Bola.com, Jakarta - Sajian informasi yang dikemas dalam bentuk berita menjadi konsumsi publik setiap hari. Oleh karena itu, ragam produk konten yang tersaji di beberapa platform, terutama Google dan Facebok, memberi keuntungan kepada para pengguna internet.
Pada sisi yang lain, terutama distribusi konten dan bisnis, sebenarnya siapa yang mendapat keuntungan berlipat ; apakah Google, Facebook atau media pemilik berita itu sendiri?. Satu yang layak menjadi catatan, Google, Facebook dan platform berbasis teknologi sejenis jelas tidak berdaya bila tidak ada konten berita yang layak untuk ditunjukkan pada pengguna internet.
Tapi apakah pembagian keuntungan yang mereka berikan kepada media pemilik berita sudah sepadan? Diskusi menarik tentang hal ini dikupas pada sesi roadshow kelompok kerja Dewan Pers dan Forum Pemred saat mendatangi kelompok media Elang Mahkota Teknologi (Emtek) di SCTV Tower, Jumat (2/12/2022).
Forum ini antusias diikuti perwakilan newsroom Fokus Indosiar, SCTV dan para penggawa awak media online di bawah KLY Group. Tujuan dari pemaparan ini adalah menjelaskan rencana pembentukan regulasi yang mengatur benefit sharing antara Google, Facebook dan platform sejenis, yang akan diumumkan pada Hari Pers Nasional, Februari 2023.
“Undang-undang dan peraturan tertulis serupa sudah berjalan dengan baik di Australia, Jerman, Prancis dan Amerika Serikat. Saat media di sana menyadari skema pembagian iklan programmatic hanya memberikan bagian kurang dari 30 persen untuk media dari platform, maka skema sebelumnya harus didemokratisasi,” ujar Agus Sudibyo, salah satu narasumber dari Pokja Dewan Pers.
Agus, yang juga mantan anggota Dewan Pers periode 2019-2022, menegaskan, media tidaklah mengemis-ngemis pembagian keuntungan kepada Google dan FB. “Pihak platform diminta untuk memberikan hak finansial yang sudah selayaknya sedari awal memang menjadi kepunyaan media,” tegas Agus.
Mengenai kekhawatiran sebagian pengamat, terkait skema baru yang diajukan kelak akan merenggut hak warga untuk mengakses informasi dan membatasi kebebasan pers, Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Wenseslaus Manggut menyuarakan hal yang berbeda.
“Tidak ada yang berubah dengan cara publik mengakses informasi dan juga cara media menulis berita sesuai dengan kode etik jurnalistik. Hal yang akan ditata ulang kembali adalah soal pembagian keuntungan dengan tujuan menyehatkan ekosistem pemberitaan di internet,” ujar Wens.
Fokus Redaksi di Kualitas Konten
Wens menyebut pengelolaan baru ini sebagai sebuah upaya penemuan “jalan pulang” media kembali ke khitahnya sebagai pilar keempat demokrasi.
“Media diharapkan tidak lagi semata mengejar trafik berupa pageviews atau video plays sesuai dengan algoritma platform hanya demi bertahan hidup. Awak redaksi diharapkan kembali fokus pada upaya untuk membuat konten yang baik demi kemaslahatan publik lewat regulasi baru ini,” tambahnya.
Dalam sesi dikusi, Wakil Pemimpin Redaksi Liputan6.com, Ellin Kristianti, sempat mempertanyakan seberapa lama proses negosiasi pembentukan regulasi ini akan berdampak pada perbaikan ekosistem.
Menurut Ellin sudah terlalu lama platform pada akhirnya jadi penentu siapa yang menang dan yang kalah dalam distribusi konten. Walhasil, kekuatan jangkauan media sangat bergantung pada perusahaan teknologi mancanegara.
“Kita harus segera berbicara dengan pemerintah dan perwakilan platform untuk segera menemukan pintu jalan pulang itu. Semakin lama kita menunda, ekosistem yang sekarang ada akan semakin mapan sehingga posisi tawar media akan semakin kecil, “ jawab ketua Forum Pemred, Arfin Asydhad.
Hal yang sangat positif dari langkah penegakan hak bisnis dan hak distribusi media ini adalah adanya tuntutan perlakuan yang sama oleh platform bagi publisher yang mengajukan negosiasi dengan platform dan juga bagi publisher yang pasif. Jadi, ini bukan demi kepentingan oligarki grup media besar saja tapi demi kesehatan ekosistem pemberitaan media di Indonesia secara umum pada masa depan.