Bola.com, Malang - Tragedi Kanjuruhan yang pecah setelah laga Arema FC kontra Persebaya Surabaya meninggalkan trauma menganga bagi para korban, keluarga, bahkan untuk orang-orang yang hanya menyimak kisah kelam tersebut dari media dan layar kaca. Peristiwa mencekam di Stadion Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022 itu merupakan sebuah tragedi kemanusiaan yang tak mudah untuk dilupakan.
Keluarga korban tidak akan pernah merasa sama lagi. Korban tragedi Kanjuruhan bukan sekadar angka, tapi mereka adalah orang-orang tercinta yang tidak akan pernah kembali ke pangkuan keluarga.
Korban yang selamat juga terhimpit trauma. Mereka menjadi saksi saat ayah, ibu, kakak, adik, sahabat, atau orang asing yang baru dikenal kehilangan nyawa karena sesak napas, terhimpit, dan terinjak-injak. Kesedihan atau penyesalan akan terus menggelayuti. Hidup mereka tidak akan sama lagi.
Jangan lupakan juga aktor utama pertandingan malam itu, yaitu pemain Arema FC dan Persebaya Surabaya, pelatih, serta manajemen klub. Pertandingan bergengsi yang semestinya menyuguhkan hiburan berubah menjadi petaka dan menyebabkan 132 orang meregang nyawa. Trauma mencengkeram mereka dengan kuat.
Pelatih Arema FC, Javier Roca, mengamini anak asuhnya dicengkeram trauma setelah melihat tragedi pilu di Stadion Kanjuruhan. Tak sedikit pemain yang menyalahkan diri sendiri. Merasa tragedi tersebut tak akan pernah terjadi seandainya malam itu Arema menang, bukannya keok 2-3 dari Persebaya.
Mes pemain yang biasanya hangat menjadi muram. Di malam hari, pemain masih sering melamun dan bengong, bahkan menangis.
"Tujuan pertama saya saat ini ingin memastikan tidak ada pemain yang mundur dari Arema FC dan kompetisi musim ini. Hal itu bisa terjadi di tengah tragedi seperti ini," kata Roca saat berbincang dengan Bola.com, di Kantor Arema, Kota Malang, Rabu (12/10/2022).
Bertekad Cegah Pemain Mundur
Arema FC tidak tinggal diam menyaksikan trauma masih menyelimuti tim. Roca sudah berkomunikasi dengan manajemen klub untuk mendatangkan psikolog, demi memulihkan pemain dari trauma setelah Tragedi Kanjuruhan yang menyayat hati itu.
"Saya sendiri berharap bisa kuat saat sesi latihan dengan pemain. Saya melakukan pendekatan dan ngobrol. Saya berharap bisa meyakinkan mereka untuk tetap berjalan sebagai pemain bola. Ini soal mereka sebagai manusia, bukan sekadar pemain," ujar Roca, pelatih asal Chile itu.
Pelatih yang saat jadi pemain malang melintang di belantara sepak bola Indonesia itu berjanji sekuat tenaga membantu para pemain bangkit dan tidak meninggalkan sepak bola. Apa yang terjadi setelah itu urusan belakangan.
Namun, mantan pelatih Persik Kediri itu menyadari tidak bisa melakukan semua itu sendiri. Dirinya bukan psikolog, yang punya ilmu memulihkan kenangan traumatis seperti itu.
"Fokus pertama saya adalah mengangkat mental pemain, supaya mereka bisa melanjutkan kompetisi, bukan memilih mundur," ucap pelatih berusia 42 tahun tersebut, yang mengaku tidak bisa tidur selama dua hari setelah tragedi Kanjuruhan yang mengguncang.
Sejak tragedi Kanjuruhan tersebut, pemain Tim Singo Edan bergantian mengunjungi keluarga korban meninggal. Mereka datang bersama manajemen untuk menyampaikan bela sungkawa dan memberikan bantuan.
"Ada pemain yang WA saya, katanya tidak kuat kalau ikut ke keluarga korban. Ya tidak kami paksa, daripada nanti malah semakin hancur."
Sedih dan Bingung
Kapten Arema FC, Johan Alfarizi, bahkan sulit membicarakan peristiwa traumatis itu. Dia mengaku sedih dan bingung. Sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Pandangannya terhadap sepak bola Indonesia juga berubah setelah tragedi Kanjuruhan. Dunia yang membesarkan namanya itu kini terasa berbeda.
"Jujur saya belum bisa membicarakan tragedi Kanjuruhan itu terlalu jauh. Kami melihat langsung, kalau ngomongin itu langsung terasa tidak enak," tutur Alfarizi dalam perbincangan dengan Bola.com di rumahnya, di Kabupaten Malang, Minggu (10/10/2022).
"Pokoknya tidak bisa membicarakan hal ini. Sedih. Mohon maaf," imbuh bek sayap Arema berusia 32 tahun tersebut.
Sebagai kapten, tanggung jawabnya di tim sangat besar. Banyak pemain yang bersandar kepadanya. Namun, kini Alfarizi juga tampak membutuhkan sandaran.
"Jujur saya sendiri masih bingung, belum bisa fokus."
Di mata Alfarizi, sepak bola Indonesia tidak lagi sama. Sepak bola negeri ini akhirnya menjadi sorotan dunia, tapi untuk alasan yang salah.
"Semoga kejadian ini bisa membuat sepak bola Indonesia menjadi lebih baik. Saya harap begitu," kata ayah dua putra tersebut.
Cerita dari Ruang Ganti Arema
Peristiwa di ruang ganti Arema FC, di Stadion Kanjuruhan, pada Sabtu 1 Oktober 2022 memang mengguncang jiwa. Mereka melihat langsung beberapa suporter yang selama ini tidak kenal lelah mendukung Arema kehilangan nyawa.
Cerita miris di ruang ganti Singo Edan digambarkan dengan detail oleh Media Officer Arema FC, Sudarmaji.
Malam itu, setelah membatalkan sesi konferensi pers Persebaya setelah pertandingan, Sudarmaji cepat-cepat melangkah ke ruang ganti Kera-kera Ngalam. Saat itu, Persebaya batal melakukan konferensi pers agar bisa segera masuk ke kendaraan taktis Baracuda yang sudah disiapkan untuk meninggalkan Stadion Kanjuruhan, karena suasana sudah tidak kondusif.
"Saya kemudian masuk ke ruang ganti Arema, suasana hening. Alfarizi masuk dalam kondisi emosional, dia menggebrak meja, tanda kekecawaan, white board dia pukul, sambil bilang 'kenapa kita harus kalah?' Semua dalam suasana hening," tutur Sudarmaji, saat berbincang dengan Bola.com di kantor Arema, Rabu (12/10/2022).
"Saya kemudian berusaha melobi coach Roca. Saya bilang Arema harus konferensi pers untuk minta maaf dan memang regulasinya seperti itu. Roca siap, itu 30 menit setelah pertandingan selesai. Lalu pemain yang mendampingi Roca siapa? Semua pemain merasa sedih terbawa emosi. Roca menunjuk Dedik Setiawan."
"Roca saya ajak ketemu media, konferensi pers saya batasi 5 menit. Roca memberi pernyataan dulu, kemudian Dedik. Ada dua pertanyaan setelah itu."
Begitu konferensi pers berjalan, tiba-tiba Aremania mendobrak masuk. Di media center ada lorong untuk fotografer akses ke lapangan luar, di situlah yang didobrak Aremania. Mereka meminta tolong.
Ada suporter yang masuk sambil mengangkat satu orang, kemudian satu lagi. Sudarmaji langsung menghentikan konferesi pers.
"Teman-teman dari media langsung ikut menolong dua Aremania itu, mencoba beri pertolongan. Saya ikut mengangkat, coach Roca juga, beberapa wartawan juga ikut. Saya mengarahkan agar membawa mereka ke ICU," tutur Sudarmaji.
"Media center itu lurus ke utara ke mushola, sebelahnya ada mini ICU. Kami ikut mengangkat, coach Roca ikut mengangkat. Roca dan Dedik saya antar ke ruang ganti. Suasana di sana terdiam semuanya, kita belum tahu di luar seperti apa," imbuhnya.
4 Aremania Meninggal di Ruang Ganti
Memasuki Minggu (2/10/2022) sekitar pukul 00.00 WIB atau 00.30 WIB, pintu ruang ganti Arema sisi selatan didobrak Aremania. Mereka berteriak-teriak meminta tolong.
Aremania yang membopong beberapa orang masuk ke ruang ganti. Pemain yang tadinya tenggelam dalam kesedihan, langsung beranjak memberikan pertolongan, ikut mengangkat korban. Ada yang mengipasi korban atau memberikan minum, atau membasuh wajah korban dengan air. Tim medis Arema juga tidak tinggal diam, berusaha keras menyelamatkan korban.
"Kira-kira ada sekitar 15-20 korban. Ada empat orang yang meninggal di ruang ganti, di hadapan pemain," tutur Sudarmaji, sambil terisak, tak kuasa menahan tangis.
"Jadi kami semua memberikan pertolongan. Ada empat orang yang meninggal di ruang ganti pemain, dua perempuan dan dua laki-laki. Ada satu yang meninggal di pangkuan pemain."
"Kami tidak tahu apakah mereka masuk ke ruang ganti dalam kondisi yang sudah meninggal atau belum. Setelah itu kami, pemain, pelatih, ofisial melihat keluar untuk melihat suasana. Di ICU tadi sudah ada banyak jenazah," tutur Sudarmaji.
Sekitar pukul 02.00 WIB, di lorong menuju lapangan ada beberapa korban yang berusaha diberi pertolongan. Sudarmaji mengatakan beberapa pemain hingga manajer Arema, Ali Fikri, ikut mengangkat para korban. Mereka kemudian keluar ke lapangan dan menyaksikan pemandangan yang mengguncang.
"Sekitar jam 02.00 WIB, kami membawa keluar beberapa Aremania yang berada di ruang ganti. Semua karpet yang biasanya digunakan untuk salat, dibawa keluar untuk alas korban. Di lapangan kami masih lihat jenazah, korban yang tidak bisa diselamatkan lagi, ada dua atau tiga orang."
Belum Pikirkan Kompetisi
Sejak tragedi Kanjuruhan itu, tim diliburkan. Pemain ikut berkeliling mengunjungi keluarga korban yang meninggal di Stadion Kanjuruhan. Sudah lebih dari 70 keluarga yang mereka sambangi.
"Tim sudah berdiskusi mendatangkan psikiater. Kalau pemain mengalami trauma cedera sudah biasa, tapi ini trauma sosial, butuh penanganan berbeda," tutur Sudarmaji.
"Bukan hanya pemain yang trauma, keluarga, anak dan istrinya juga. Kami masih berkomunikasi dengan psikiater untuk menyusun program apa saja yang dilakukan untuk tim."
Sudarmaji mengatakan pemain sama sekali belum memikirkan kompetisi. Mereka masih berusaha memungut kembali keping-keping kekuatan, keberanian, dan memulihkan kondisi psikologis untuk kembali berlatih. Jalan di depan mereka masih panjang, berat, dan berliku.
- Tim peliput: Yus Mei Sawitri, Iwan Setiawan, Oki Prabhowo, Bagaskara Lazuardi