Bola.com, Jakarta - Di Inggris, kosakata "pelayanan" amatlah berarti. Tidak hanya dalam situasi bernegara dengan Ratu Elizabeth II sebagai simbolnya, tetapi juga soal urusan olahraga bernama sepak bola yang kian populer di sana.
Bukti nyata, lihatlah periode Boxing Day dalam seluruh tingkat kompetisi resmi Liga Inggris. Di tengah suasana Natal, jutaan suporter, terkadang bersama keluarganya, datang ke stadion-stadion demi menyaksikan tim-tim kesayangan mereka bertanding.
Hubungan antara pelayanan dan Boxing Day sudah tercipta sejak ratusan tahun silam. Sejarah mencatat, istilah Boxing Day mulai populer sekitar abad ke-19 kala Britania Raya masih dalam kuasa Ratu Victoria.
Perayaan Boxing Day awalnya dibuat sebagai apresiasi kepada masyarakat dari kasta rendah yang sudah melayani tuannya selama setahun penuh, bahkan pada hari Natal, yang biasanya dijadikan waktu berkumpul bersama keluarga.
Bentuk apresiasi tersebut berupa kotak (box) yang berisi berbagai hadiah, serta jatah libur pada 26 Desember, satu hari setelah Natal. Seiring perkembangannya, pemberian kotak-kotak hadiah itulah yang memunculkan istilah Boxing Day dalam sejarah kehidupan masyarakat Inggris.
Hadiah pun kini tidak lagi diperuntukan bagi para pelayan atau masyarakat kelas bawah, tetapi lebih universal tanpa memandang warna kulit, etnis, maupun strata sosial. Selain itu, perayaan Boxing Day juga tidak hanya terjadi di Inggris, tetapi juga negara-negara persemakmuran mereka.
Meski sudah berkembang, Boxing Day tetap mempertahankan kesakralannya, yakni terbalut dalam kehangatan Natal. Oleh karenanya, terkadang ada pula beberapa masyarakat yang memilih berdiam diri di rumah untuk sekadar menghabiskan waktu bersama-sama keluarga dan saling bertukar kado.
Di sisi lain, sektor perekonomian pun punya peran penting yang membuat tradisi Boxing Day bisa bertahan hingga era saat ini. Hal itulah yang membuat toko-toko memperpanjang aktivitas operasional dengan buka lebih pagi dan tutup hingga larut malam pada 26 Desember.
Menurut BBC edisi 26 Desember 2015, berdasar data yang dirilis dari Retail Research dan VoucherCodes.co.uk, pada periode Boxing Day 2015, di London tercatat lebih dari 22 juta orang berbelanja dengan mengeluarkan total 3,74 miliar poundsterling, naik 6 persen dari tahun sebelumnya.
Kado Sepak Bola
Terlepas dengan kegiatan berbagi dan berburu hadiah dalam aktivitas masyarakat Inggris, sepak bola juga tak ketinggalan memeriahkan Boxing Day. Menurut catatan sejarah, jauh sebelum era sepak bola modern, laga pertama Boxing Day tercipta pada 26 Desember 1860 antara Sheffield FC melawan Hallam FC, di Sandygate Road.
Sally Mitchell dalam karyanya Daily Life in Victorian England (1996) menuliskan, sejak era 1800-an, Inggris sudah mulai merancang pembentukan organisasi resmi olahraga agar bersifat profesional. Kala itu, sepak bola sudah ada di hati masyarakat Inggris yang terkadang memainkannya saat ada istirahat kerja atau libur.
Rentang 1840 hingga 1860, standarisasi kemudian mulai diberlakukan. Setiap sekolah diminta memiliki seragam-seragam khusus agar dapat saling bertanding satu sama lain. Pada 1863, Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA) pun terbentuk, seiring kemunculan klub-klub profesional hingga pembentukan Football League pada 1888.
Menariknya, inaugurasi musim pertama Football League juga dilaksanakan pada periode Boxing Day, yakni 26 Desember 1888, yang mempertandingkan laga Preston North End melawan West Bromwich Albion. Pertanyaannya, mengapa FA menggelar acara penting tersebut pada periode Boxing Day?
Dalam The Victorian Football Miscellany (2013) karya Paul Brown, dijelaskan, pada periode 1880-an, masyarakat Inggris, khususnya yang berada di strata pekerja, menganggap perayaan Natal adalah liburan yang sangat langka, sedangkan sepak bola kala itu merupakan salah satu hiburan yang tersedia bagi mereka.
Oleh karenanya, ketimbang harus mendengarkan pidato ratu dari radio atau televisi, beberapa masyarakat Inggris biasanya lebih memilih mengenakan jaket musim dingin dan topi Santa Claus lalu keluar rumah untuk bercengkerama bersama keluarga atau rekan mereka, sembari menyaksikan pertandingan sepak bola.
Aktivitas tersebut kemudian menjadi tradisi yang melekat dalam kehidupan masyarakat Inggris setiap memasuki periode akhir tahun. Pada saat Football League dihentikan karena sedang terjadi Perang Dunia I, kemeriahan sepak bola pada masa Boxing Day tidak hilang.
Bahkan, sempat terjadi momen menarik kala tentara Jerman dan Inggris Raya yang saling berperang "menghentikan" gencatan senjata untuk merayakan Natal sembari bermain sepak bola pada 1914. Peristiwa tersebut dikenal sebagai Christmas Truce of 1914.
"Itu adalah perayaan Natal yang paling aneh yang pernah kami lihat," ujar CI Stockwell, salah satu saksi hidup yang kala itu berstatus sebagai kapten pasukan Royal Welsh Fusillers, seperti dilansir The Guardian edisi 24 Desember 2014.
Christmas Truce of 1914 serta kegiatan masyarakat Inggris merayakan Natal pada akhirnya kian mengentalkan harmonisasi antara sepak bola dan Boxing Day. Sejak saat itu, tradisi Boxing Day dalam dunia sepak bola menjadi yang paling ditunggu-tunggu masyarakat Inggris.
Perayaan Dilematis
Meski merupakan sesuatu yang ditunggu-tunggu, pagelaran sepak bola pada periode Boxing Day di Inggris Raya bukan tanpa masalah. Salah satu contoh adalah persoalan cuaca. Bertanding dengan tensi tinggi di tengah udara musim dingin tentu membutuhkan daya tahan tubuh luar biasa.
Pada 1909, James Main, bek asal Skotlandia, mengalami cedera fatal yang berujung kematian saat membela Hibernian dalam laga Boxing Day melawan Patrick Thistle, di Firhill Stadium.
Menurut Hibernian Historical Trust, James Main mengalami cedera parah setelah perutnya tidak sengaja tertendang pemain Patrick Thistle, Frank Branscombe, yang terjatuh akibat kondisi lapangan licin tertutup salju.
Setelah pertandingan berakhir 1-3 untuk kemenangan lawan, James Main sempat pulang ke rumah. Satu hari berselang, karena mengalami sakit pada bagian perut James Main dibawa ke Edinburgh Royal Infirmary dan menghembuskan nafas terakhir di sana pada 29 Desember 1909 dalam usia 23 tahun.
Tragedi yang dialami James Main merupakan salah satu contoh potret buram perayaan Boxing Day jika dikaitkan dengan urusan sepak bola. Seiring perkembangan teknologi dan berbagai revisi peraturan federasi sepak bola, kini masalah tersebut beralih ke persoalan jadwal padat para klub-klub peserta liga.
"Saya tentu saja tak menyukai Boxing Day karena tak baik untuk pemain jika kembali bermain selang istirahat selama dua hari. Kami juga memiliki keluarga yang tidak bisa kami temui saat perayaan Natal," keluh Louis van Gaal ketika masih menjadi manajer Manchester United, menjelang laga Boxing Day 2015.
Berbeda dengan Van Gaal, Antonio Conte, yang pada musim 2016-2017 mulai mengarsiteki Chelsea, justru punya jawaban yang diplomatis soal Boxing Day. Pria asal Italia itu mengaku penasaran dengan tradisi di Inggris tersebut.
"Saya penasaran dengan Boxing Day karena ini menjadi pertama kalinya tim yang saya latih bermain pada Natal dan Tahun Baru. Saya sangat tertarik untuk mengetahui hal itu," ujar Conte.
Ketertarikan Antonio Conte tersebut bisa jadi karena dia belum pernah berkarier di Inggris. Toh, sejatinya, periode Boxing Day tentu akan menjadi tantangan tersendiri bagi para manajer klub-klub Inggris yang harus mencari cara bagaimana menjaga kondisi para pemainnya agar tetap bugar bermain dengan jadwal sangat padat.
Melihat fakta di atas, terlepas dari berbagai masalah dan kritikan, periode Boxing Day kiranya justru bakal mengembalikkan sepak bola ke khitah, yaitu sebagai hiburan menyenangkan bagi para suporter mereka.
Tanpa suporter, sepak bola tidak akan ada. Demikian juga sebaliknya. Hubungan kedua hal itu pun kian terasa spesial karena terharmonisasi dengan nuansa Natal, yang dianggap sebagai perayaan "langka" bagi masyarakat kelas pekerja di Inggris Raya sejak era Ratu Victoria.
"Bagi banyak orang Natal adalah waktu berkumpul bersama. Akan tetapi, beberapa orang lain harus memprioritaskan pelayanannya," - Ratu Elizabeth II.
Sumber: Berbagai sumber