Sukses


    Abdul Rojak, Pahit dan Manis saat Toreh Prestasi di Asian Games 1986

    Bola.com, Bogor - Keputusan merantau dari Tanah Papua ke Pulau Jawa saat berusia 13 tahun telah mengantar Abdul Rojak menjadi atlet yang membanggakan bagi Indonesia. Asian Games 1986 menjadi pencapaian terbaik yang sedikit disisipi penyesalan.

    Piagam penghargaan menggantung di dinding ruang tamu kediaman Abdul Rojak di kawasan Cibinong, Kabupaten Bogor. Di piagam penghargaan tersebut tertulis rekor taekwondo Indonesia diberikan kepada Abdul Rojak Kamisopa karena keberhasilan menjadi peraih medali perak pertama di kelas bantam di Asian Games X Seoul, Korea Selatan, pada 1986.

    Penghargaan itu menggantung bersama foto dirinya ketika masih muda. Di foto tersebut Abdul Rojak mengenakan baju taekwondo dan medali perak yang menggantung di lehernya. Penghargaan itu kini menjadi satu-satunya yang dipajang di ruang tamu bersama sejumlah piala dan medali milik anak-anaknya.

    Kisah pada Asian Games 1986 terus dikenangnya hingga kini. Bahkan, Abdul Rojak menyatakan Asian Games 1986 merupakan pengalaman terbaiknya selama menjadi atlet taekwondo.

    "Pengalaman terbesar yang saya ingat ya Asian Games 1986 itu. Saat itu saya tidak menyangka akan sampai ke final. Pertama saya bertemu atlet Kuwait yang berpostur tinggi. Ia kalah dari saya. Kemudian saya bertemu atlet Qatar dan dia juga saya kalahkan," kenang Abdul Rojak.

    Foto kenangan Abdul Rojak saat dirinya meraih medali pada SEA Games 1991. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

    "Di semifinal saya bertemu atlet Yordania yang baru saja mengalahkan taekwondoin dari Korea Selatan. Saya berpikir dia pasti hebat karena bisa mengalahkan orang Korea dan saya merasa peluang saya tipis. Namun, di situ yang menarik, semua pendukung di Korea memberikan dukungan kepada saya untuk membalas kekalahan atlet mereka dari Yordania. Satu gedung meneriakkan 'Indonesia' dan itu membuat saya semakin bersemangat," lanjutnya.

    Melalui pertarungan ketat dengan taekwondoin asal Yordania, Tareq Lababidi, akhirnya Abdul Rojak berhasil melangkah ke pertarungan final. "Saat meraih kemenangan, saya sampai digotong pendukung-pendukung Korea," kenangnya lagi.

    Namun, pil pahit dialami Abdul Rojak di partai puncak. Pria yang kini masih aktif di taekwondo sebagai pelatih di daerah pemukimannya itu, mengaku seperti berada di atas angin ketika menghadapi atlet Iran, Ebrahim Ghaderi, di final. Namun, kepercayaan diri berlebih itu membuatnya terjatuh dan merasakan penyesalan besar.

    "Saya bertemu atlet Iran di final. Strategi pelatih saya ikuti semua dan dia mengatakan saya sudah pasti menang dan meminta saya untuk bermain aman karena sudah unggul poin."

    "Saya pun memiliki keyakinan untuk menang dan akhirnya saya dengan polos melakukan serangan. Namun, dia justru melakukan tendangan putar yang mengenai wajah saya. Akhirnya saya kalah. Saya menangis sampai di penginapan."

    "Itulah pengalaman terbesar dalam karier saya di taekwondo. Dari pengalaman itu saya belajar bahwa seorang pelatih itu memiliki pengaruh besar yang harus kita ikuti jika ingin sukses. Ia yang melihat dari luar dan tahu bagaimana kondisi kita maupun lawan," ungkap Abdul Rojak.

    Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)

    2 dari 4 halaman

    Taekwondo Terus Melekat dalam Kehidupan

    Gagal menang di final kelas bantam Taekwondo Asian Games 1986 mungkin menjadi penyesalan seumur hidup bagi Abdul Rojak. Namun, momen tersebut juga masih menjadi yang terbaik baginya. Medali perak Asian Games 1986 merupakan satu dari sekian banyak prestasi yang diraihnya di arena taekwondo.

    Sejak merantau dari Sorong ke Jakarta pada 1980, Abdul Rojak benar-benar serius dengan tekadnya menjadi atlet taekwondo. Sudah mengenal olahraga bela diri itu sejak 1978, Abdul Rojak memutuskan meninggalkan bangku sekolah dan meminta restu orang tua untuk mengadu nasib di Ibu Kota.

    Hanya empat tahun di Jakarta, Abdul Rojak langsung masuk pelatnas taekwondo Indonesia. Itu tak lepas dari keberhasilan Abdul Rojak meraih medali emas di Kejuaraan Nasional Taekwondo 1984. Kejuaraan di Darwin, Australia, pada 1985 menjadi event internasional perdananya sebelum medali pertama di Nepal. Abdul Rojak meraih merengkuh perunggu di Nepal Terbuka 1986.

    Setelah meraih medali perak Asian Games 1986, Abdul Rojak terus menorehkan prestasi, antara lain medali emas Kejuaraan Nasional Taekwondo dan SEA Games 1987 Jakarta. Selanjutnya dia mengoleksi medali perunggu SEA Games 1989 di Kuala Lumpur. Medali Emas Kejuaran Nasional Taekwondo dan Perak SEA Games 1991 Manila menjadi dua medali terakhir yang diraihnya.

    "Saya sudah berpikir sejak akan berangkat ke Manila, berhasil atau tidak saya akan mundur sebagai atlet. Namun, saya masih dipanggil pada 1993 karena pelatih masih percaya kepada saya. Namun, setelah itu saya mundur," ujar Abdul Rojak mengenai keputusannya mengakhiri karier sebagai atlet.

    "Waktu itu saya sudah memiliki anak pertama, tepatnya ketika saya masih ikut pelatnas. Ketika anak saya lahir, saya tidak ada karena persiapan untuk berangkat ke Korea. Sampai ketika anak saya berusia delapan bulan, dia tidak mau saya gendong karena mungkin tidak merasa mengenal saya. Saat itu saya merasa sudah waktunya untuk menghabiskan lebih banyak waktu bersama keluarga," lanjut dia soal pertimbangan yang membuatnya pensiun pada usia 26 tahun.

    Dengan penuh semangat, Abdul Rojak melatih anak-anak berlatih karate. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

    Berhenti menjadi atlet tak lantas membuat Abdul Rojak meninggalkan taekwondo yang telah mengubah kehidupannya. Ia mulai menjadi pelatih di Universitas Trisakti. Bahkan, ketika melatih di universitas tersebut, banyak atlet pelatda DKI Jakarta meminta dilatih olehnya di perguruan tinggi itu.

    Abdul Rojak juga menerima pinangan dari Universitas Budi Luhur yang kemudian berkat sarannya membuka beasiswa bagi atlet-atlet berprestasi. "Saya dipanggil oleh rektor untuk memberikan rekomendasi agar atlet taekwondo nasional bisa mendapatkan beasiswa di sana. Akhirnya Budi Luhur mulai memiliki banyak atlet-atlet taekwondo tingkat nasional," kisahnya.

    Melalui bantuan dari Menteri Pemuda dan Olahraga, Adhyaksa Dault, Abdul Rojak mendapatkan rumah di kawasan Cibinong pada 2007. Jarak yang cukup jauh antara Jakarta dan Cibinong membuatnya meninggalkan pekerjaannya sebagai pelatih di Budi Luhur.

    Bak gayung bersambut, kepindahan Abdul Rojak ke Bogor tak menutup rezekinya dari taekwondo. Ia tetap mendapatkan kepercayaan menjadi pelatih. Hingga kini Abdul Rojak membantu anak-anak usia dini hingga senior berlatih tak jauh dari rumahnya.

    "Aktivitas saya sekarang ya hanya melatih tidak jauh dari rumah setiap sore. Bersyukur karena orang tua anak-anak itu tetap memberi kepercayaan kepada saya untuk menjadi pelatih," ujarnya.

    3 dari 4 halaman

    Arti Kemenangan dalam Hidup Abdul Rojak

    Menjadi seorang pemenang atau menjadi juara di arena pertandingan sudah sering dirasakan Abdul Rojak. Momen penyesalan juga pernah menghampirinya. Meski sudah pensiun, perjuangan Abdul Rojak belum selesai. Masih ada kehidupan yang terus diperjuangkannya. 

    Merantau sejak usia 13 tahun membuat Abdul Rojak tahu bagaimana rasanya khawatir karena mempertaruhkan hidupnya sejak masih berusia sekolah. Berhasil mewujudkan mimpinya menjadi taekwondo yang berprestasi juga berhasil dibuktikannya

    "Saya bersyukur tujuan saya datang dari Papua ke sini ya karena taekwondo. Saya tidak menjadi gelandangan di sini dan yang namanya merantau ada kemungkinan gagal. Pesan orang tua saya harus bisa jaga diri dan itu yang selalu saya ingat," ujarnya.

    Kemenangan terbesar dalam Abdul Rojak justru hadir setelah tak lagi menjadi atlet. Mengandalkan keahliannya menjadi pelatih taekwondo, yang didukung keuletan sang istri, Hepi Mandar, yang membantunya bekerja mengantar anak-anak di lingkungan sekitarnya untuk berangkat dan pulang sekolah, Abdul Rojak berhasil menyekolahkan anak-anaknya hingga memiliki pendidikan yang jauh lebih baik daripada dirinya.

    Ketika meninggalkan bangku sekolah pada usia 13 tahun dan merantau ke Jakarta, Abdul Rojak tak menganggap pendidikan itu penting. "Bagi saya yang penting saat itu adalah bisa membaca dan menulis," ujarnya sembari tertawa.

    Abdul Rojak banyak menghabiskan waktu bersama sang isteri dalam kesehariannya.  (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

    Namun, Rojak ingin anak-anaknya mengenyam pendidikan tinggi. Putra pertama dan keduanya kini telah bekerja. Fahmi Januar Kamisopa, putra keduanya, berhasil menyelesaikan pendidikan dengan predikat Sarjana Keolahragaan. Kini Abdul Rojak tinggal memastikan putri bungsunya, Fahira Febriana Kamisopa, bisa menyelesaikan pendidikan setelah berhasil masuk Universitas Negeri Jakarta melalui jalur prestasi.

    "Saya bersama istri selalu berpikir boleh kami terbatas soal pendidikan, tapi anak-anak harus sukses semua. Jadi orang lain tidak akan melihat kami dari sisi negatif. Terserah mereka mau menilai seperti apa, tapi bagi kami yang penting adalah tetap semangat membuat anak-anak meraih kesuksesan. Rezeki selalu ada dari Tuhan, jika kita punya niat baik untuk anak-anak, rezeki itu pasti datang," ujarnya.

    "Saya sangat bangga karena anak-anak saya bisa berhasil. Sebagai orang tua, saya melihat kalau anak belum sukses tentu tidak bisa merasa puas. Alhamdullilah sekarang sudah ada yang sarjana, dan yang terakhir sudah masuk kuliah di UNJ," lanjutnya sembari tersenyum.

    Memastikan ketiga anaknya meraih kesuksesan merupakan kemenangan yang sesungguhnya bagi Abdul Rojak. 

    "Kalau saya dikasih umur panjang, saya tentu ingin melihat semua anak-anak saya menjadi sukses. Saat ini saya hanya orang tua yang berharap anak-anak saya bisa berhasil," tegasnya.

     

     

     

    4 dari 4 halaman

    Dukung Taekwondo Indonesia di Asian Games 2018

    Momen Asian Games 2018 menjadi sangat istimewa bagi Abdul Rojak. Menurutnya, pesta olahraga yang digelar di Jakarta dan Palembang itu menjadi kesempatan yang sangat spesial bagi kontingen Indonesia, termasuk di cabang taekwondo, untuk meraih prestasi setinggi-tingginya.

    Taekwondo Indonesia mempersiapkan 19 atlet, terdiri atas delapan taekwondoin poomsae (seni), dan 11 atlet untuk kategori kyorugi (tarung). Sejumlah persiapan telah dilakukan, termasuk berlatih di Korea Selatan yang menjadi rutinitas kontingen Indonesia.

    Abdul Rojak mengaku masih mengikuti perkembangan taekwondo di Indonesia. Menurutnya, taekwondo masih menjadi cabang bela diri yang sangat digandrungi di Indonesia dan memiliki atlet level nasional yang cukup membeludak.

    Ayah dari tiga anak ini merasa optimistis dan berdoa agar para atlet taekwondo Indonesia bisa meraih prestasi terbaik di Asian Games 2018. Memprediksi kategori poomsae akan lebih berpotensi meraih emas, mantan taekwondoin kyorugi untuk kelas bantam itu juga yakin Indonesia bisa meraih emas dari kedua kategori yang ada.

    Karateka legendaris Indonesia, Abdul Rojak, menghabiskan mas tua dengan menjadi pelatih karate. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

    "Semoga tahun ini semua bisa menjadi lebih baik untuk taekwondo Indonesia. Saya berdoa mereka semua berhasil di Asian Games ini. Mereka tetap harus berhati-hati karena taekwondoin asal negara-negara Timur Tengah juga banyak yang bagus dan memiliki postur tubuh yang lebih mendukung," ujar Abdul Rojak.

    "Saya rasa poomsae bisa bagus di Asian Games 2018. Kalau Kyorugi saya melihatnya masih 50-50 karena untuk kyorugi akan tergantung kepada pertarungan itu sendiri. Satu hal yang penting, kita harus berusaha mendapatkan emas," tegasnya.

    Abdul Rojak, yang baru-baru ini juga menjadi satu dari sekian banyak mantan atlet yang membawa obor Asian Games 2018, mengaku akan datang langsung untuk menyaksikan pertandingan taekwondo di Asian Games 2018 nanti. "Apa pun eventnya, selama saya bisa datang saya akan datang karena saya bisa melihat perkembangan atlet kita di sana," ujarnya.

     

     

    Video Populer

    Foto Populer