Bola.com, Jakarta - Kesuksesan mustahil digapai dengan cara instan. Butu kerja keras hingga semangat juang kuat bagai baja agar meraih sesuatu yang diidamkan. Filosofi itu kiranya merupakan jalan hidup legenda sepak bola nasional, Alexander Pulalo.
Advertisement
Baca Juga
Bagi pencinta sepak bola nasional, Alex adalah sosok familiar. Putra tanah Papua itu punya atribut lengkap sebagai bek sayap kiri ketika masih aktif mengolah si kulit bulat.
Cepat, taktis, dan bertenaga, merupakan sejumlah kemampuan yang dimiliki Alex. Bakat alami membuatnya jadi rebutan klub-klub papan atas Indonesia. Sepanjang kariernya, dia pernah berseragam Semen Padang, PSM Makassar, Persija Jakarta, Persib Bandung, hingga Arema Malang.
Bersama Arema, sosok kelahiran Jayapura itu baru mengukir kesukesan. Alex berhasil menyabet dua gelar Piala Indonesia musim 2005 dan 2007 dengan tim Singo Edan.
Alex bahkan hidup berkecukupan sewaktu membela Arema karena mengantongi gaji sekitar Rp 40 juta per bulan. Itu merupakan angka fantastis jika berkaca dari penghasilan mayoritas publik Tanah Air.
Kemampuan Alex tak ayal menjadikannya langganan tim nasional. Dia pun merupakan bagian dari timnas Primavera Indonesia yang menjalani latihan di Genoa, Italia, 1993.
Akan tetapi, karier cemerlang yang dikuir Alex tak semudah membalik telapak tangan. Jalan terjal menuju suksesnya pun sudah dimulai ketika menginjak usia 12 tahun.
Pada 1985, Alex merupakan penggawa sebuah klub kecil di Papua. Ia mencoba meraih peruntungan dengan mengikuti berbagai turnamen Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) tingkat Kabupaten.
Hidup Alex pun memprihatinkan pada masa tersebut. Dia mengatakan harus menumpang ke berbagai truk agar bisa sampai ke lokasi latihan atau tempat yang dituju.
Meski mengalami kondisi sulit, sosok kelahiran 1973 itu tidak menyerah dan terus berlatih. Alex kemudian mengantarkan klub yang dibelanya masuk penyisihan tingkat provinsi untuk bertanding ke Jakarta. Pada akhirnya, dia berhasil melalui semua tahapan itu dengan menyabet juara kedua di turnamen KNPI.
Potensi Alex tercium seorang pencari bakat sepak bola nasional era 1990-an, Edi Santoso. Alex kemudian masuk pembinaan Sekolah Sepak Bola (SSB) PSSI, di Ragunan, Jakarta Selatan.
Alex semakin berkembang setelah masuk SSB Ragunan. Dia pun menjadi andalan timnas U-16 yang tampil di beberapa turnamen internasional. Namanya kian meroket ketika dipromosikan ke U-19 yang diproyeksikan berlaga di pra Piala Dunia dan Piala Asia.
Kisah hidup Alexander Pulalo bisa menjadi inspirasi bagi seluruh atlet yang akan berlaga di Asian Games 2018. Tim redaksi Bola.com pun berkesempatan mewawancarai sang legenda untuk menceritakan berbagai pengalamannya. Berikut ini adalah penjabarannya.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Tekad Baja
Apa kendala Anda sewaktu merintis karier di dunia sepak bola?
Ketika itu, saya mencari jalan sendiri untuk bisa menjadi pemain sepak bola profesional. Saya selalu ikut latihan ke manapun. Dulu itu tidak banyak SSB (sekolah sepak bola) seperti sekarang. Walaupun berdomisili di Jakarta, masih jarang ada SSB pada masa saya. Jadi saya sendiri yang mencari peruntungan ke setiap tempat.
Bagaimana mengenai masalah biaya?
Dulu waktu masih di daerah, saya memakai uang pribadi. Saya terkadang menumpang ke truk ketika mau menuju tempat latihan pada masa itu. Saya selalu berusaha keras. Namun, pada akhirnya biaya hidup saya ditanggung oleh PSSI ketika tiba di Jakarta.
Bagaimana ceritanya Anda menjalani karier sepak bola pertama?
Saya dianggap sudah memiliki bakat sewaktu masih menjalani pendidikan di Ragunan. Prestasi saya sudah mulai bagus. Saya selalu masuk seleksi Timnas Indonesia U-16 dan U-19.
Setelah tamat dari Ragunan, saya langsung dikontrak Semen Padang. Namun, sewaktu kelas tiga di sekolah Ragunan, saya sudah prakontrak dengan Semen Padang. Mereka gaji saya di sekolah Ragunan. Mungkin diibaratkan uang saku kali ya, yaitu sebesar Rp 300 ribi.
Pengalaman terindah selama menjalani karier sebagai pesepak bola?
Pengalaman paling bahagia mungkin ketika membela Arema. Itu dikarenakan saya bisa menjadi juara di Copa Indonesia selama dua musim berturut-turut di sana. Pada musim pertama, kami jumpa Persija di final. Kemudian, melawan Persipura pada final musim berikutnya.
Di mana titik tertinggi Anda sebagai seorang pesepak bola?
Puncak karier saya bersama Timnas Indonesia di Piala Asia tahun 2007. Sebuah momen membanggakan bisa bertanding di hadapan pencinta sepak bola Tanah Air. Sayang kami gagal lolos ke fase knock-out, karena kalah dari Arab Saudi (1-2) dan Korea Selatan (0-1). Padahal, ketika melawan Bahrain kami sudah bisa menang 2-1.
Advertisement
Arti Kemenangan
Apa arti kemenangan menurut Anda?
Menurut saya kemenangan dari kita sendiri, terutama motivasi. Kita harus semaksimal mungkin. Arti kemenangan tidak hanya sekedar trofi dan gelar juara. Jadi harus punya semangat motivasi dari diri sendiri, baru kemudian ke tim. Kita juga harus menyemangati teman-teman yang lain.
Bagaimana perbedaan atlet dulu dengan sekarang?
Atlet dulu peralatan seadanya. Kalo sekarang semua komplit. Seharusnya prestasi lebih bagus sekarang. Namun, kenyataanya tidak demikian. Kita saja dengan negara tetangga tidak bisa bersaing. Pada masa saya, mungkin lawan terberat adalah Korea dan Jepang. Atlet-atlet sekarang memiliki masalah mental.
Bagaimana pandangan Anda mengenai Timnas Indonesia U-23 di Asian Games nanti?
Saya melihat Timnas U-23 mengalami perkembangan. Namun, saya tetap berpesan kepada mereka untuk tidak egois. Saya ingin mereka bekerja sama secara tim, tidak bermain individu. Permainan Indonesia sudah bagus. Menurut saya, target semifinal mungkin bisa tercapai di Asian Games nanti.
Apa hal yang perlu ditingkatkan di Timnas Indonesia U-23 saat berlaga di Asian Games?
Ketika saya melihat permainan mereka, Indonesia U-23 sudah bagus. Mungkin yang perlu ditingkatkan adalah kedisiplinan. Meski hanya menerapkan pelatnas jangka pendek, tetapi gaya permainan Milla sudah terlihat.
Siapa kunci permainan Timnas Indonesia U-23 yang bisa menjadi pembeda saat Asian Games 2018?
Kunci permainan timnas di Asian Games nanti ada di area gelandang. Mereka yang mengatur ritme permainan.
Winger juga harus aktif dalam membantu penyerang. Penyerang juga harus memiliki naluri haus gol, mengingat penyerang sekarang masih kurang naluri golnya. Menurut saya, permainan mereka kurang efektif dan sulit memanfaatkan peluang. Namun, dari segi permainan, gaya mereka sudah bagus untuk mengacak-ngacak area pertahanan.