Tindakan Rasialisme Dilakukan Netizen Indonesia kepada Guinea, Pengamat: Perlu Edukasi dan Literasi!

oleh Hery Kurniawan diperbarui 10 Mei 2024, 18:30 WIB
Begitu laga dimulai, timnas Indonesia U-23 dan Guinea langsung saling beradu serangan. (MIGUEL MEDINA/AFP)

Bola.com, Jakarta - Timnas Indonesia U-23 menelan kekalahan dari Timnas Guinea U-23 dalam laga play-off Olimpiade 2024 Paris. Skuad Garuda Muda kalah 0-1 dari Guinea dalam laga di Paris, Kamis (9/5/2024) malam WIB.

Namun, ada yang lebih menyesakkan ketimbang kekalahan Timnas Indonesia U-23 dari Timnas Guinea U-23. Yakni perilaku rasialisme yang dilakukan banyak netizen Indonesia.

Advertisement

Mereka menyerang kolom komentar media sosial Federasi Sepak Bola Guinea dengan bahasa yang sangat rasis. Media sosial para pemain dari tim itu juga tak lepas dari serangan netizen.

Fajar Junaedi selaku sekretaris Lembaga Pengembangan Olahraga Pimpinan Pusat Muhammadiyah memiliki pandangan menarik mengenai fenomena itu. Sosok yang banyak meneliti fenomena sosial di sepak bola itu merasa harus ada edukasi dan literi yang diberikan.

"Di tingkat nasional Indonesia, perlu adanya edukasi dan literasi untuk mencegah rasisme di sepa kbola. Federasi sepakbola seharusnya melakukan edukasi dan literasi. Jika ada rasialisme dalam sepak bola nasional, perlu ada sanksi hukuman," ujar Fajar Junaedi kepada Bola.com

2 dari 4 halaman

Fenomena Global

Striker Real Madrid, Vinicius Junior menunjuk oknum suporter Valencia yang terus mengejeknya dengan ejekan rasis pada laga pekan ke-35 Liga Spanyol 2022/2023 di Mestalla Stadium, Valencia, Senin (22/5/2023) dini hari WIB. (AFP/Jose Jordan)

Menurut Fajar Junaedi, fenomena rasialisme tak hanya terjadi di Indonesia. Bisa dikatakan ini menjadi fenomena global.

Di Italia misalnya, Romelu Lukaku beberapa kali mengalami tindakan berbau rasialisme. Vinicus Junior di Spanyol pun demikian.

"Rasialisme dalam sepak bola tidak bisa dilepaskan dari konteks global. Di tingkat global, ada tendensi meningkatnya sayap kanan yang ultranasionalis, terutama di Eropa. Selain Eropa, di India, partai sayap kanan juga menggunakan isu serupa," jelas Fajar Junaedi.

3 dari 4 halaman

Bibit Fasisme

Jurnalis Miftahul Fahamsyah bersama dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Fajar Junaedi, merilis sebuah buku berjudul Bola Kita yang seluruh hasil penjualannya akan didonasikan untuk pasien yang terinfeksi virus corona. (Bola.com/Aditya Wany)

Rasialisme di sepak bola menurut Fajar Junaedi bisa lebih buruk lagi. Sebab, hal itu bisa menimbulkan bibit fasisme yang jauh lebih berbahaya lagi.

"Penolakan terhadap imigran adalah salah satu bukti masifnya gerakan sayap kanan. Isu inilah yang terhembus di sepak bola," ujarnya.

"Perlakuan rasialis dari suporter terhadap pemain non kulit putih menjadi dinormalisasi oleh para pendukung sayap kanan. Yang lebih buruk lagi adalah bibit fasisme," tandas sosok yang aktif menjadi dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta itu.

4 dari 4 halaman

PSSI Minta Maaf

Reaksi kecewa para pemain Timnas Indonesia U-23 usai kalah 0-1 dari Guinea U-23 pada laga play-off antar-konfederasi menuju Olimpiade Paris 2024 di Stade Pierre Pibarot, Centre National du Football de Clairefontaine, Prancis, Kamis (9/5/2024). (AFP/Miguel Medina)

Sementara itu PSSI meminta maaf kepada Federasi Sepak Bola Guinea (FGF) menyusul serangan rasis yang dilakukan fans Indonesia terhadap FGF dan sejumlah pemain timnas Guinea U-23 melalui media sosial.

Ungkapan permintaan maaf diungkap PSSI melalui akun media sosial Instagram pada Jumat (10/4/2024). Federasi sepak bola Indonesia itu menyesali tindakan suporter.

"Kepada teman kami, @feguifootofficiel dan tim sepak bola nasional Guinea. Selamat, Guinea! Kami mengirimkan dukungan kami untuk perjalanan Anda di Olimpiade Paris 2024."

Berita Terkait