Bola.com, Surabaya - Persebaya Surabaya bakal melakoni lawatan ke markas PSIS Semarang. Duel pekan ketiga BRI Liga 1 2023/2024 itu bakal tersaji di Stadion Jatidiri, Semarang, Minggu (16/7/2023).
Dua tim ini sejak lama terlibat rivalitas dan pantas dilabeli El Clasico Indonesia. Maklum saja, keduanya tercatat sebagai tim yang mulai bersaing sejak era kompetisi Perserikatan. Rivalitas representasi antara Jawa Timur dan Jawa Tengah juga membumbui persaingan mereka.
Menariknya, Persebaya pernah memiliki kenangan buruk saat berjumpa PSIS dengan kalah di partai puncak. Bukan satu kali, melainkan dua kali Bajul Ijo dipermalukan oleh Laskar Mahesa Jenar.
Persebaya dan PSIS tercatat dua kali berjumpa di partai final, masing-masing di Perserikatan 1986-1987 dan Liga Indonesia 1998-1999. Semuanya dimenangi oleh PSIS Semarang dengan skor 1-0.
Kenangan Pahit
Pada 1987-1988, situasinya berbalik. Persebaya bisa membuat PSIS gagal meraih gelar dua musim beruntun. Mereka berpeluang menyingkirkan Laskar Mahesa Jenar agar tak melaju ke babak berikutnya dari penyisihan Grup Timur.
Syaratnya, Persebaya harus mengalah dari Persipura Jayapura yang bisa menggeser PSIS. Alhasil, duet pelatih Kusmahadi dan Misbach menurunkan pemain pelapis dan muda yang belum berpengalaman melawan Persipura pada 21 Februari 1988.
“Saya jadi kaptennya waktu itu, saya masih muda. Kami main apa adanya saja. Kami bukan mencetak gol ke gawang sendiri atau bunuh diri. Tapi, memang main saja seperti biasa,” kata Muharom Rusdiana, pemain Persebaya pada musim tersebut, kepada Bola.com.
Jegal Rival
Kenangan paling menyesakkan buat Persebaya terjadi pada Perserikatan 1986-1987. Saat itu, harapan masyarakat Surabaya sangat tinggi mengingat tim kebanggaannya hampir sepuluh tahun puasa gelar sejak terakhir menjadi kampiun Perserikatan 1978.
Sayang, PSIS pada akhirnya memenangi duel tersebut yang sekaligus menjadi prestasi terbaik pertama mereka dalam kompetisi kasta tertinggi. Kemenangan Laskar Mahesa Jenar itu menyakiti pihak Persebaya.
Setahun berselang, tim Bajul Ijo nampaknya dalam aroma balas dendam berusaha membuat PSIS gagal mempertahankan gelar. Di Perserikatan 1987-1988, muncul drama dan cerita, banyak yang menyebutnya sebagai “sepak bola gajah”.
0-12
Di luar dugaan, Persebaya kalah 0-12 dari Persipura Jayapura di hadapan pendukung sendiri di Stadion Gelora 10 November, Surabaya. Kekalahan ini justru menjadi sukacita bagi seluruh pihak di Persebaya.
“Suporter malah ikut bersorak. Setiap kali Persipura mencetak gol, mereka berteriak tambah terus. Tidak terasa sampai 12 gol,” imbuh Muharom.
Pada akhirnya, Persebaya menjadi juara dengan menundukkan Persija di Stadion Senayan, Jakarta.
Selain Muharom, ada beberapa pemain andalan macam Machrus Afif, Yusuf Ekodono, Subangkit, Putut Wijanarko, Ibnu Grahan, Yongki Kastanya, Maura Hally, Yusuf Mony, dll. Jangan lupakan juga Mustaqim yang saat ini menjabat asisten pelatih Persebaya.
Cikal Bakal Bonek
Di musim ini pula, mulai muncul istilah Bonek untuk sebutan suporter Persebaya. Kata akronim yang diambil dari bahasa Jawa, yakni “bondo” dan “nekat” yang berarti bermodal dan nekat.
Istilah Bonek lahir sebagai respons atas antusias dan gairah warga Surabaya dalam mendukung Persebaya. Sebab, ribuan dari mereka berbondong-bondong ke Jakarta demi menyaksikan klub idolanya menjadi juara dengan mengalahkan Persija di Jakarta.
Musim 1987-1988 menjadi kali terakhir Persebaya memenangi Perserikatan. Kompetisi itu sendiri kemudian dilebur bersama Galatama (Liga Sepak Bola Utama) menjadi Liga Indonesia (Ligina) pada 1994.
Lagi-lagi Kandas
Berikutnya, Persebaya sukses menjuarai Liga Indonesia 1996-1997 dengan Aji Santoso sebagai kaptennya. Nama-nama macam Uston Nawawi dan Bejo Sugiantoro juga termasuk skuat juara musim itu dan kini mereka masuk staf kepelatihan.
Sayang, keinginan Persebaya untuk menjuarai Liga Indonesia dua musim beruntun gagal terwujud. Liga Indonesia 1997-1998 dibatalkan karena situasi politik Indonesia yang tidak kondusif. Di musim 1998-1999, mereka kalah di final, lagi-lagi dari PSIS.