The Lucky Man, Mencicipi Gelar Piala Dunia Tanpa Berkeringat : Yuk Simak Kisah 6 Pemain Beruntung Ini

oleh Choki Sihotang diperbarui 21 Okt 2022, 09:40 WIB
Timans Prancis kala menjadi jawara dunia 1998. (AFP/Pedro Ugarte)

Bola.com, Jakarta - Bagi setiap pemain, terpilih masuk skuad untuk Piala Dunia sangat membanggakan. Rasanya seperti terbang ke langit ke tujuh. Maklum, agar bisa terpilih sebagai duta bangsa di ajang balbalan paling bergengsi empat tahunan itu, setiap pemain kudu melewati seleksi ketat nan melelahkan.

Baru terpilih saja sudah mabuk kepayang. Bagaimana pula kalau sampai juara? Wow, tak terlukiskan betapa gembiranya.

Advertisement

Sekelas superstar seperti Diego Maradona saja senangnya bukan main. Itu tersuguh kala seniman lapangan hijau itu memimpin Argentina memenangkan Piala Dunia 1986. Demikian juga dengan sederet legenda lainnya macam Pele, Lothar Matthäus, dan Zinedine Zidane.

Jika Maradona, Pele, Matthäus, dan Zidane berdarah-darah berjuang mati-matian untuk membawa negaranya masing-masing ke podium kehormatan, maka ada pula pemain yang tak perlu susah payah atau bahkan tak main sama sekali tapi tetap kecipratan rezeki menyandang status juara.

Nggak percaya? Nih buktinya.

 

2 dari 7 halaman

Mario Genta

Piala Dunia 1938 di Prancis. Italia datang sebagai juara bertahan. Empat tahun sebelumnya di kampung sendiri, Gli Azzurii sukses menjadi yang terbaik di edisi 1934. Dari sederet pemain beken seperti Giuseppe Meazza dan Luis Monti, terseliplah nama Genta.

Genta bukanlah siapa-siapa, jika dibandingkan dengan dua legenda tadi. Dia hanya sebatas pemain cadangan. Sepanjang turnamen hingga Italia sukses mempertahankan gelar usai mengalahkan Hongaria 4-2 di final, Genta hanya duduk manis di bangku cadangan. Tak sebutir pun peluhnya jatuh.

 

3 dari 7 halaman

Baldocchi

Ketika namanya masuk skuad Brasil di Piala Dunia 1970 besutan Mario Zagallo, Baldocchi tentu saja senang tingkat dewa. Bek tengah Palmeiras itu bakal setim dengan Pele, Jairzinho, Gerson, dan Rivellino.

Baldocchi siap mati di lapangan, jika memang diinginkan Zagallo. Namun, apa yang diangan-angankan Baldocchi tak kesampaian sama sekali. Sampai turnamen bubar setelah Brasil menghempaskan Italia 4-1 di partai pamungkas, Baldocchi tak pernah main.

 

4 dari 7 halaman

Stephane Guivarc'h

Di Piala Dunia 1998, Prancis juara. Di final, Zinedine Zidane dkk menggiling Brasil 3-0. Prancis berpesta. Inilah kali pertama Les Bleus menggenggam dunia.

Zidane, Lilian Thuram, Thierry Henry, Didier Deschamps, Marcel Desailly, dan Fabien Barthez dielu-elukan dan kini menjadi legenda. Masih adakah yang mengingat Guivarc'h?

Pada edisi itu, Guivarc'h sebenarnya cukup ngos-ngosan. Meski tak melulu tampil penuh, namun pelatih Aimé Jacquet memberinya kesempatan dalam lima laga.

 

5 dari 7 halaman

Kleberson

Kleberson (kiri), kala menjadi rekrutan Sir Alex Ferguson.

Setelah 1994, Brasil zonk alias tak pernah lagi juara. Tim Samba kembali ke jalur digdaya pada Piala Dunia 2002. Di partai puncak, mesin perang Luiz Felipe Scolari menghacurkan Jerman dua gol tanpa balas.

Satu di antara bakat yang luar biasa saat itu adalah Kleberson. Walau tak main penuh selama turnamen, tapi setidaknya gelandang pengangkut air asal Atlético Paranaense itu sukses mencolong perhatian.

Sehabis Piala Dunia, Kleberson banjir tawaran dari banyak klub Eropa. Dia akhirnya memilih Manchester United sebagai ajang pembuktian selanjutnya. Eh, di Old Trafford Kleberson malah kelelep. Dia gagal bersinar dan lama-lama redup digilas roda waktu.

 

6 dari 7 halaman

Franco Selvaggi

Pelatih Enzo Bearzot tentunya punya banyak alasan kenapa sampai memanggil Selvaggi ke Timnas Italia, jelang bergulirnya Piala Dunia 1982. Masih muda 19 tahun, Selvaggi merupakan bakat menonjol di Italia kala itu.

Sayang beribu sayang, sampai Italia memenangkan final usai mengalahkan Jerman Barat 3-1, Selvaggi tak pernah masuk televisi. Dia cadangan mati. Meski begitu, Selvaggi setidaknya masih berbangga karena punya cerita buat anak cucu.

 

7 dari 7 halaman

Aldo Donati

Bermain tidaknya seorang pemain, seutuhnya wewenang pelatih. Sebagai pejuang yang sudah terpilih ke dalam skuad Italia di Piala Dunia 1938, Donati pastilah ingin berjuang hingga tetes darah terakhir.

Tapi apa mau dikata, kesempatan tak pernah menghampirinya. Lelah menanti, pelatih tak jua memberi isntruksi. Walhasil, sampai Italia naik podium kehormatan sebagai kampiun Donati hanya jadi penonton abadi.

Sumber: Thesportster

 

Berita Terkait