"Mungkin saya tidak mau nonton Arema lagi. Cukup sampai di sini saja," Rizal Putra Pratama, Aremania yang kehilangan ayah dan adiknya di Tragedi Kanjuruhan.
Rumah bercat hijau di Kebonsari RT 003/RW 001, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Minggu (10/10/2022), tampak lengang. Pintu rumah terbuka lebar. Seorang perempuan berusia 40-an tahun muncul menyambut tim Bola.com. Anak laki-lakinya menyusul di belakang. Wajah keduanya masih kuyu dan pucat. Jejak kesedihan mencengkeram kuat.
Tak lama, tamu-tamu berdatangan, tetangga dan sanak saudara. Mereka mengaji di teras rumah. Melangitkan doa-doa.
Mereka melantunkan doa untuk Muhammad Arifin (45 tahun) dan Muhammad Rifki Aditya (13 tahun). Keduanya adalah dua dari 132 korban meninggal di Tragedi Kanjuruhan selepas laga Arema FC kontra Persebaya Persebaya, pada Sabtu malam yang nahas, 1 Oktober 2022.
Ayah dan anak tersebut berangkat ke Stadion Kanjuruhan untuk bersuka cita mendukung Arema yang mereka cintai menghadapi laga sarat gengsi melawan Persebaya Surabaya, namun berujung nestapa. Bagi Muhammad Rifki, itu menjadi momen pertama dan terakhirnya menonton langsung pertandingan Singo Edan di Stadion Kanjuruhan.
Kepergian ayah dan anak tersebut meninggalkan duka tak terperi bagi Lutfiati, 44 tahun. Ia adalah istri Arifin sekaligus ibu Rifki. Duka mendalam juga menerjang Rizal Putra Pratama (22 tahun), anak pertama di keluarga itu. Rizal juga pergi ke Stadion Kanjuruhan malam itu, namun hanya menonton dari luar, dan selamat dari tragedi mengerikan di dalam stadion.
"Sebenarnya saya tidak kepikiran mau nonton ke Stadion Kanjuruhan, karena tidak punya tiket. Tiket juga sudah sold out. Tetapi, adik dan bapak mengajak nonton ke Kanjuruhan, mau nobar di luar saja," ucap Rizal mengawali kisah pedih pada malam itu, didampingi ibunya yang beberapa kali menangis terisak saat tak kuasa menanggung kesedihan.
Muhammad Arifin sudah lama tidak menonton langsung aksi Arema di stadion. Padahal, di masa mudanya ia adalah Aremania yang rajin mendukung Singo Edan bertanding, baik kandang maupun tandang. Kecintaannya terhadap Arema diturunkan ke Rizal dan Rifky. Rizal pun tumbuh menjadi suporter fanatik Singo Edan.
"Kata bapak, iki lho Le, Arema. Kebanggaane wong Malang," kenang Rizal.
Hari itu mereka berangkat berenam ke Stadion Kanjuruhan. Rizal, sang ayah, Rifki, sepupunya Pasha (seumuran dengan Rifki), dan dua temannya, tanpa memegang tiket. Hanya mau nonton bareng di luar stadion. Namun, ada orang asing yang begitu saja memberikan tiket gratis kepada Arifin. Hanya ada tiga tiket, jadi tidak semua bisa masuk stadion.
"Karena adik dan Pasha belum pernah nonton, saya menyuruh mereka saja yang masuk. Saya juga minta bapak mendampingi, dan masuk ke tribune 11, tempatnya Aremania dari Tumpang. Terus saya nobar di depan stadion," tutur Rizal.
Setelah pertandingan selesai, Rizal berjalan menuju parkiran, sembari menunggu ayah, adik, dan sepupunya kembali dari dalam stadion. Namun, mereka tidak kunjung muncul. Saat itu sudah ada info tentang penembakan gas air mata di dalam stadion. Di dalam stadion sudah rusuh.
Rizal mulai waswas. Dia bergegas menuju tribune 11. Pintu di tribune tersebut sudah terbuka dan banyak korban berjatuhan. Rizal panik. Dia bertanya kepada seorang tentara tentang keberadaan ayah dan adik. serta sepupunya. Tentara itu memintanya mencari mereka ke tribune VVIP. Di sana, Rizal bertemu Aremania dari Korwil Tumpang. Rizal terus menanyakan keberadaan ayah, adik, dan sepupunya.
"Saya bertemu tetangga saya, Mas Trimo. Dia bilang ayah saya mengantarkan anak-anak (suporter) ke RS Wava Husada dan sedang mencari Rifki. Pasha sudah ketemu, kondisinya lecet semua di bagian kaki, habis diinjak-injak. Saya langsung minta diantarkan ke Wava Husada. Perasaan saya sudah tidak karu-karuan," tutur Rizal.
Di RS Wava Husada, Rizal bertemu ayah Pasha. Dia menanyakan keberadaan ayah dan adiknya, dijawab masih terus dicari. Rizal malah disuruh pulang. Pemuda yang pernah merantau ke Medan itu akhirnya pulang meski perasaannya sudah tidak karu-karuan.
Sampai di rumah, orang-orang kampung sudah berkumpul di sana. Saat itulah dia diberi tahu ayah dan adiknya meninggal dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan. Ibu Rizal pingsan, tak kuasa menanggung kesedihan yang menghantam.
"Menurut cerita teman-teman, bapak ditemukan di tribune 11. Yang menemukan Mas Tirta (tetangganya). Saat itu kondisi bapak sudah sesak napas, ngap-ngap. Bapak dibawa ke RS Wava Husada, tetapi tidak tertolong karena kehabisan oksigen," tutur Rizal.
"Kalau adik, infonya sudah sempat keluar stadion, terus minta minum ke orang. Tapi dia ingin menolong bapak dan mencari saya, akhirnya kembali ke dalam stadion dan tidak tertolong. Rasanya sedih sekali. Masa depan adik saya masih panjang. Kenapa kok diambil seperti ini," imbuh Rizal sambil terisak, yang mengatakan saat itu kondisi pagar di tribune 11 sudah rubuh, banyak berserakan sepatu dan orang-orang yang digotong, bahkan saking paniknya ia tidak memedulikan gas air mata yang pekat.
Titik Nadir Sepak Bola Indonesia
Tragedi Kanjuruhan menjadi titik nadir sepak bola Indonesia. Tak ada sepak bola yang seharga nyawa, satu orang pun, apalagi 132 orang. Sepak bola Indonesia, yang hampir selalu kusut, mendunia untuk alasan yang salah. Peristiwa Kanjuruhan menjadi tragedi terburuk kedua dalam sejarah sepak bola dunia, bahkan terkelam di era modern.
Sebenarnya ini bukan kali pertama kerusuhan mencoreng pertandingan sepak bola Indonesia. Ini juga bukan kali pertama sepak bola Indonesia menelan korban jiwa. Sepak bola Indonesia tidak pernah serius berbenah dengan bertumpuk insiden yang terjadi selama bertahun-tahun, yang akhirnya harus dibayar mahal di Kanjuruhan.
Pada malam itu, Arema sebagai tuan rumah kalah 2-3 dari sang musuh abadi, Persebaya Surabaya. Rekor Arema tidak pernah kalah di kandang saat menjamu Persebaya yang bertahan selama 23 tahun patah. Aremania kecewa, turun ke lapangan dan situasi menjadi tidak terkendali.
Saat itu, tidak ada bonek yang datang, sesuai kesepakatan sejak 2006 bahwa Aremania dan Bonek tidak akan berkunjung di pertandingan tandang.
Polisi menangani kerusuhan tersebut dengan sangat brutal. Mereka bertubi-tubi menembakkan gas air mata ke lapangan dan tribune, terutama 11 hingga 13. Penonton menjadi panik, berdesak-desakan ingin meninggalkan stadion. Gas air mata juga membuat banyak penonton sesak napas.
Akibatnya, banyak yang meninggal karena kehabisan napas, maupun terinjak-injak saat hendak keluar pintu stadion. Korban terus berjatuhan. Tak sedikit yang masih anak-anak, termasuk Rifki. Korban termuda baru berusia 3 tahun.
Kekacauan di dalam stadion malam itu digambarkan dengan gamblang oleh Sindu Dwi Asmoro, anggota, Blimbingham, Komunitas Aremania yang ada di daerah Blimbing Kota Malang, yang saat itu duduk di tribune 14.
Dia mengatakan saat pertandingan selesai, terjadi kericuhan di tribunenya, antar sesama Aremania, karena meluapkan kekecewaan. Kemudian ada satu suporter turun ke lapangan dari tribune yang lain, menurutnya dari tribune 10. Disusul dua orang lainnya, lalu berbondong-bondong ratusan atau ribuan suporter ikut turun ke lapangan.
"Saat gas air mata pertama ditembakkan, saya masih berada di tribune 14 bareng teman-teman, menunggu kondisi tenang dulu. Ternyata kok tembakan gas air mata terus-menerus, membuat penonton panik, apalagi yang bawa anak, atau yang sudah tua. Orang yang tidak pernah kena gas air mata pasti panik dalam situasi seperti itu," tutur Sindu saat berbincang dengan Bola.com, di rumahnya, Sabtu (8/10/2022).
"Kami masih bertahan di tribune 14, karena kalau mau keluar di dekat pintu berdesak-desakan. Pintu juga ditutup, tidak bisa keluar. Alasannya biar pemain Persebaya pulang dulu. Tapi, di situ kami ditembaki gas air mata habis-habisan oleh polisi. Banyak korban yang meninggal."
"Situasinya sangat mencekam. Tribune yang paling banyak kena tembakan itu belakang gawang, 11, 12, 13, dan 14 ketembak tapi enggak banyak. Yang di media-media viral ya pintu 12-13, belakang gawang, tempatnya curva sud. Kalau yang saya hitung sekitar 15 tembakan gas air mata. Kita posisi poanik berhamburan," sambung pria berusia 22 tahun tersebut.
Saat melihat banyak korban berjatuhan, Sindu dan teman-temannya turun ke lapangan. Mereka menolong menggendong seorang bayi, ibu-ibu, sekitar 10 orang dan membawanya ke VIP. Ternyata, di ruang evakuasi sudah banyak suporter yang meninggal berjejer, sebagian lainnya terlihat sesak napas.
"Ada yang bilang, 'Aduh mas, aku sudah tidak kuat. Tolong anak saya'. Ada juga yang menangis. Kami menolong semampunya. Tidak menyangka begitu banyak korban yang meninggal. Saya sampai tidak bisa ngomong apa-apa," tutur Sindu.
Setelah tragedi Kanjuruhan, Kapolres Malang, AKBP Ferli Hidayat, dicopot. Nasib serupa juga dialami Irjen Nico Afinta, yang juga dicopot dari jabatan Kapolda Jawa Timur.
Pada 6 Oktober, Kapolri Listyo Sigit Prabowo mengumumkan enam tersangka dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan. Mereka adalah Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru Akhmad Hadian Lukita, Ketua Panitia Pelaksana Pertandingan berinisial AH, Security Officer berinisial SS, Kabagops Polres Malang Wahyu SS, Anggota Brimob Polda Jatim berinisial H, dan Kasat Samapta Polres Malang berinisial TSA.
Gas Air Mata dan Tanggung Jawab PSSI
Masyarakat tidak puas dengan respons dari polisi. Mereka menuntut Tragedi Kanjuruhan harus diusut tuntas, tanpa ada fakta yang ditutup-tutupi. Bagaimana tidak, selama rentang dua pekan, pihak-pihak pemangku kepentingan seolah berlomba melempar tanggung jawab.
Polisi bersikeras sebut gas air mata bukan penyebab kematian di Tragedi Kanjuruhan. Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo mengklaim secara medis jatuhnya korban jiwa dalam Tragedi Kanjuruhan bukan karena gas air mata, tetapi karena kekurangan oksigen hingga terinjak-injak.
PSSI juga memilih lepas tanggung jawab. Ketua umumnya, Mochamad Iriawan alias Iwan Bule, sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda mau mundur sebagai bentuk tanggung jawab moral. PT LIB sebagai operator liga juga mengelak bertanggung jawab.
Panitia pelaksana Arema mengaku siap bertanggung jawab secara moril, meski dengan keras menuding tragedi Kanjuruhan karena tembakan gas air mata yang bertubi-tubi, alias tidak ada andil penjualan tiket melebihi kapasitas atau SOP pelaksanaan pertandingan yang salah.
Belum ada pihak-pihak yang secara ksatria mengaku bersalah, padahal nyata-nyata ada 132 nyawa yang melayang di Kanjuruhan.
Pemerintah bergerak dengan membentuk Tim Gabungan Independen Pencari Fakta. Setelah bekerja selama tiga pekan, TGIPF menyerahkan rekomendasi dan kesimpulan kepada Presiden Joko Widodo.
Salah satu kesimpulan yang harus digarisbawahi adalah TGIPF melaporkan kepada Presiden Jokowi bahwa gas air mata menjadi penyebab utama meninggalnya 132 orang pada tragedi Kanjuruhan. "Yang meninggal, cacat, dan kritis dipastikan terjadi karena berdesak-desakan setelah ada gas air mata yang disemprotkan," ujar Ketua TGIPF, Mahfud MD.
"Fakta yang kami temukan, korban yang jatuh, proses jatuhnya korban itu jauh lebih mengerikan dari yang beredar di televisi dan media sosial," ujar Ketua TGIPF, Mahfud MD.
"Karena kami merekronstruksi dari 32 CCTV yang dipunyai oleh aparat keamanan. Itu lebih mengerikan dari sekadar disemprot gas air mata lalu meninggal," tuturnya.
TGIPF tragedi Kanjuruhan juga meminta kepolisian untuk terus melakukan penyelidikan tindak pidana terhadap kejadian tragis pada 1 Oktober 2022.
Satu poin lagi yang disampaikan TGIPF adalah PSSI dan para pemangku kepentingan liga sepak bola Indonesia harus bertanggung jawab, terkait Tragedi Kanjuruhan yang terjadi pada laga Arema FC versus Persebaya Surabaya, 1 Oktober 2022.
TGIPF meminta kepada PSSI dan seluruh jajaran Komite Eksekutif (Exco) mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban moral atas jatuhnya korban meninggal sebanyak 132 orang.
Selain itu, TGIPF menyebut Pemerintah tidak akan memberikan izin pertandingan liga sepak bola profesional di bawah PSSI yaitu Liga 1, Liga 2, dan Liga 3, sampai dengan terjadinya perubahan dan kesiapan yang signifikan oleh PSSI dalam mengelola dan menjalankan kompetisi sepak bola di Tanah Air.
Sebelumnya, PSSI lebih dulu menjatuhkan hukuman. Arema dihukum tidak boleh menggelar pertandingan kandang di Malang hingga akhir kompetisi 2022/2023. PSSI juga menghukum Panitia Pelaksana pertandingan Arema, FC, Abdul Haris. Dia dilarang beraktivitas di sepak bola seumur hidup.
Menyerah dan Berhenti Nonton Sepak Bola Indonesia
Hukuman PSSI untuk Arema membuat Malang akan terpinggirkan dari hiruk pikuk kompetisi kasta tertinggi sepak bola hingga akhir musim 2022/2023. Arema harus bermain kandang dengan jarak minimal 250 kilometer dari Malang.
Sepak bola yang selama ini menjadi salah satu denyut nadi Malang akan menghilang. Namun, sebagian Aremania bahkan sama sekali tidak keberatan dengan realita pahit tersebut.
Mereka reka kehilangan tontonan sepak bola di Malang sampai keadilan di Tragedi Kanjuruhan benar-benar ditegakkan. Mereka juga mendesak revolusi besar-besaran sepak bola nasional. Jika dua tuntutan itu tidak dipenuhi, mereka memilih gantung syal, selamanya meninggalkan Arema dan sepak bola Indonesia.
Sepak bola Indonesia jelas tidak baik-baik saja ketika para suporter yang sangat setia pun mengikrarkan diri akan berhenti menonton pertandingan ke stadion. Mereka memilih meninggalkan Arema dan sepak bola Indonesia sampai kasus Tragedi Kanjuruhan benar-benar diusut tuntas dan sepak bola Tanah Air direvolusi besar-besaran dari hulu sampai hilir.
Itulah jalan yang dipilih Sindu, yang telah mendukung Arema lebih dari 15 tahun, dan lahir dari ayah dan ibu yang juga seorang Aremania dan Aremanita.
"Setelah kejadian malam itu saya pulang dan tidur karena badan sudah lemas. Saya lalu lihat berita, kok ternyata korbannya sampai ratusan. Saya lalu menghubungi teman-teman, untuk mengumpulkan syal, mau gantung syal. Enggak usah Arema-Arema lagi," tutur Sindu.
"Nyawa tidak sebanding dengan sepak bola. Lebih baik tidak usah mendukung Arema, tidak usah nonton lagi."
"Saya sudah tidak memikirkan ke depan seperti apa. Yang terpenting adalah usut tuntas masalah ini, supaya korban tragedi Kanjuruhan dapat keadilan. Memang benar saya dan teman-teman selamat, tapi hati dan jiwa kami tidak tenang. Kami minta keadilan untuk saudara-saudara kami. Apakah ke depan kami akan balik ke stadion? Kami tidak tahu," imbuh Sindu.
Sindu berhadap peristiwa kelam tersebut jangan sampai terulang lagi. Dia menyuarakan perombakan total sepak bola Indonesia, dari PSSI, PT LIB, Panpel Arema, hingga kepolisian. Sepak bola Indonesia harus berubah total!
Aremania asal Singosari Malang, Muhammad Reza, juga mengambil sikap senada. Pemuda berusia 29 tahun itu juga menonton laga Arema FC kontra Persebaya Surabaya pada 1 Oktober 2022 itu, bersama delapan temannya. Mereka duduk di tribune 14, dan tercerai berai saat kerusuhan kelam itu.
Sembilan Aremania itu semuanya selamat. Tetapi, Reza mengaku sudah lelah dan akan setop datang ke stadion. Keputusannya terasa ironis, karena dia sudah mendukung Arema sejak berusia 9 tahun, alias sudah 20 tahun menjadi Aremania. Reza mengenal Tim Singo Edan dari sang ayah, yang juga seorang Aremania.
"Rencananya sudah tidak mau nonton lagi. Untuk apa nonton lagi kalau tidak benar-benar ada perubahan dari induk organisasinya, PSSI. Ayo dibuka semuanya kasus ini, diproses transparan, kalau ada yang salah dari panpel, kepolisian, PSSI, semuanya. Ayo buka semua," sergah Reza, dalam perbincangan melalui telepon dengan Bola.com, Selasa (11/10/2022).
"Saya lelah. Kalau enggak ada perubahan dari atas, saya mending berhenti saja menonton sepak bola. Dari dulu begini-begini saja sepak bola Indonesia. Saya sudah tidak ada gairah untuk datang dan mendukung Arema lagi," imbuh Reza yang saat itu masih batuk-batuk karena efek gas air mata di Stadion Kanjuruhan.
Rizal, yang kehilangan ayah dan adiknya, pada tragedi Kanjuruhan juga memilih menepi selamanya dari sepak bola Indonesia, khususnya Arema. "Saya mungkin enggak mau nonton sepak bola Arema lagi. Sepak bola telah merenggut nyawa bapak dan adik saya, mungkin cukup sampai di sini saja," tegasnya.
Tiga suporter loyal Arema dan pencinta sepak Bola Indonesia memilih menyerah. Sepak bola Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
Gerakan Perdamaian Suporter, Harus Evaluasi Diri
Tragedi Kanjuruhan bukan hanya mendorong gerakan menuntut revolusi sepak bola Indonesia. Tragedi kelam itu menyentak kesadaran untuk menghentikan rivalitas yang kebablasan.
Diakui atau tidak, rivalitas sebagian kelompok suporter di Indonesia sudah tidak sehat. Bayangkan saja, sudah sejak 2006, Aremania dan Bonek bersepakat tidak saling hadir pada laga tandang Persebaya dan Arema.
Rivalitas Persib dan Persija pernah memakan korban jiwa. Begitu juga persaingan suporter Persis Solo, PSIM Yogyakarta, dan PSS Sleman. Semuanya jauh dari nilai-nilai sepak bola tentang kerja sama dan sportivitas.
Tragedi Kanjuruhan menyentakkan kesadaran. Tanpa dikomando, aksi solidaritas suporter bermunculan dari berbagai penjuru Indonesia.
Suporter-suporter yang terlibat rivalitas sengit mengupayakan perdamaian. Mereka menyadari ada yang yang jauh lebih berharga daripada sepak bola, yaitu kemanusiaan. Sepak bola juga harus dikembalikan ke khitahnya, bukan jadi lahan pembenaran rivalitas tak sehat dan melupakan nilai-nilai kemanusiaan.
Bonek, yang selama ini menjadi musuh bebuyutan Aremania, langsung menanggalkan rivalitas saat melihat tragedi Kanjuruhan. Mereka menggelar doa bersama di Tugu Pahlawan yang diikuti ribuan orang. Sejumlah perwakilan Bonek juga datang langsung ke Stadion Kanjuruhan untuk menyampaikan bela sungkawa. Sekat tinggi Malang-Surabaya perlahan mulai terbuka. Aremania juga sudah membuka pintu perdamaian, bukan hanya dengan bonek, tapi juga suporter seluruh Indonesia.
Sesepuh Aremania, Anto Baret, menegaskan suporter tidak seharusnya bermusuhan. Rivalitas hanya terjadi selama pertandingan 90 menit.
"Lawan kita bukan suporter. Setelah melihat ratusan orang meninggal, kita tahu lawan kita bukan suporter, tapi gas air mata," sergah Anto Baret.
"Perdamaian ini Insyaallah terwujud sendiri. Apalagi gerakan-gerakan perdamaian bukan kita di sini yang menyuruh, tetapi mereka dengan kesadaran sendiri ingin damai dengan saudara sebangsa dan setanah air. Luar biasa dan terima kasih."
"Mari kita kawal perdamaian ini, karena sangat penting bagi kita semua," sambung dia.
Pentolan bonek yang juga koordinator Green Nord, Husin Ghozali alias Cak Cong, meminta suporter melakukan evaluasi terhadap diri sendiri terlebih dahulu sebelum melangkah menuju jalan perdamaian.
"Kita semua harus melakukan evaluasi, apa yang harus diperbaiki. Mungkin selama ini rivalitasnya kurang sehat, pola pikir teman-teman kita semua harus diubah, rivalitas itu harus bagaimana. Ke depan kita harus ubah rivalitas menjadi yang sehat," urai Cak Cong.
"Sekali lagi, kita saling respek dulu saja. Tidak perlu ada mediator dan semacamnya, yang penting ada niat damai. Mereka datang ke sini, kita sowan ke sana, saling seperti itu, nantinya akan cair sendiri," sambung dia.
Gerakan perdamaian juga menggeliat dari Solo dan Yogyakarta, yang selama ini terjebak dalam rivalitas sengit. Suporter Persija Jakarta dan pendukung Persib Bandung yang kerap bergesekan juga menggelar doa bersama di Bandung.
Baru Awal
Gerakan perdamaian dari berbagai elemen suporter tersebut bak secercah cahaya terang di ujung lorong gelap sepak bola Indonesia.
Namun, semua itu baru awal. Mewujudkan perdamaian yang sesungguhnya dan berkesinambungan bukan perkara mudah. Harus ada niat yang kukuh, saling respek, dan keinginan bergandengan memperbaiki sepak bola Tanah Air. Prosesnya bakal panjang.
"Peristiwa Kanjuruhan harus menjadi titik balik suporter Indonesia. Memang ada beberapa tim yang memiliki rivalitas tinggi di sepak bola, boleh-boleh saja dan normal. Tetapi jangan sampai rivalitas itu merugikan diri sendiri dan orang lain," tutur Aji Santoso, pelatih Persebaya, yang dulunya pernah bermain dan melatih Arema, dan tinggal di Malang.
"Sepak bola itu harus bisa dinikmati semua kalangan. Alangkah indahnya jika ada pertandingan di Malang, bonek bisa datang, kemudian ada laga di Surabaya, Aremania bisa hadir, pertandingan di Bandung maka Jakmania bisa datang, dan sebaliknya."
"Rivalitas boleh-boleh saja, dikemas dengan positif. Bersaing silakan, karena bisa membuat sepak bola tetap menarik, asal jangan menimbulkan korban. Semoga ini menjadi titik balik sepak bola Indonesia, kemanusiaan di atas segalanya," imbuh dia.
Jangan Sampai Sepak Bola Indonesia Tanpa Masa Depan
Geliat perdamaian suporter memang bisa menjadi titik balik transformasi sepak bola Indonesia. Namun, itu baru benar-benar langkah awal.
Faktanya, akar masalah kusutnya sepak bola Indonesia sangat kompleks. Selalu terulang bak benang kusut, tanpa niatan serius mengurainya.
Bahkan, bertumpuk problem sepak bola Tanah Air dianggap normal-normal saja, toh penonton masih berbondong-bondong datang ke stadion, meskipun liga lokal bergulir begitu-begitu saja dan Timnas Indonesia tidak kunjung mendulang prestasi.
PSSI, Pengelola liga dalam hal ini PT LIB, klub, suporter harus berbenah bersama-sama, tanpa terkecuali! Jika satu elemen saja menolak berubah, mewujudkan sepak bola Indonesia yang berkualitas hanya akan menjadi angan-angan semu dan berlalu begitu saja.
Bahkan, demi transformai dan masa depan sepak bola Indonesia, ada yang mengusulkan langkah ekstrem. Seorang Aremania, Oki Prasetyo Wahono, meminta sepak bola rehat dulu, di Malang bahkan Indonesia,.
"Saya sangat setuju untuk rehatnya sepak bola di Malang. Kota ini pun sekarang banyak trauma akibat tragedi Kanjuruhan menyeramkan. Ibu-ibu di pasar semua lebih memilih membicarakan kematian di stadion. Banyak cuplikan di reels ketakutan ibu-ibu di malang ketika anaknya ingin nonton arema lagi di stadion," tutur Oki dalam pesan singkat kepada Bola.com, Sabtu (15/10/2022).
"Semestinya rehatnya sepak bola tidak hanya di Malang. Lebih bagus jika kompetisi di indonesia harus dihentikan dulu, untuk berbenah semua pihak dan bahan evaluasi secara menyeluruh dan total. Semua elemen harus melakukan introspeksi dari segala segi supaya Liga Indonesia menjadi kompetisi yang lebih sehat. Dan tentunya usut tuntas tragedi kemanusiaan ini, hukum semua pihak yang terlibat."
"Sepak bola Indonesia sudah tidak punya masa depan jika tragedi kanjuruhan dibiarkan begitu saja tanpa pertanggungjawaban. Kita tahu semua bahwa ini adalah laga sepakbola paling mematikan kedua di dunia. Tidak ada sepak bola seharga nyawa, tumpah darah dan hilangnya ratusan jiwa manusia," imbuhnya.
Oki menyebut nyawa di sepak bola Indonesia seperti sedemikan murah sehingga jika kejadian itu terulang kembali dan hanya ada sepenggal kalimat penyesalan tanpa ada rasa ingin insiden jangan sampai terulang kembali.
"Tak bermaksud menghakimi namun instrospeksi kubro harusnya dilakukan semua pihak di sepak bola Indonesia. Jangan pernah berharap atau bahkan bermimpi sepak bola Indonesia bakal maju jika empati masih sangat minim."
Tragedi Kanjuruhan jadi bukti pesan meminta pertolongan SOS untuk sepak bola Indonesia. Masa depan bibit-bibit berbakat sepak bola Tanah Air taruhannya.
Jika tragedi Kanjuruhan tidak bisa mengubah sepak bola Indonesia, entah apa yang bisa mengubahnya. Jangan sampai suporter-suporter lain mengikuti langkah Rizal, Sindu, dan Reza, yang memilih membalikkan badan, meninggalkan sepak bola Indonesia yang mereka cintai.
- Tim Peliput: Yus Mei Sawitri, Oki Prabhowo, Bagaskara Lazuardi, Iwan Setiawan, Dendy Gandakusumah