Bola.com, Jakarta - Masih teringat jelas dalam ingatan saya, bagaimana performa Timnas Indonesia U-23 di SEA Games 2005. Ajang yang berlangsung di Manila, Filipina itu adalah SEA Games pertama yang saya saksikan secara penuh dari layar kaca.
Waktu itu penulis masih berumur 11 tahun, dan duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Ada keyakinan tinggi menyertai Timnas Indonesia U-23 yang berlaga di Manila.
Tim itu ditukangi pelatih dengan nama besar, paling tidak sebagai pemain. Peter Withe adalah salah satu legenda terbesar Aston Villa.
Ia berperan memberikan satu gelar Piala Champions, atau sekarang kita kenal sebagai Liga Champions untuk klub yang berkandang di Birmingham itu.
Withe pun membawa amunisi mentereng ke SEA Games 2005. Ada deretan pemain muda berbakat yang saat itu ada di skuadnya.
Sebut saja Agus Indra Kurniawan. Ada pula pemain yang sudah mencicipi bermain di Timnas Indonesia senior seperti Mahyadi Panggabean dan Saktiawan Sinaga.
Namun, perjalanan Garuda Muda saat itu mentok di semifinal. Pada laga perebutan medali perunggu, mereka pun kembali mentok. Saat itu, Timnas Indonesia U-23 kalah 0-1 dari sang rival abadi, Malaysia.
Diketahui kemudian oleh penulis, hasil minor di SEA Games 2005 rupanya menjadi kegagalan kesekian Timnas Indonesia di ajang multi-event terbesar di Asia Tenggara itu. Medali emas terakhir yang datang dari cabang olahraga sepak bola diraih pada SEA Games 1991.
Tak Berpikir Akan Segera Berakhir
Selepas SEA Games 2005, penulis selalu mengikuti kiprah Timnas Indonesia di berbagai kelompok umur. Terutama di SEA Games, sebab ajang tersebut seperti punya magis dan tempat tersendiri bagi masyarakat sepak bola Asia Tenggara.
Namun, harapan tinggi yang diberikan Timnas Indonesia U-23 di SEA Games selalu kandas begitu saja. Terutama pada edisi 2011, 2013, dan 2019.
Pada tiga edisi SEA Games itu, Timnas Indonesia U-23 selalu kalah pada final. Lawan-lawan yang dihadapi Garuda Muda pun berbeda-beda.
Pada final edisi 2011, Timnas Indonesia U-23 kalah dari Malaysia. Thailand mengalahkan Timnas Indonesia U-23 pada edisi 2013.
Sementara itu, Vietnam menjadi kekuatan baru Asia Tenggara. Mereka mampu mengalahkan Timnas Indonesia U-23 dengan skor telak 3-0 pada final edisi 2019.
Dengan deretan kegagalan pada final itu, serta pada partai puncak di turnamen-turnamen lain, harapan untuk menyaksikan medali emas yang kembali hadir dari cabang olahraga sepak bola di SEA Games seperti sudah tidak ada lagi.
Akhirnya Berakhir
Setelah terlalu sering menyaksikan Timnas Indonesia di berbagai level umur menjadi pecundang, muncul pula kesempatan bagi penulis untuk menyaksikan Timnas Indonesia U-22 meraih medali emas di SEA Games 2023. Penderitaan selama puluhan tahun seakan berakhir begitu saja.
Apalagi ketika melihat penampilan tim asuhan Indra Sjafri sepanjang SEA Games 2023. Mereka selalu meraih kemenangan dalam enam laga yang dijalani.
Penampilan terbaik Garuda Muda terjadi pada semifinal dan final. Pada dua laga itu, Timnas Indonesia U-22 meraih kemenangan dengan cara yang luar biasa.
Pada semifinal, Timnas Indonesia U-22 mengalahkan Vietnam dengan skor 3-2. Padahal dalam laga itu, mereka harus bermain dengan 10 pemain sejak menit ke-60.
Sementara itu, pada final yang penuh drama dan pertikaian, Timnas Indonesia U-22 mampu menang besar atas Thailand dengan skor 5-2. Kemenangan yang diraih atas sang rival terberat.
Euforia Luar Biasa
Kemenangan itu pun menghadirkan euforia yang luar biasa di kalangan masyarakat pencinta sepak bola Tanah Air. Euforia itu sangat terlihat pada Jumat (19/5/2023) pagi hingga siang WIB.
Skuad Garuda Muda diarak menggunakan bus atap terbuka mengelilingi beberapa jalan utama di Jakarta. Puluhan ribu suporter setia menyapa bahkan mengawal tim asuhan Indra Sjafri itu, dari Kemenpora hingga Stadion Utama Gelora Bung Karno.
Nyanyian penuh semangat terus dikumandangkan suporter. Bahkan, sempat ada kembang api dan suar yang dinyalakan untuk menyemarakkan suasana pada hari kerja itu.
Orang tua, anak sekolah, ibu-ibu, wanita muda, dan banyak kalangan yang lain hadir memeriahkan acara arak-arakan itu. Timbul dalam benak penulis, "bagaimana bisa orang sebanyak ini meninggalkan sementara rutinitas mereka untuk sekedar mengikuti acara arak-arakan."
Bagaimana Jika Piala Dunia?
Perlu diingat, euforia sebesar itu sudah bisa diciptakan ketika Timnas Indonesia U-22 hanya menjadi juara di level kelompok umur pada tunamen regional. Bagaimana jika prestasi lebih tinggi bisa diraih, misalnya bisa lolos ke putaran final Piala Dunia.
Meski mungkin tidak akan terjadi dalam waktu dekat, atmoster di seluruh penjuru negeri akan sangat luar biasa jika itu terjadi. Parade mungkin tak akan berhenti seharian.
Lebih ekstrem lagi, mungkin akan ada hari libur khusus pada hari setelah kelolosan Timnas Indonesia ke Piala Dunia itu. Atau jika tidak ada, saya yakin banyak kantor yang akan berinisiatif memberikan libur kepada para karyawannya.
Hal serupa pernah dilakukan negara-negara lain yang sebenarnya sepak bolanya lebih kuat ketimbang Indonesia. Sebut aja apa yang dilakukan Panama ketika memastikan lolos ke putaran final Piala Dunia 2018.
Harus Ada Perubahan
Namun, kejadian-kejadian indah pada paragraf di atas sepertinya hanya akan berakhir menjadi angan-angan saja. Terutama jika tidak ada perubahan masif dalam mengurus sepak bola di negeri ini.
Terutama jika pembinaan masih dianaktirikan. Kompetisi sepak bola yang dikelola dengan amburadul. Kemudian ada aturan yang bisa dilanggar oleh pihak-pihak tertentu.
Isu pengaturan skor tak pernah bisa ditangani. Juga sikap suporter yang terkadang masih bersikap sangat berlebihan ketika tim kesayangannya menuai hasil yang tidak memuaskan.
Mimpi Piala Dunia akan tetap jauh jika hal-hal tersebut tetap terjadi. Kita hanya akan terus bangga dengan penampilan kameo di Piala Dunia 1938, di mana saat itu nama Indonesia masih belum resmi dipakai.