Polemik Larangan Berhijab di Olimpiade 2024: DNA Sekularisme Prancis Vs Perintah Agama dan Pelanggaran HAM

oleh Gregah Nurikhsani diperbarui 01 Agu 2024, 09:00 WIB
Petinju Australia Tina Rahimi bersiap mengikuti sesi latihan tim tinju Australia di pusat latihan Max Rousie di Paris, pada 24 Juli 2024, menjelang Olimpiade Paris 2024. (JEFF PACHOUD / AFP)

Bola.com, Jakarta - Olimpiade 2024 Paris bisa saja dianggap sebagai edisi paling kontroversial sepanjang sejarah. Beragam kontroversi sudah terpampang sejak awal pelaksanaan, mulai dari opening ceremony, Sungai Seine yang belum steril amat, hingga masalah larangan berhijab kepada atlet muslimah.

International Olympic Committee (ICO) atau Komite Olimpiade International jauh-jauh hari telah diminta untuk memberikan rekomendasi kepada pemangku kebijakan di Prancis agar larangan berhijab dicabut. Padahal, non-diskriminasi adalah satu di antara pilar Piagam Olimpiade (Olympic Charter).

Advertisement

Di situ tertulis secara blak-blakan bahwa "Olahraga adalah hak asasi manusia."

"Setiap individu harus memiliki akses terhadap olahraga, tanpa diskriminasi dalam bentuk apa pun sehubungan dengan hak asasi manusia yang diakui secara internasional dalam kewenangan Olympic Movement. Semangat Olimpiade membutuhkan saling pengertian dengan semangat persahabatan, solidaritas, dan fair play," bunyi Fundamental Principles of Olympism, butir 4, dalam Piagam Olimpiade.

Ada enam kata 'diskriminasi' dalam Piagam Olimpiade, yang semuanya merujuk pada hak setiap manusia, dalam konteks ini atlet, untuk terlibat secara utuh apapun itu terkait "ras, warna kulit, jenis kelamin, orientasi seksual, bahasa, agama, pendapat politik atau lainnya, asal usul kebangsaan atau sosial, properti, kelahiran atau status lainnya" (butir 6).

Olimpiade 2024 Paris diharapkan menjadi perayaan spektakuler, persatuan, dan keragaman budaya melalui keberagaman para atletnya. Ketika seluruh kontestan dijadwalkan berkumpul di Paris, semangat kompetisi justru bergema lebih mendalam dari sebelumnya, dengan latar belakang kontroversi sosial yang signifikan, termasuk satu isu yang sangat sensitif: larangan Perancis terhadap hijab atau jilbab.

Larangan ini, yang menyebabkan perdebatan yang lebih luas mengenai ekspresi agama dan budaya, telah memicu dialog dan introspeksi global ketika para atlet dari berbagai negara bersiap untuk berkompetisi, mewakili identitas dan nilai-nilai mereka.

Pada September 2023, Menteri Olahraga Prancis, Amelie Oudea-Castera, menyatakan bahwa pemerintah menentang pemajangan simbol agama apa pun selama acara olahraga. Ia mengungkap bahwa larangan tersebut, yang juga berlaku buat pemeluk agama selain Islam, dimaksudkan agar terciptanya netralitas. Singkatnya, Prancis ingin menegaskan statusnya sebagai negara sekuler dan liberal.

"Apa maksudnya? Itu berarti larangan terhadap segala jenis dakwah. Itu berarti netralitas mutlak dalam pelayanan publik. Atlet Prancis tidak diperbolehkan mengenakan penutup kepala," katanya kepada televisi France 3.

 

2 dari 4 halaman

Kritikan Bertubi

Perdana Menteri Prancis, Gabriel Attal, tiba untuk menghadiri upacara pembukaan Olimpiade Paris 2024 di Paris pada 26 Juli 2024, dengan latar belakang Menara Eiffel. (Ludovic MARIN / POOL / AFP)

Keputusan dan pernyataan tersebut langsung menyita perhatian dari banyak lembaga, termasuk Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Juru bicara PBB, Marta Hurtado, saat itu berbicara kepada pewarta di Jenewa bahwa tidak ada satu orang pun yang bisa melarang orang lain untuk mengenakan apapun yang ingin dikenakan.

Sekularisme di Prancis menyentuh hampir seluruh elemen. Gabriel Attal, Menteri Pendidikan, ikut mengecam hal tersebut. Sebab, murid-murid Muslimah juga dilarang mengenakan abaya ke sekolah. Abaya adalah pakaian yang menutup hampir seluruh badan dan sering dikenakan oleh murid Muslimah di berbagai negara, termasuk Prancis.

Attal meminta lembaga administratif tertinggi di Prancis untuk mencabut larangan tersebut. Namun, mereka menyatakan bahwa larangan tersebut bukanlah pelanggaran serius atau melanggar hukum terhadap kebebasan.

Dalam sebuah laporan berjudul Violations of Muslim women’s and girls’ human rights through hijab bans in sports in France, Amnesty International menyebut bukti larangan tersebut sebagai kemunafikan diskriminatif dari otoritas Prancis dan kelemahan IOC.

Amnesty International mencatat bahwa Perancis berdiri sendiri di antara negara-negara Eropa dalam membuat undang-undang yang melarang 'hiasan kepala' agama dalam undang-undang umum dan peraturan olahraga. Selain itu, larangan ini bertentangan dengan aturan organisasi olahraga internasional seperti FIFA, FIBA, dan FIVB.

Masih pada September 2023, juru bicara IOC sebetulnya mengklaim memperbolehkan atlet untuk merepresentasikan dirinya, termasuk dari sisi agama, budaya, dan negara.

"Di Olympic Village (kampung atlet), aturan IOC juga berlaku", kata juru bicara IOC kepada Reuters.

"Tidak ada batasan untuk mengenakan jilbab atau pakaian agama atau budaya lainnya."

Namun di Perancis, larangan tersebut mendapat banyak dukungan.

"Ini adalah masalah yang rumit dan sangat, sangat sensitif," kata Sebastien Maillard, praktisi politik Prancis kondang.

"Ketika saya pindah dari Paris ke London, itu adalah salah satu perbedaan utama. Di Britania Raya agama ditampilkan dengan cukup nyaman, sedangkan di Paris sering dipandang sebagai sesuatu yang lebih provokatif."

 

3 dari 4 halaman

DNA Prancis

Opening ceremony Olimpiade Paris 2024 begitu berbeda dari edisi-edisi sebelumnya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, pembukaan digelar di luar stadion. (Francois-Xavier Marit/Pool Photo via AP)

David Lappartient, presiden Komite Olimpiade Prancis, mengatakan bahwa atlet Olimpiade Prancis terikat oleh prinsip-prinsip sekuler yang berlaku bagi pekerja sektor publik di Prancis, memisahkan negara dan agama, yang mencakup larangan jilbab.

"Ini mungkin terkadang tidak dapat dimengerti di negara-negara lain di dunia, namun ini adalah bagian dari DNA kami di Perancis," katanya.

"Saya tidak ragu bahwa solusi dapat ditemukan. Kami berharap bahwa setiap orang dapat mengambil bagian dalam upacara pembukaan," ungkapnya lagi beberapa hari sebelum perhelatan opening ceremony Olimpiade 2024.

Sejatinya, tidaklah salah ketika sebuah negara menetapkan peraturan tersendiri yang berlaku untuk segala aspek. Piala Dunia 2022 di Qatar misalnya, juga menerapkan sejumlah larangan fundamental, seperti berhubungan seksual di luar nikah hingga hubungan sesama jenis.

Apalagi belakangan IOC menegaskan bahwa "Atlet akan bebas mengenakan jilbab selama jilbab tersebut sesuai dengan olahraganya dan sesuai aturan yang ditetapkan oleh Federasi Internasional (IF). Karena ini adalah masalah IF, IOC tidak memiliki hal lain untuk ditambahkan mengenai masalah ini".

Shireen Ahmed, aktivis dan kontributor senior di CBC Sports di Kanada, juga berulang kali menegaskan bahwa sekularisme adalah sesuatu yang sah-sah saja asal diterapkan secara tepat dan adil. "Masalahnya adalah itu tidak diterapkan secara merata," ujarnya seraya mencontohkan tato salib pada atlet beragama Kristiani.

 

4 dari 4 halaman

Apa Kata Atlet Muslimah?

Diaba Konate #23 dari UC Irvine Anteaters menggiring bola melawan Gonzaga Bulldogs saat bertanding di Turnamen Bola Basket Wanita NCAA di McCarthey Athletic Center pada 23 Maret 2024 di Spokane, Washington. (Steph Chambers/AFP)

Tina Rahimi, atlet tinju Australia, mengecam larangan jilbab di Prancis yang mencegah atlet Prancis yang berpartisipasi dalam olahraga tertentu di Olimpiade mengenakan 'syal kepala religius'.

"Wanita berhak memilih cara berpakaian," kata Rahimi, yang mengikuti opening ceremony Olimpiade 2024 Paris dalam postingan di Instagram. "Dengan atau tanpa jilbab. Saya memilih untuk mengenakan jilbab sebagai bagian dari agama saya dan saya bangga melakukannya."

Rahimi adalah petinju Muslim wanita pertama yang mewakili Australia di Olimpiade. Atlet berusia 28 tahun ini juga mengenakan lengan panjang dan jilbab di bawah tutup kepala pelindung dalam kompetisi.

"Anda tidak perlu memilih antara keyakinan/agama atau olahraga Anda. Inilah yang terpaksa dilakukan oleh para atlet Prancis. Tidak peduli bagaimana penampilan atau pakaian Anda, apa etnis Anda atau agama apa yang Anda anut. Kita semua bersatu untuk mencapai satu impian itu. Untuk bersaing dan menang. Tidak seorang pun harus dikecualikan. Diskriminasi tidak diterima dalam olahraga, khususnya di Olimpiade dan apa yang diperjuangkannya," kata Rahimi lagi menambahkan.

Kisah lain menimpa Diaba Konate. Memenangkan gelar pemain bertahan terbaik 2023/2024 pada NCAA college basketball Big West conference berkat catatan 7,5 poin, 2,4 rebound, dan 3,7 assist per game bersama University of California, justru tidak bisa bermain basket di negaranya sendiri, Prancis, termasuk di Olimpiade karena ia memakai hijab.

"Sangat membuat frustrasi karena dikeluarkan dari mewakili negara saya atau hanya bisa bermain bola basket hanya karena identitas agama saya sebagai seorang wanita Muslim yang memilih untuk mengenakan jilbab," kata Konaté.

"Saya tidak bisa sepenuhnya mengekspresikan iman saya dan mengejar aspirasi atletik saya."

"Sulit dipercaya, saya pikir itu lelucon," katanya tahun lalu saat hendak bermain di kompetisi basket 3x3 di Prancis, di mana ia dilarang menginjakkan kakinya di atas lapangan menyusul peraturuan dari French Basketball Federation (FFBB) yang dibuat pada 2022 mengenai penggunaan atribut keagamaan.

Pelari Prancis Sounkamba Sylla melalui media sosial beberapa hari sebelum Olimpiade 2024 dimulai, mengatakan dia tidak akan diizinkan berpartisipasi dalam upacara pembukaan karena jilbabnya.

"Anda terpilih untuk Olimpiade, yang diselenggarakan di negara Anda, tetapi Anda tidak dapat berpartisipasi dalam upacara pembukaan karena Anda mengenakan jilbab", tulis Sylla di Instagram pribadinya dinukil dari The Associated Press.

Sumber: USA Today, Sky Sports, BBC Sport, Al Jazeera, Al Mayadeen, AP