Bola.com, Jakarta - Legenda Timnas Indonesia, Muhammad Hanafing Ibrahim, memberikan kritik sekaligus saran bagi PSSI jika ingin berhasil melahirkan pemain-pemain muda berbakat seperti Rizky Ridho dan Marselino Ferdinan.
Saat ini, Rizky Ridho dan Marselino Ferdinan menjadi dua pemain di antara segelintir pemain lokal yang bisa bertahan di skuad Timnas Indonesia asuhan Shin Tae-yong yang dibanjiri banyak pemain-pemain naturalisasi.
Menurut Hanafing, rontoknya kepercayaan Shin Tae-yong terhadap pemain-pemain lokal memang tak bisa dilepaskan dari kualitasnya yang masih kalah jauh dengan amunisi-amunisi naturalisasi yang merasakan tempaan di Eropa.
“Makanya, yang menjadi pertanyaan ialah mengapa Shin Tae-yong lebih percaya pemain-pemain naturalisasi ketimbang pemain lokal kita? Karena pemain lokal kita masih belum teruji. Mulai dari level junior, jam terbangnya belum cukup,” ujar Hanafing kepada Bola.com beberapa waktu lalu.
Tekankan Pentingnya Kompetisi
Hanafing, yang menjadi salah satu pemain Timnas Indonesia saat meraih medali emas SEA Games 1991, menekankan pentingnya pembenahan struktur pembinaan pemain usia muda untuk melahirkan talenta-talenta berbakat.
Di level ini, butuh kompetisi berjenjang yang terstruktur dengan baik. Menurut Hanafing, model kompetisi seperti Elite Pro Academy (EPA) maupun turnamen semacam Piala Soeratin yang kini dijalankan oleh PSSI masih belum bisa dikatakan optimal
“Kita bayangkan saja, kompetisi usia muda sudah cukup belum untuk mereka? Piala Soeratin sifatnya bukan kompetisi. Elite Pro Academy juga sebelum kompetisi baru dilakukan seleksi. Bagaimana bisa bikin pemain hebat dari level junior?” ujarnya.
“Padahal, jika kita mau mencetak pemain hebat itu dimulai dari usia 17 tahun. Di usia ini, pemain sudah memasuki golden age untuk mulai mengejar prestasi. Tapi, sebelum itu, dari usia 13, 14, dan seterusnya, apakah latihannya sudah benar?” lanjutnya.
Rizky Ridho hingga Marselino Ferdinan
Pelatih asal Makassar ini pun membagikan pengalamannya bekerja sebagai Direktur Teknik EPA Persebaya Surabaya. Kompetisi internal yang digelar oleh tim asal Kota Pahlawan itu menurutnya menjadi model yang baik untuk dicontoh.
Itulah sebabnya, kata Hanafing, Persebaya bisa melahirkan pemain-pemain muda berbakat seperti Rizky Ridho hingga Marselino Ferdinan. Kedua nama ini masih bisa bertahan jadi andalan utama Shin Tae-yong meski harus bersaing dengan pemain-pemain keturunan.
“Selama pemain-pemain muda kita hanya mengikuti kompetisi EPA dan SSB yang strukturnya masih belum benar, ya jangan bermimpi bisa mendapatkan pemain berusia 17 tahun yang hebat,” ujarnya.
Saya empat tahun bertugas di Persebaya Surabaya. Kami bisa mendapatkan pemain-pemain seperti Rizky Ridho dan Marselino Ferdinan yang sekarang masih dipercaya Shin Tae-yong, itu prosesnya sangat panjang,” lanjutnya.
Selain Ridho dan Marselino, kompetisi ini memang berhasil menyuplai nama-nama mentereng langganan tim nasional seperti Evan Dimas, Hansamu Yama, Rachmat Irianto, hingga Toni Firmansyah.
Butuh Pertandingan Reguler
Lelaki yang juga bertugas sebagai Instruktur Pelatih PSSI itu mengatakan, para pemain muda membutuhkan jam terbang yang cukup sejak usia dini. Ini bisa didapatkan dari pertandingan kompetitif yang ideal dalam satu musim.
Menurutnya, model kompetisi internal Persebaya memang mengakomodasi kebutuhan itu. Sebab, sebanyak 20 klub yang berpartisipasi akan mendapatkan kesempatan bertanding sebanyak 38 kali selama semusim.
“Karena ada kompetisi internal Persebaya Surabaya ada. Diikuti 20 klub yang bertanding di kompetisi ini, mereka bermain sebanyak 38 kali dalam setiap musim. Nah itu yang harus diciptakan,” ucap dia.
“Nah, kalau Shin Tae-yong meminta pemain naturalisasi, ya menurut saya wajar. Namun, hal ini kan tidak boleh dilakukan secara terus-menerus. Harus kita benahi program pembinaan usia muda ini,” tambah Hanafing.