Mengenang Rudy William Keltjes: Gelandang Sekaligus Bek Istimewa Indonesia, Franz Beckenbauer-nya Era Galatama

oleh Wiwig Prayugi diperbarui 23 Okt 2024, 16:15 WIB
Rudy Ketljes (tengah), saat membela NIAC Mitra saat menjajal klub elite Inggris, Arsenal, di Stadion Gelora 10 November, Surabaya. (Istimewa)

Bola.com, Jakarta Sepak bola Indonesia berduka. Sang legenda Timnas Indonesia, Rudy William Keltjes, meninggal dunia pada Rabu (23/10/2024).

Sosok Rudy Keltjes sebagai gelandang bertahan pernah kental mewarnai perjalanan sepak bola Indonesia. Di era Galatama, Rudy Keltjes bisa disebut sebagai Franz Beckenbauer-nya Indonesia.

Advertisement

Legenda Bayern Munchen dan Timnas Jerman itu adalah bek modern pertama. Ia juga bisa berposisi sebagai gelandang.

Rudy memiliki tinggi 186 cm membuat pria kelahiran Situbondo, 12 Februari 1952 terlihat menonjol di lapangan hijau. Apalagi, ia memiliki kelebihan lewat umpannya yang terukur untuk memanjakan para striker.

Sebagai pemain pencapaian Rudy terbilang lumayan. Bersama Persebaya Surabaya, ia meraih trofi juara Perserikatan 1977 plus menjadi pemain terbaik. Pada laga final di Stadion Gelora Bung Karno, Rudy mencetak gol penentu kemenangan Persebaya atas Persija Jakarta.

"Saya mencetak gol ketiga lewat solo run dari belakang. Posisi saya saat itu adalah libero. Saya melewati tiga pemain yakni Didik Darmadi, Oyong Lisa dan Suaeb Rizal," kenang Rudy di channel Youtube Pinggir Lapangan pada tahun 2021.

2 dari 4 halaman

Awal Perjalanan

Trio Niac Mitra (dari kiri): Djoko Malis, Yudi Suryata, dan Ruddy W. Keltjes, yang empat musim beruntun sukses meraih gelar juara era Galatama. (Dok. Pribadi Yudi Suryata)

Sukses ini merupakan buah keputusan Rudy meninggalkan Situbondo menuju Surabaya pada 1975, Padahal di kampung halamannya itu, ia sudah bekerja sebagai karyawan sebuah pabrik gula.

"Saya termotivasi mengembangkan kemampuan dan mencari tantangan baru setelah mendengar dari radio pertandingan Persebaya vs Ajax. Saat itu, saya berpikir bisa menjadi bagian dari Persebaya," ungkap Rudy Keltjes.

Sejatinya, nama Rudy Keltjes sudah mulai dikenal di Jawa Timur ketika membawa Situbondo Junior menembus final Piala Soeratin 1972 sebelum takluk di tangan Persija Jakarta di Stadion Menteng.

Usai partai final, sejumlah klub elite mendekatinya, di antaranya Warna Agung, Jayakarta dan Angkasa.

"Tapi, saya memilih pulang ke Situbondo."Di Surabaya, Rudy bergabung di Suryanaga, klub internal Persebaya. Tak lama berselang, ia sudah menjadi bagian dari tim Komda Jatim beruji coba dengan klub luar negeri seperti Grasshopper (Swiss) dan kemudian memperkuat Persebaya menghadapi kompetisi Perserikatan 1997 yang ditangani J.H. Hattu dan dua asistennya, M. Basri, Mudayat.

3 dari 4 halaman

Juara bersama Persebaya

Ruddy Keltjes. (Bola.com/Gatot Susetyo)

Usai membawa Persebaya juara, Ruddy diangkat menjadi karyawan Dolog (Bulog) Jatim yang getol merekrut pemain sepak bola. Namun, Ruddy tak lama bekerja di Dolog setelah menerima tawaran Niac Mitra yang tengah bersiap berkiprah di kompetisi Galatama pada 1979.

"Saya memutuskan berhenti di Dolog karena ingin merasakan atmosfer Galatama yang disebut kompetisi tertinggi di Indonesia karena mayoritas pemain terbaik Perserikatan tampil disitu," terang Ruddy.

Bersama Niac Mitra, nama Rudy Keltjes kian menonjol dengan raihan dua tofi juara Galatama pada musim 1980-1982 dan 1982-1983. Sebelumnya, di level internasional, Niac Mitra meraih gelar pada turnamen bergengsi Aga Khan di Bangladesh pada 1979.

Di ajang ini, Rudy bersama Niac Mitra meraih trofi juara setelah mengalahkan klub asal China, Liaoning via adu penalti. Berkat penampilannya di Niac Mitra secara reguler masuk daftar panggil tim nasional Indonesia.

"Modal utama di Niac Mitra adalah kebersamaan dan semangat pantang kalah." ujar Rudy.

4 dari 4 halaman

Niac Mitra

Usai membawa Niac Mitra juara untuk kali kedua pada 1983, Rudy memutuskan hengkang ke Yanita Utama bersama rekannya, Joko Malis dan Yudi Suryata.

"Saya menerima tawaran Yanita Utama karena merasa sudah waktunya mencari uang. Saat itu, usai saya sudah 31 tahun dan lutut saya agak bermasalah," ungkap Rudy.

Di Yanita, Rudy mendapat kontrak istimewa yakni Rp15 juta dengan gaji Rp600 ribu per bulan. Nilai ini terbilang besar pada masa itu. Di Yanita, Rudy melengkapi koleksi gelarnya dengan dua trofi juara Galatama secara beruntun yakni 1984 dan 1985.

Selepas dari Yanita, Rudy kembali ke Niac Mitra menjadi mendampingi M. Basri sebagai asisten pelatih dengan trofi juara pada 1987-1988.

Berita Terkait