Jakarta - Si kembar, Lena dan Leni, merupakan dua atlet andalan Indonesia di cabang olahraga sepak takraw pada ajang Asian Games 2018. Namun, sebelum menjadi seperti sekarang, Lena dan Leni harus memulainya dari bawah.
Advertisement
Baca Juga
Untuk menghadapi Asian Games ke-18, kedua perempuan asal Indramayu ini, giat berlatih. Apalagi, Lena dan Leni ingin memberikan prestasi yang terbaik untuk Indonesia.
Namanya pasangan kembar, Lena dan Leni selalu tampil kompak sebelum dan saat latihan. Bahkan, lantaran kedua wajah perempuan ini amat identik, tak jarang orang selalu ragu yang mana Lena atau Leni.
Namun, yang menarik lagi, ternyata mereka ikut sepak takraw karena "terpaksa". Sebelum menjadi atlet, kehidupan Lena dan Leni jauh dari menggembirakan.
Seperti dikutip dari laman Kemenpora, ayahnya, Surtina, hanyalah seorang buruh tani. Sementara itu sang ibu, Toniah, sehari-hari adalah ibu rumah tangga.
Kehidupan ekonomi keluarga Lena-Leni sangat jauh dari berkecukupan. Bahkan, si kembar ini pernah dibujuk orangtuanya agar jadi TKW daripada melanjutkan sekolah. Lena dan Leni kompak menolak. Mereka punya prinsip bahwa pendidikan tetap yang utama.
Masalah biaya memang jadi kendala, tapi Lena dan Leni menutupinya dengan jadi buruh cuci. Mereka rela mencuci piring di kantin SMP demi uang saku.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Jalan Hidup
Ketika sudah lulus dan akan melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah atas, Lena dan Leni dihadapkan pada permasalahan yang sama: biaya pendidikan. Di sinilah pertama kalinya sepak takraw mengubah jalan hidup si kembar.
"Pengen sekolah sampai SMA jadi ikut sepak takraw, soalnya di SMA itu atlet-atlet takraw digratiskan sekolahnya jadi kami pun ikut. Kebetulan pelatih juga tahu kami ada bakat jadi Alhamdulillah bisa sampai sekarang," kata Lena.
Si kembar boleh jadi beruntung karena dapat bersekolah tanpa biaya berkat sepak takraw. Namun biaya yang ditanggung hanya iuran bulanan.
Peralatan untuk sekolah dan latihan, para siswa harus punya masing-masing. Lena dan Leni tak kehabisan akal. Beruntung mereka bertetangga dengan pemilik pengepul barang bekas.
Mereka tahu betul jadwal kegiatan di sana. Jika ada barang bekas yang tidak dapat diolah, biasanya si tetangga membuang barang-barang tersebut di dekat tanggul sungai.
Di sini, Lena dan Leni rela mengais sampah demi mendapat sepatu bekas yang menurut standar mereka masih layak digunakan. Mau tidak mau, suka tidak suka, Lena-Leni harus mempelajari olahraga sepak takraw.
"Tetangga itu ada yang bos rongsokan, jadi jika ada barang yang tidak bisa dijual atau tidak laku pasti dibuang ke tanggul sungai. Kalau pagi kami mencari di situ. Jika ada sepatu yang sepasang kami ambil buat sekolah dan latihan," paapar Leni.
Advertisement
Berbagai Kejuaraan
Mereka pertama kali mempelajarinya pada 2006. Beberapa kejuaraan mereka ikuti mulai dari kejuaraan antarpelajar, antardaerah, hingga pekan olahraga daerah.
Hingga pada 2007, Lena dan Leni diboyong dari Indramayu ke Ibu Kota untuk mengikuti seleksi nasional. Mereka akhirnya secara resmi menyandang status atlet nasional di tahun yang sama dan wajib mengikuti pelatnas.
Terhitung sejak 2007, sudah banyak prestasi yang diraih untuk merah-putih. Dari medali perunggu Asian Games 2014 di Incheon, hingga meraih medali emas di King’s Cup (turnamen paling bergengsi sepak takraw) pada 2016.
Kini, si kembar mengaku siap bertanding di ajang Asian Games 2018. Mereka sangat antusias dan sudah tidak sabar menyepak bola berbahan dasar rotan itu di atas lapangan.
"Kami siap tempur dan siap bertanding. Jika besok pun bertanding kami sudah siap, karena sudah dibekali semua untuk bermain," ujar Lena.
"Dari teknik, skill, fisik, dan mental semuanya sudah siap. Pokoknya siap untuk bermain, malahan kami ingin bisa secepatnya bertanding," lanjut Lena.