Bola.com, Jakarta - Tak ada pemain Indonesia yang lebih unik dari Ferdinand Sinaga. Legenda yang kini berusia 35 tahun itu setidaknya pernah memperkuat sedikitnya 14 klub berbeda yang ada di Tanah Air, yang tersebar dari barat sampai timur Indonesia.
Putra Batak kelahiran Bengkulu, 18 September 1988, mengawali karier seniornya bersama Persibat Batang pada 2006. Dari daerah kecil di Jawa Tengah itu, Ferdinand kemudian mengembara ke sejumlah klub seperti Persikab Bandung, Pelita Jaya, PPSM Magelang, lalu Persiwa Wamena.
Petualangan sang striker terus berlanjut ke Semen Padang, Putra Samarinda, Persib Bandung, Sriwijaya FC, PSM Makassar, PSMS Medan, Persis Solo, Persebaya Surabaya, dan sejak 2023 lalu dipinjamkan Persebaya ke Persiraja Banda Aceh.
Tak hanya di eksis di klub dalam negeri, penyerang yang masih satu marga dengan Saktiawan Sinaga itu juga pernah bermain sebentar di klub Malaysia, Kelantan, pada 2018.
Di masanya, Ferdinand Sinaga merupakan bagian dari skuad Timnas Indonesia, baik di U-23 maupun di senior. Saat masih di U-23, ia menyabet medali perak sepak bola SEA Games 2011. Saat di tim senior, Ferdinand ikut mengantarkan Indonesia ke final Piala AFF 2016 namun harus puas sebagai runner-up.
Sepanjang kariernya di klub, Ferdinand pernah membawa Semen Padang juara Liga Prima Indonesia 2011/2012, Persib jura Liga Super Indonesia 2014, PSM Makassar jawara Piala Indonesia 2019, serta Persis Solo kampium Liga 2 2021.
Sebagai striker, Ferdinand juga sosok tombak mengerikan di Liga Indonesia. Ia pernah menjadi yang tersubur di Liga Prima Indonesia 2011/2012 dengan torehan 16 gol, pencetak gol terbanyak SEA Games 2014 (6), dan Pemain Terbaik Liga Super Indonesia 2014.
Dulu Menetap di Bandung, Kini Sekeluarga di Solo
Lama tak muncul ke permukaan, apa kabar Ferdinand Sinaga? Belum lama ini, ia menjadi tamu di kanal YouTube Sport77 Official. Dengan gayanya yang santai, pemain berjuluk The Dragon berbagi kisah.
"Saya sekarang stay di Solo. Anak-anak semua sekolah di Solo," kata Ferdinand membuka percakapan.
"Saya, istri, dan anak-anak sudah merasa nyaman di sana, jadi ya tinggal di sana saja," imbuhnya.
Menurut Ferdinand, meski berdarah Batak, tapi ia lahir di Bengkulu terus hijrah ke Bandar Lampung dan akhirnya menetap di Cicalengka, Bandung. "Kebetulan bapak seorang supir bis, jadi merantau ke mana-mana dan pindah ke Bandung. Saya sekolah di Bandung dan menetap dari tahun 1998," ujarnya.
Gagal Seleksi karena Enggak Bisa Beli Sepatu Bola
Lantas, dari mana darah sepak bola mengalir ke tubuh Ferdinand? "Babak sebenarnya ada juga skill sepak bola. Cuma dia sampai di (level) kecamatan dan kabupaten di Simanindo (Samosir). Kakek juga. Tapi mereka nggak sampai ke tingkat nasional," tukas Ferdinand.
Sebelum terkenal, Ferdinand pernah mengalami kegagalan. Bahkan sampai tak bisa membeli sepatu bola untuk ikut seleksi.
"Saya dulu pernah ikut seleksi di usia 9 tahun di Bandar Lampung. Itu ada namanya SSG, sekolah sepak bola gubernur. Cuma saya nggak masuk karena nggak punya sepatu sepak bola. Saya main bola pakai sepatu Warrior. Kalau sekarang seperti sepatu pramuka gitulah. Saya gagal di situ karena nggak bisa beli sepatu bola," kenang Ferdinand seraya tertawa.
Cerita pahit tersebut tak membuat mimpi Ferdinand untuk menjadi pemain sepak bola top kandas. Berkat doa dan kerja keras yang tak pernah kenal lelah, waktu akhirnya menjawab Ferdinand menjelma menjadi salah satu pemain muda berbakat di masanya.
Ia tak hanya jadi rebutan sejumlah klub beken Indonesia, tapi juga sukses menuntaskan apa yang tak bisa digapai ayah dan kakeknya yakni menjadi pemain Timnas Indonesia.