Bola.com, Jakarta - St. Pauli (Saint Pauli atau Sankt Pauli) mungkin tidak setenar klub-klub sepak bola Jerman. Secara keuangan, tim yang berlokasi di Kota Pelabuhan, Hamburg ini kalah telak oleh rivalnya, Hamburger SV (HSV), apalagi Bayern Munchen misalnya, terlebih jika bicara soal prestasi. Akan tetapi, St. Pauli lebih dari sekadar klub sepak bola, mereka memiliki idealisme dan komitmen kuat kepada lingkungan sosial, mereka representasi punk football.
Kendati tidak mempunyai basis pendukung sebesar Munchen atau Borussia Dortmund, St. Pauli, layaknya Livorno di Italia atau Rayo Vallecano di Spanyol, memiliki suporter setia dari kalangan sayap kiri, working class, punks, skinheads, penggiat anti-fasisme, rasialisme, homofobia, sexists, serta menjadi 'klub keren' bagi mereka pembenci kapitalisme yang mengutuk peperangan. Secara praktik, bisa dikatakan jika St. Pauli sangat menentang kelompok sayap kanan.
Penyerang muda Timnas Indonesia, Ramadhan Sananta, kabarnya dilirik oleh St. Pauli. Entah berasal dari mana awal mula kabar ketertarikan St. Pauli kepada Ramadhan Sananta berasal. Menurut @Zwulfulf, akun Twitter yang berbahasa Jerman, menyebut rival Hamburg itu memang sedang mengamati Ramadhan Sananta.
"Rumor mengatakan #FCSP tertarik untuk menandatangani Ramadhan Sananta dari pemuncak liga Indonesia, PSM Makassar. Pemain 20 tahun ini dianggap sebagai talenta terbaik di negaranya," tulis @Zwulfulf.
Saat ini St. Pauli berkutat di papan bawah 2. Bundesliga alias kasta kedua Liga Jerman. Musim ini merupakan kali ke-12 bagi tim berjulukan Kiezkicker tersebut berkompetisi. Seperti sudah disebutkan di atas, klub ini memang bukan langganan Bundesliga. Meskipun prestasinya segitu-gitu aja, St. Pauli memiliki ideologi yang sangat mengakar sehingga tidak heran loyalisnya tersebar di seluruh dunia.
Pengalaman langsung teman kuliah saya, Khoirul Hasan, yang pernah menyambangi Jerman selama satu tahun mengaku terkesan dengan atomosfer di Stadion Millerntor, markas St. Pauli. Ia kaget mengetahui tribune di sana dipenuhi oleh 'masyarakat terpinggir' seperti punks, pekerja kasar, gelandangan sampai waria. Ya, Millerntor seakan sudah seperti mangkuk berisi pendakwah sosialis yang dakwahnya lebih penting ketimbang prestasi klub itu sendiri, Wallahualam.
Sejarah Gambar Tengkorak
Simbol tengkorak atau bajak laut sebenarnya bukan logo resmi klub bernama lengkap Fußball-Club St Pauli von 1910 e.V. Penggunaan tengkorak merupakan inisiasi dari para suporter yang mencerminkan ideologi atau sikap mereka terhadap situasi politik, baik itu di Jerman mau pun yang tengah terjadi di belahan dunia lain. Tengkorak melambangkan pemberontakan menentang aktivitas sayap kanan, sebuah manifestasi gerakan antifacism (antifa).
Ada pun lambang tengkorak itu pertama kali dipergunakan pada tahun 1980-an sebagai bentuk nyata anti kemapanan para suporter Sankt Pauli. Ada beberapa versi mengenai logo tersebut, yang pertama adalah sosok Klaus Stortbeker (Nikolaus Stoertebeker), di mana dalam sebuah kisah disebutkan jika ia merupakan bajak laut terhebat dari Jerman. Perlu diketahui, Hamburg, sama seperti Liverpool, merupakan kota pelabuhan.
Versi lain mengklaim jika logo tengkorak dibawa oleh pemusik beraliran punk dari Hamburg, Doc Mabuse, yang kemudian diteruskan oleh Sven Brux, juga personel band punk. Saat ini Brux diketahui bekerja di Fanladen, sebuah basis suporter, markas, juga toko merchandise yang menjual pernak-pernik kesuporteran St. Pauli. Brux juga yang akhirnya mematenkan logo tengkorak tersebut.
Mengenai Mabuse, dikutip dari footballparadise.com, yang terbit pada Senin (05/06/2017), selain aktif bermain musik punk, juga adalah aktivis pembela kaum tertindas yang mendapat perlakuan tidak adil dari polisi dan kelompok neo-fascist di Jerman.
Perlahan namun pasti, ia bersama ratusan 'anak-anak punk' mulai membawa logo tengkorak sekitar tahun 1986-1987 dan hingga saat ini St. Pauli terkenal dengan julukan Buccaneers of the League atau Bajak Lautnya Liga.
Implemetasi Punk Football
Ideologi punk benar-benar mendarah daging di St. Pauli. Slogan Do It Yourself (DIY) juga diterapkan 'sebegitunya' oleh suporter kepada klubnya. Cerita ini bermula tahun 2004 silam, di mana St. Pauli nyaris mengalami kebangkrutan total. Presiden sebelumnya, Heniz Weisener yang merupakan seorang gay, didakwa pengadilan Hamburg bangkrut. Kemudian presiden klub berikutnya, Corny Littman, mau tak mau menjual sekitar 90 persen hak merchandise kepada perusahaan suvenir lokal, Uposlut Merchandising guna menghindarkan St. Pauli dari gulung tikar.
Suporter lantas dengan cepat memproklamirkan slogan Saufen fur St. Pauli atau Save St. Pauli. Mereka yang kebanyakan adalah pengusaha bar, penjual merchandise dari mulai kecil-kecilan seperti Jolly Roger, sampai pebisnis prostitusi setempat menaikkan tarif dagangannya mencapai 50 persen. Keuntungan lalu disumbangkan kepada klub untuk membiayai gaji pemain dan segala tetek bengeknya.
Lucunya, sekitar tahun 2010, ketika St. Pauli dianggap telah terbebas dari pailit, para suporter ini kemudian menentang kebijakan manajemen yang dianggap terlalu memaksakan komersialisasi. Padahal kucuran dana 7 juta pounds dari apparel mereka ketika itulah yang menyelamatkan St. Pauli dari kebangkrutan. Masalahnya, manajemen juga dianggap melakukan blunder dengan menaikkan harga tiket dan juga memunculkan kesan seksisme tatkala menyuguhkan penari wanita di tribune yang tujuannya tak lebih demi kepentingan sponsor semata.
Tahun 2015, 'kemenangan' fans St. Pauli bertambah ketika pengadilan memenangkan kembali hak peten logo tengkorak yang sebelumnya telah dijual ke Uposlut Merchandising. Sosok Oke Gottlich, presiden klub saat ini sekaligus entertainer bidang musik di Jerman berhasil mengembalikan senyum suporter dengan membayarkan uang sekitar 1,3 juta euro sebagai subsidi.
Kuatnya akar luhur mempertahankan nilai-nilai yang sudah menancap mantap sejak 1980-an itu lantas memunculkan istilah Againts Modern Football (AMF) atau anti sepak bola modern. Praktiknya, klub atau suporter yang menentang sepak bola modern lalu melebar menjadi anti terhadap segala sesuatu yang bisa merusak sepak bola melalui sistem kapitalisme, termasuk hak siar televisi dan lain sebagainya.
Refugees Welcome
Disadur dari ESPN FC, diprakarsai oleh media besar Jerman, Bild, serta dukungan kuat dari St. Pauli, Deutsche Fußball Liga (DFL) memutuskan untuk membuatkan wadah lewat sepak bola dengan nama Refugees Welcome, atau dalam bahasa Indonesia memiliki arti terbuka terhadap pengungsi.
Kampanye tersebut sebenarnya sudah dimulai tahun 2014 menyusul banyaknya negara-negara Eropa yang enggan menerima gelombang korban perang Suriah. Saat itu, pengungsi-pengungsi dari Suriah harus melarikan diri melalui Yunani, Italia, dan beberapa negara lain di Eropa untuk mencari suaka. Jerman, entah atas nama kemanusiaan atau ingin membayar lunas dosa mereka di masa lampau ketika partai Nazi membantai jutaan masyarakat Yahudi, secara terang-terangan siap membantu korban perang agar mendapatkan kelayakan hidup di kemudian hari, setidaknya walau cuma sesaat.
New York Times, lewat artikel khususnya pada Rabu (9/9/2015) menaruh perhatian ketika St. Pauli dan Borussia Dortmund menggelar laga persahabatan dengan mengundang imigran-imigran korban perang menonton langsung pertandingan tersebut. Ini dilakukan untuk menegaskan komitmen St. Pauli dalam membela hak-hak para pengungsi yang terlantar akibat peperangan.
Jauh sebelumnya, yakni tahun 2011 silam, St. Pauli juga menginsipirasi sebuah kelompok suporter yang berbasis di Yorkshire, Inggris, membentuk firma bernama Yorkshire St. Pauli Supporters' Group. Kegiatannya sudah tentu mengampanyekan anti diskrimansi. Firma ini lantas mendasari kelompok serupa di belahan dunia lain seperti di Brighton (Inggris), Glasgow (Skotlandia), New York (Amerika Serikat), dan Athena (Yunani).
Dari sini, akhirnya terbentuklah klub sepak bola bernama FC Lampedusa, sebuah tim yang isinya merupakan imigran-imigran korban peperangan. Yorkshire St. Pauli Supporters' Group kemudian menciptakan liga dengan nama Football For All, di mana nyaris semua kebutuhan liganya disuplai oleh St. Pauli, seperti jersey, sepatu, dan lain sebagainya.
Perlahan namun pasti, firma-firma serupa membentuk klub seperti United Glasgow FC dan AFC Unity. "Klub-klub tersebut terbuka untuk semua pengungsi berusia di atas 16 tahun dan semua orang yang peduli akan pergerakan kami. Banyak pengungsi dan pencari suaka di daerah selatan (Skotlandia) dan kami ingin mereka bersosialisasi dengan rakyat sekitar," kata juru bicara United Glasgow FC kepada commonspace.scot, Selasa (22/08/2017).
Kampanye refugees welcome terus dilakukan hingga detik ini. Selain spanduk atau banner, klub dan suporter melalui usaha merchandise juga mengeluarkan scarf atau syal khusus bertuliskan refugees welcome.