Bola.com, Jakarta - Kompetisi sepak bola Indonesia kerap bergonta-ganti titel, mulai dari Liga Indonesia, Indonesia Super League, Indonesia Premier League, hingga Liga 1.
Namun, jika ditarik mundur ke belakang, ada sebuah kompetisi yang dianggap menjadi embrio sepak bola profesional Indonesia, yakni Galatama (Liga Sepak Bola Utama).
Kompetisi semi-profesional tersebut pertama kali bergulir pada 1979. Bisa dibilang liga tersebut menjadi persaingan gengsi antarperusahaan swasta.
Berbeda dengan kompetisi perserikatan yang dihuni klub yang aspek finansialnya mendapat suntikan dari pemerintah daerah. Pemain-pemain top seperti Bambang Nurdiansyah, Zulkarnaen Lubis, hingga Ricky Yakobi sempat memeriahkan Galatama.
Begitu juga dengan pemain asing. Fandi Ahmad (eks Timnas Singapura) yang sempat barkarier di Eropa juga ikut berkiprah di Galatama. Sayangnya, aturan untuk pemain asing hanya diperbolehkan sampai 1982. Setelah itu, Galatama mulai kehilangan pamor.
Suporter mulai meninggalkan klub. Imbasnya banyak klub yang mengundurkan diri. Kompetisi ini pun dilebur dengan perserikatan pada 1994.
Akan tetapi, bukan berarti jejak tim Galatama sudah sirna. Warisan kompetisi itu masih ada sampai saat ini. Saat ini, ada ada lima klub Galatama yang masih eksis. Namun, beberapa di antaranya sudah berganti nama.
Arema FC
Tim ini dulunya bernama Arema Malang di era Galatama. Arema baru lahir pada 1987 dan jadi juara Galatama 1992/1993. Karena prestasinya, sampai saat ini tim yang dijuluki Singo Edan itu jadi representatif Galatama.
Hanya saja tim ini dikenal kembang kempis untuk urusan finansial. Tak jarang mereka hanya mengandalkan loyalitas pemain di lapangan.
Meski belum gajian, Tim Singo Edan tak pernah loyo di lapangan. Namun, tim ini juga sempat jadi tim mapan di era pengelolaan PT Bentoel International Investama. Perusahaan rokok di Malang itu membuat tim ini lebih profesional periode 2003 hingga 2008.
Pemain dapat fasilitas lebih layak, gaji tak terlambat, hingga keluarga pemain pun ditanggung kesehatannya oleh manajemen.
Namun setelah itu, Arema kembali kembang kempis. Meski sempat dikelola PT Arema Cronus, Bakrie Grup, masih ada tunggakan gaji pada setiap akhir musim.
Baru pada 2018, mereka berhasil mengubah image itu. Manajemen merampungkan kompetisi tanpa tunggakan gaji. Namun, ada imbas dari sehatnya finansial Arema, yakni membatasi kontrak pemain dan mengurangi pemain bintang.
Saat dikelola pengusaha muda Gilang Widya Pramana atau Juragan 99 pada 2021, Arema sempat kembali membentuk tim bertabur bintang. Ada pemain sekelas Evan Dimas, Adam Alis dan lain-lain yang didatangkan musim 2022.
Tetapi, masa depan Arema FC kembali menjadi tanda tanya setelah Juragan 99 mundur pekan lalu. Akan ada masa transisi manajerial yang dialami Singo Edan.
Diluar finansial, Arema dipandang sebagai tim spesialis turnamen. Musim 2014 hingga 2022, berbagai turnamen berhasil dimenangi, mulai dari Inter Island Cup, Bali Island Cup, Bhayangkara Cup, Trofeo Persija dan masih banyak lainnya.
Terbaru, Arema jadi juara Piala Presiden 2022. Adapun gelar kompetisi, terakhir kali Arema FC meraih titel juara pada 2010 ketika masih bernama Indonesia Super League (ISL).
Barito Putera
Tim asal Banjarmasin itu lahir pada 1988. Mereka didirikan pengusaha ternama di Kalimantan, Abdussamad Sulaiman HB. Tim ini lebih sering berstatus sebagai kuda hitam. Padahal dari segi finansial, mereka tak diragukan lagi.
Namun, tim yang bermarkas di Banjarmasin itu belum pernah menorehkan prestasi di Galatama dan kompetisi modern saat ini. Pencapaian tertinggi Barito Putera terjadi pada musim 1992.
Mereka sukses finis di posisi ketiga. Pada musim 2008/2009, Barito Putera berhasil menjadi juara Divisi Utama (kasta kedua). Gelar tersebut membuat Barito Putera kembali tampil di kompetisi elite Indonesia.
Saat ini, Barito Putera masih konsisten tampil di Liga 1 sebagai kasta teratas liga Indonesia. Namun, tetap saja Barito Putera belum mampu menghadirkan prestasi terbaik.
Paling banter Barito Putera finish di peringkat kelima pada Liga Super Indonesia 2013. Adapun musim lalu, tim berjulukan Laskar Antasari tersebut terdampar di peringkat ke-13 Liga 1.
Meski sudah mengarungi kompetisi puluhan tahun, tim ini masih dipegang oleh keluarga sang pendiri. Saat ini Hasnuryadi Sulaiman yang merupakan generasi kedua sang pendiri, kini menjabat CEO PS Barito Putera.
Madura United
Tim ini tentu tidak pernah tercatat sebagai kontestan di Galatama. Namun Madura United mewarisi DNA Pelita Jaya. Tim dengan nama besar yang pernah jadi penguasa Galatama. Maklum, mereka disokong dana kuat dari Bakrie Grup. Wajar jika mereka dilabeli sebagai tim kaya raya.
Kiprah tim ini dimulai pada 1986. Tidak ada kesulitan bagi Pelita Jaya membentuk skuat bertabur bintang, karena semua pemain tentu ingin bermain di sana.
Termasuk barisan pemain Timnas Indonesia. Wajar jika Pelita Jaya berhasil menyabet tiga gelar Galatama edisi 1988/1989, 1990, dan 1993/1994. Serta dua kali runner-up pada 1986/1987 dan 1987/1988.
Setelah penyatuan Galatama dan Perserikatan, Pelita Jaya lebih jor-joran. Pemain asing alumni Piala Dunia seperti Roger Milla (Kamerun), Mario Kempes (Argentina), hingga Dejan Glusevic (Montenegro) sempat membela tim ini.
Tetapi, saat mulai berinvestasi mendatangkan pemain asing dengan nama besar, tim ini tak pernah meraih prestasi. Justru mereka lebih dikenal tim yang gonta-ganti markas, dan itu mempengaruhi nama tim.
Seperti saat berganti nama menjadi Pelita Solo (2000-2002), Pelita Krakatau Steel (2002-2006), Pelita Jaya Purwakarta (2006-2007), Pelita Jabar (2008-2009), dan Pelita Jaya Karawang (2010-2012).
Pada 2012, Pelita Jaya kemudian digabung dengan Bandung Raya dan menggunakan nama Pelita Bandung Raya (PBR). Namun, penggabungan dua klub tersebut hanya seumur jagung.
PBR yang sempat menggunakan nama Persipasi Bandung Raya, kemudian diakuisisi penguasaha asal Madura, Achsanul Qosasi. Klub tersebut kemudian diganti nama menjadi Madura United yang sampai saat ini masih eksis berkompetisi di Liga 1.
Semen Padang
Tim ini bisa dibilang stabil untuk urusan manajerial di era Galatama. Maklum, mereka ditopang satu di antara perusahaan BUMN, PT Semen Padang. Tim ini berdiri pada 1980.
Memiliki sokongan dana kuat, Semen Padang bisa membentuk tim tangguh dalam sekejap. Pada musim 1982, mereka sudah merengkuh gelar juara Galatama 1.
Tetapi setelah itu, entah mengapa mereka sempat kering prestasi di kasta tertinggi. Mereka baru kembali jadi juara ketika kompetisi terpecah antara ISL dan IPL.
Waktu itu, Semen Padang bermain di IPL dan jadi juara musim 2011/2012. Ini jadi pencapaian tertinggi tim yang dijuluki Kabau Sirah tersebut.
Sayangnya, setelah unifikasi liga pada musim 2014, Semen Padang seperti kesulitan bersaing di papan atas. Pada 2017, mereka turun kasta ke Liga 2.
Namun, hanya butuh satu musim bagi mereka untuk kembali promosi ke kasta tertinggi. Tetapi pada musim 2019, mereka harus terdegradasi lagi. Sehingga sampai saat ini Semen Padang masih berjuang menembus Liga 1.
Mitra Kukar
Tim ini juga mewarisi DNA Galatama, karena dulunya bernama Niac Mitra pada 1979 dan bermarkas di Surabaya. Sampai sekarang, Niac Mitra dikenang sebagai tim raksasa di era itu.
Mereka berhasil meraih gelar juara pada musim 1980/1981, 1982/1983, dan 1987/1988. Serta satu kali runner-up pada 1988/1989.
Niac Mitra kemudian berganti nama menjadi Mitra Surabaya pada 1993. Setelah itu tim ini hijrah ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah setelah turun kasta dan berganti nama menjadi Mitra Kalteng Putra pada 1999.
Perubahan nama kembali terjadi pada 2003. Waktu itu Pemerintah Kabupaten Kutai Kertanegara mengakuisisi tim itu, sehingga muncul nama Mitra Kukar.
Pada 2012, mereka akhirnya ke kasta tertinggi. Gelar paling akhir yang diraih Mitra Kukar adalah juara Piala Jenderal Sudirman 2015. Sayangnya musim 2018, mereka harus terdegradasi. Sampai sekarang klub yang dijuluki Naga Mekes itu masih bertahan di Liga 2.