Bola.com, Jakarta - Timnas Indonesia pernah meraih medali emas SEA Games 1991 dari cabang olahraga sepak bola. Namun, itu menjadi kali terakhir Tim Garuda berhasil menjadi yang terbaik di cabang olahraga sepak bola negara-negara Asia Tenggara itu.
Kala itu, Tim Garuda diperkuat beberapa pemain-pemain muda berbakat. Timnas Indonesia tampil di SEA Games 1991 Filipina dengan memboyong 18 pemain.
Dari 18 nama yang dibawa, ada 10 pemain muda yang memiliki masa depan cerah, mulai Sudirman, Rochi Putiray, Widodo Cahyono Putro, hingga Peri Sandria.
Pelatih saat itu, Anatoli Fyodorich Polosin, memadukan pemain muda dengan beberapa pemain senior macam Robby Darwis, Hanafing, Eddy Harto, dan juga sang kapten, Ferril Raymond Hattu.
Kombinasi pemain junior dan senior itu terbukti berjalan baik. Dengan tempaan keras Polosin, Timnas Indonesia tampil impresif di SEA Games edisi ke-16 tersebut.
Meski lebih mengandalkan permainan fisik ketimbang menerapkan gaya penampilan indah, Tim Garuda mampu tampil gemilang. Timnas Indonesia tak sekalipun menelan kekalahan, dan berhasil meraih medali emas SEA Games 1991.
Ada satu di antara anggota skuad Merah-putih yang kala itu tampil brilian. Ia adalah Eddy Harto yang berdiri di bawah mistar gawang Timnas Indonesia. Atas aksi heroiknya di partai puncak, Timnas Indonesia menjadi kampiun dan menggondol medali emas.
Kiprah Eddy Harto
Sosok Eddy Harto pantas masuk dalam daftar kiper legendaris Timnas Indonesia. Pencapaian terbaiknya bersama skuad Garuda adalah meraih emas cabang sepak bola di SEA Games 1991 Filipina.
Di ajang itu, ia menjadi pahlawan setelah pada laga final yang berlangsung di Rizal Memorial Stadium, Manila, Indonesia mengalahkan Thailand via adu penalti dengan skor 4-3. Kemenangan Indonesia ditentukan oleh aksi heroik Eddy memblok tendangan penalti Pairote Pongjan.
Bagi Eddy, sukses mempersembahkan medali emas buat Indonesia itu merupakan buah dari perjalanan panjangnya menggeluti sepak bola sejak usia belasan tahun. Di mana, ia mengawalinya dengan status pemain yang tak terbina oleh sekolah sepak bola seperti sekarang.
"Dulu, kita kesulitan mencari klub. Apalagi belum ada sekolah sepak bola seperti sekarang. Jadi, kemampuan kami diasah dari latihan di lapangan kampung," kenang Eddy pada 14 September 2020.
Berawal dari Stadion Kebun Bunga
Stadion Kebun Bunga merupakan kawah candradimuka pemain-pemain terbaik Medan. Di tempat itulah kerap jadi lokasi kompetisi internal PSMS, terutama di era Perserikatan.
Sepulang dari Piala Soeratin, Eddy mendapat panggilan mengikuti pemusatan latihan tim nasional junior yang akan mengikuti ajang internasional di Filipina. Status skuad Garuda jadi pembuka jalan buat Eddy berkarier di level atas. Ia ditawari manajemen Arseto Solo, klub elit Liga sepak bola Utama (Galatama) pada 1981.
"Saya tidak langsung mendapatkan menit bermain yang banyak. Tapi, tak masalah karena usia saya memang masih 19 tahun," kata Eddy.
Eddy pun tetap fokus pada impiannya dengan mengikuti program latihan di Arseto dengan semangat. Alhasil, pelan tapi pasti, ia mulai mendapat kepercayaan mengawal gawang klub asal Kota Solo itu.
Berkat aksinya itu, nama Eddy masuk dalam tim Liga Selection yang merupakan gabungan pemain terbaik kompetisi Galatama pada 1983. Ia juga terpilih dalam skuad tim nasional Indonesia pada tahun yang sama.
Malang Melintang di Era Galatama
Ketika memperkuat Liga Selection, Eddy mendapatkan pengalaman manis dan pahit. Ia menjadi bagian tim saat menghadapi Brasil All Star di Stadion Gelora Bung Karno.
"Pada laga itu, Brasil All Star diperkuat tiga pemain timnas yang bermain di Piala Dunia 1982. Satu di antaranya adalah Eder. Di laga itu pula, saya mendapat cedera di pergelangan tangan yang membuat saya harus istirahat selama dua tahun," ungkap Eddy.
Setelah pulih, Eddy mencoba peruntungan dengan melamar ke klub Galatama lainnya, Krama Yudha Tiga Berlian.
"Saya yang menawarkan diri. Saya bilang, silakan melihat kemampuan saya selama tiga bulan. Namun, baru satu bulan, saya sudah mendapat kontrak permanen."
Bergabung di Krama Yudha membuat karier Eddy sebagai pemain kian bersinar. Ia menjadi langganan Timnas Indonesia. Di antaranya masuk skuad Pra Piala Dunia 1990. Puncaknya pada 1991, ia menjadi pahlawan timnas Indonesia di SEA Games Filipina.
Perjalanan di SEA Games 1991
Setelah mengalahkan Malaysia (2-0), Vietnam (1-0), Timnas Indonesia yang lebih banyak menurunkan pemain lapis kedua pada pertandingan ketiga kontra Filipina. Indonesia pun tertinggal 0-1 dari Filipina pada paruh pertama.
Kendati begitu, Tim Merah-Putih mampu bangkit pada paruh kedua. Suntikan semangat yang diberikan Polosin di ruang ganti mampu membawa dampak positif.
Bola hasil penalti Raymond Hattu dan gol dari striker muda Rocky Putiray, membawa Timnas Indonesia berbalik unggul dan mengunci kemenangan 2-1 atas Filipina. Indonesia melenggang ke semifinal sebagai juara Grup B dengan 9 poin dari tiga laga.
Pada fase semifinal, Tim Garuda menghadapi lawan yang tak kalah sengit. Robby Darwis dkk. bersua Singapura di Rizal Memorial Stadium, Manila, 2 Desember 1991.
Duel pun berjalan sengit sejak menit awal. Singapura yang kala itu diperkuat Fandi Ahmad dan V. Sundrammorthy, mampu merepotkan barisan belakang Timnas Indonesia.
Skor 0-0 bertahan selama 120 menit, dan penentuan pemenang harus dilakukan lewat adu penalti. Pada babak tos-tosan, Tim Garuda mampu memetik kemenangan dengan skor 4-2, dan berhak lolos ke final.