juga pemain yang dengan terang-terangan menolak panggilan memperkuat Tim Merah-Putih saat itu.
Sialnya, para pemain yang biasa menjadi andalan Timnas Indonesia mayoritas berlaga di ISL. Sementara para penggawa yang berlaga di IPL kebanyakan adalah pemain muda.
Sanksi FIFA
Episode buruk kembali menghampiri sepak bola Indonesia di tahun 2015. Saat itu untuk pertama kalinya Indonesia mendapatkan sanksi dari Feredasi Sepak Bola Dunia (FIFA).
Hukuman itu datang akibat adanya intervensi dari pemerintah. Dalam hal ini Kementrian Pemuda dan Olahraga yang saat itu dipimpin Imam Nahrawi.
Keputusan mengenai sanksi tersebut tertuang dalam surat resmi yang dikirim oleh Sekretaris Jenderal FIFA kala itu Jerome Valcke, yang ditujukan kepada Sekretaris Jenderal PSSI,Azwan Karim.
Sepak bola Indonesia sempat mati suri saat itu. Liga Sepak bola profesional tidak bisa dijalankan. Timnas Indonesia tak bisa berlaga di semua level kompetisi resmi.
Sanksi itu bertahan sampai satu tahun. Pada 13 Mei 2016, sanksi yang menimpa Indonesia dicabut oleh FIFA.
FIFA Turun Tangan Lagi
Terbaru, FIFA pun turun tangan lagi ikut membenahi sepak bola Indonesia. Tak lama setelah Tragedi Kanjuruhan, Pemerintah Republik Indonesia melakukan komunikasi dengan FIFA.
Organisasi yang dipimpin Gianni Infantino itu pun mengeluarkan beragam rekomendasi untuk sepak bola Tanah Air. Kaitannya dengan infrastruktur, prosedur pengamanan, hingga waktu yang sebaiknya dipilih untuk menggelar pertandingan.
Dalam komunikasi yang terjalin antara pemerintah Indonesia dan FIFA itu sama sekali tak disinggung mengenai sanksi. Sepertinya kali ini sepak bola Indonesia tak akan mengalami nasib seperti di tahun 2015.
Dalam waktu dekat, FIFA pun akan berkantor di Indonesia. Mereka akan fokus membantu Indonesia membereskan beragam persoalan sepak bola yang ada.
Baca Juga
Pengamat: Minimal Butuh 10 Tahun agar Indonesia Punya Timnas Kuat, Erick Thohir Jangan Mundur Dulu dari PSSI
Bukan Lagi Salaman tapi Menunjuk, Erick Thohir Fix Proses Naturalisasi Ole Romeny untuk Timnas Indonesia
Erick Thohir Isyaratkan Timnas Indonesia Masih Berpeluang ke Piala Dunia 2026: 5 Laga Lagi, 3 di Kandang, Tidak Ada yang Mustahil