Bola.com, Jakarta - Kerutan dahi Filippo Inzaghi terpantau jelas saat kameramen menyorot mukanya dalam laga Sassuolo kontra AC Milan, Minggu (17/5). Dari raut mukanya, dia seakan belum menemukan jawaban mengapa sebuah tim yang baru saja membekuk AS Roma beberapa hari sebelumnya menjadi tak berkutik di tangan Sassuolo.
Kekalahan demi kekalahan dari laga yang seharusnya dimenangkan Rossoneri makin tidak masuk di akalnya, terlebih bagi seseorang yang sudah mengantongi lisensi kepelatihan A dari Federasi Sepak Bola Italia (FIGC). Bila boleh melebar sedikit, seorang pelatih harus menuliskan tesis agar bisa mendapat izin resmi melatih dan Inzaghi menulis tesis yang brilian.
Baca Juga
Advertisement
Mentalitas Seorang Pemenang. Itu judul tesis yang ditulis Pippo. Dalam karya ilmiah setebal 60 halaman tersebut, dia menjelaskan secara detail bagaimana mentransfer jiwa pemenang kepada anak asuhnya, mulai dari sisi psikologis, komunikasi dan pemaksimalan potensi pemain. Tak ketinggalan pula pria 41 tahun itu juga menjabarkan bagaimana sebuah sesi latihan tim harus dilakukan selama satu minggu penuh sampai diet yang harus dilakoni pemain.
Namun belum genap setahun, kursi Pippo sudah sering digoyang. Mengapa? Permainan Milan yang tidak konsisten menjadi penyebabnya. Pada enam bulan pertama, masa kerja mantan juru gedor Juventus itu berjalan menyenangkan. Akan tetapi setelah Serie A kembali digelar pasca libur tahun baru, Inzaghi bak naik roller coaster yang membuat jantungnya dag-dig-dug.
Ada beberapa faktor yang membuat mengapa Milan yang kerap membusungkan dada di Liga Italia menjadi tim pesakitan. Che Succede (ada Apa) Pippo Inzaghi?
- Proyek Masa Depan Hanya Pepesan Kosong?
Sama halnya dengan rival-rival mereka, Milan juga salah satu klub yang menargetkan sedang membangun proyek baru. Salah satu kunci menyongsong masa depan adalah pembangunan stadion baru. Namun target itu ibarat pepesan kosong. Pentingnya fasilitas stadion pernah dibahas oleh La Gazzetta dello Sport beberapa tahun lalu dan menganalisa mengapa penonton yang datang ke stadion menurun setiap tahunnya.
Menurut koran Italia tersebut, salah satu faktor utama fenomena itu terjadi karena stadion-stadion Serie A memiliki standar dan kebersihan yang buruk. Hal ini membuat antusiasme suporter anjlok Jalan keluar dari masalah itu adalah dengan membangun stadion.
Roma punya James Pallotta, pebisnis dengan banyak uang dan melek soal cara memutar uang. Internazionale punya Erick Thohir dengan dana segarnya, Juventus punya Andrea Agnelli, salah satu anggota direksi FIAT dan Exor. Bahkan Udinese sudah punya proyek berjangka soal pembangunan stadion.
Bagaimana dengan Milan? Mereka memang punya desain bagaimana rupa stadion baru, tetapi negosiasi manajemen untuk pembangunan stadion yang direncanakan di daerah Rho, barat laut dari kota Milan, mentok lantaran mereka harus menyetor 300 juta Euro, klaim Gazzetta dello Sport.
Hal itu menjadi kontradiktif karena Milan terlihat kikir ketika harus mengeluarkan uang demi pemain baru. Pengeluaran terbesar Milan terjadi saat membeli Mario Balotelli dengan harga 20 juta Euro dua tahun lalu. Lalu mungkinkah kalau mereka harus mencari dan mengeluarkan uang sebegitu banyak untuk stadion baru?
Kalau memang juara Serie A 18 kali itu serius dalam mengusung proyek masa depan dengan memilih Pippo sebagai juru selamat mereka, pembangunan stadion yang berpotensi melancarkan perputaran uang klub harus segera direalisasikan. Pippo bukan manajer bodoh, lambat laun ia harus membuat skuad versinya sendiri dan hal itu butuh uang.
Pembangunan Milan Casa bisa menjadi satu langkah baik untuk meraih pemasukan. Tetapi bila krisis ini tak segera tak teratasi dengan solusi ampuh, bukan tak mungkin untung tak kunjung diraih, Pippo bisa jadi Clarence Seedorf kedua. Solusi cepatnya, Milan bisa mengikuti klub rival, Inter, yang menjual mayoritas saham klub demi mendapat dana segar.
Namun pembicaraan pelepasan saham dengan pengusaha Thailand, Bee Taechaubol, tampaknya bakal karam karena Silvio Berlusconi masih ragu dengan proposal Mr. Bee.
"Menjual klub ini ibarat melepas bagian dari hati saya yang mencintai Milan sejak ayah mengantar saya ke stadion. Saya mencari seseorang yang siap memberikan dana segar kepada Milan."
"Saya tidak ingin menjual klub ini kepada seseorang yang mencari popularitas karena Milan merupakan produk yang tingkat kepopulerannya sudah mencapai level internasional," papar Berlusconi kepada Telenord.
Mantan perdana menteri Italia itu menyatakan andai tak mendapat investor anyar, Milan bakal menerapkan kebijakan tim yang diisi pemain lokal. Apakah Inzaghi akan diam saja lantaran kebebasannya menentukan pemain dikebiri?
- Moral Pemain Keburu Anjlok.
Semakin merosotnya prestasi Milan pasca meraih Scudetto tiga tahun silam praktis berdampak kepada suasana ruang ganti pemain. Para pemain tampaknya hanya bermain semata karena mereka digaji. Jarang sekali terlihat mereka tampil kesetanan demi membela martabat klub.
Juventus pernah mengalami hal serupa (bahkan lebih buruk) sebelum ditangani Antonio Conte. Terpuruk di posisi tujuh selama dua tahun berturut-turut, pria yang lahir di Lecce itu akhirnya didapuk sebagai manajer tim. Dalam sebuah sesi pertemuan, pertama kalinya Conte bertemu Buffon cs. dan mengatakan:
"Cukup sudah dengan omong kosong ini. Kalian tak meraih gelar apapun dalam dua tahun. Kalian mau Scudetto? Kalian semua harus muntah darah sampai laga terakhir untuk bisa mendapatkannya!," cetusnya.
Inzaghi dihadapkan pada masalah yang kurang lebih sama dengan apa yang dihadapi Conte tiga tahun silam. Lantas apakah ia bisa menirunya? Mengepalai tim yang diisi oleh pemain berkarakter dan berpaspor beda memang gampang-gampang sulit. Itu bahkan diakui oleh Jose Mourinho yang dikenal sebagai ahli dalam memainkan sisi psikologis anak asuhnya.
"Untuk mendapatkan kekuasaan efektif adalah hal tersulit dalam sepak bola. Anda berhadapan dengan orang-orang yang memiliki mentalitas, kultur, perbedaan umur yang berbeda dan Anda dituntut untuk menggiring mereka kepada satu tujuan."
"Contohnya, jika saya berteriak kepada John Terry yang bermain sangat buruk, dia akan terpacu di laga berikutnya untuk membuktikan saya salah. Namun jika saya melakukannya kepada William Gallas, dia bahkan tak mau bermain di pertandingan selanjutnya, ada pendekatan berbeda," papar Mourinho dalam buku The Italian Job: A Journey to the heart of two great footballing cultures.
Penulis berteori bahwa anjloknya performa Rossoneri pasca libur tahun baru karena Pippo menerapkan kesalahan dalam berkomunikasi dengan pemain dan tidak memiliki kendali penuh skuatnya. Sepertinya mantan penggawa Parma tersebut tak menemukan sosok senior yang bisa dipegang. Meski sepak bola sudah modern tetapi praktik-praktik "anak bebek selalu ikut induknya" masih saja terjadi.
Menurut laporan Corriere della Sera akhir Maret lalu, hubungan Pippo dengan beberapa pemain menjadi renggang dan sempat terjadi pertengkaran di dalam bis. Di titik ini, Inzaghi mengatakan kepada para pemainnya kalau mereka tidak layak mengenakan kostum Milan.
Menanggapi kritik dari pelatih berusia 41 tahun itu, seorang pemain Milan membalas dengan mengatakan: "Kami memang tak layak memakai kostum ini, tetapi Anda tidak layak melatih Milan."
Lalu apakah Pippo bisa menyelesaikan kisruh dengan anak asuhnya?
-
Ego Berlusconi, Si Pria Italia Tulen.
Nasib simpang siur Inzaghi bukan pertama kalinya terjadi di Italia. Di negara Pizza, pecat-memecat sudah jadi hal yang lumrah. Kalau bisa mengambil contoh, Presiden Palermo, Maurizio Zamparini, memecat 27 pelatih sejak tahun 2002. Eks manajer Chelsea, Gianluca Vialli, bahkan menganalogikan kalau saja David Moyes (yang kala itu masih menjadi manajer Manchester United) menangani tim di Italia, ia sudah dipecat empat kali.
Meramu sebuah tim juara memang gampang-gampang susah, butuh kebesaran hati yang teramat besar dari pemilik klub tetapi itu nyaris tak ada lagi dalam jiwa Silvio Berlusconi yang menelepon Carlo Ancelotti di medio 2001 dan berkata:
"Halo, ini dengan Carlo Ancelotti? Begini... Saya ingin membangun tim yang akan meraih semua gelar yang ada di Eropa." (kutipan diambil dari biografi Ancelotti 'The Beautiful of an Ordinary Genius)
Tak hanya masalah kerelaan hati, fulus Silvio pun tak sekencang dulu. Uangnya dibayar untuk membayar pengacara demi membersihkan tuduhan menyewa prostitusi di bawah usia, penggelapan pajak, plus kampanye partai kepunyaannya. Perhatiannya kepada Milan juga tak sehangat dulu, saking lamanya ia tak 'blusukan' melihat situasi klub, ia jadi tak menyadari apa yang dibutuhkan timnya.
Solusinya, Berlusconi harus mengingat-ingat momen pertama kali ia membeli Milan, momen membangun tim yang pernah merajai Eropa, dan hal itu harus ditularkannya kepada tangan kanan dan kirinya yakni Barbara Berlusconi dan Adriano Galliani.
Dengan mengenang apa yang sudah dilakukan, setidaknya tensi darah Silvio tak cepat naik hanya karena Milan kalah dalam beberapa pertandingan. Ujungnya, Inzaghi meski pelan tapi pasti bisa, membangun dengan tenang. Dia tak akan merasa seperti tokoh Damocles dalam cerita The Sword of Damocles, yang harus menghadapi tekanan besar sekaligus diancam kematian.
Namun sumbu emosi Berlusconi yang merupakan pria Italia tulen selalu berorientasi kepada hasil jangka pendek bisa mempercepat masa hidup Pippo, meski dia belum melakukan sihirnya.
"Di Italia, kami hanya melihat hasil, tak peduli bagaimana itu didapatkan. Semua berpandangan kepada hasil. Jika tim Anda kalah, Anda disebut idiot, titik."
"Ini bukan pertanyaan bagaimana cara sebuah tim bermain baik atau merencanakan strategi masa depan, Anda diwajibkan menang," ucap Franco Ferrari, staff Coverciano, tempat Inzaghi mendapatkan lisensi kepelatihan dalam buku The Italian Job: A Journey to the heart of two great footballing cultures.
-
Kesimpulan
Saat diangkat menjadi manajer, Inzaghi melontarkan semua pujian untuk elemen klub. Bagaimana rasanya dipercaya Silvio Berlusconi, Milan menjadi separuh hidupnya, Milan menjadi tempat berbagi kebahagiaan dan momen tak terlupakan. Akan tetapi dia bukanlah panasea atau obat untuk kanker yang terjadi di Milan.
Bila ingin sembuh, setiap bagian dari tubuh klub harus mencari panasea masing-masing. Seampuh-ampuhnya panasea bernama Filippo Inzaghi apalah artinya jika hanya ada satu sektor klub yang sehat? Kendati demikian, Inzaghi bukan berarti berada dalam posisi yang tidak dipersalahkan.
Selama kurang lebih setahun duduk di posisi allenatore Milan, Inzaghi sangat fanatik dengan formasi 4-3-3. Dari 36 pertandingan, dia hanya menerapkan skema 4-2-3-1 dua kali dan 4-4-2 sekali saja. Padahal dalam mengarungi sebuah kompetisi, seorang pelatih diharuskan memiliki pilihan strategi.
Lagi pula, Italia merupakan negara dengan kebebasan berkarya dalam formasi. Ada 4-3-3 versi Zdenek Zeman, 3-3-1-3 Marcello Lippi atau 4-4-2 versi Arrigo Sacchi. Jika di sepak bola Inggris, terdapat anggapan bahwa jika seorang pelatih kerap gonta-ganti skema maka dia adalah pelatih yang bingung. Tapi di Italia? Dia disebut jenius taktik.
"Jika Anda punya pemain pintar yang mengerti taktik dan nyaman menjalankan perannya di berbagai sistem, maka pergantian strategi bisa menjadi nilai tambah. Itu menjadi senjata tambahan tim Anda," papar Lippi dalam The Italian Job.
Lalu apakah kecenderungan strategi 4-3-3 Inzaghi karena dia takut dengan risiko yang bakal diterimanya? Ataukah dia menentukan formasi itu karena tidak tersedianya pemain yang diinginkan imbas dari keuangan manajemen Milan yang sekarat?
Sejujurnya, situasi ini seperti pertanyaan "Manakah yang lahir duluan, ayam atau telur?"
Yang pasti, keduanya saling berhubungan dan untuk menemukan solusinya tentu membutuhkan waktu Silvio.
 *Penulis adalah salah satu wartawan Bola.com yang menghabiskan mayoritas waktunya menonton pertandingan Serie A.
Baca juga:
Bos AC Milan Indikasikan Segera Tendang Inzaghi
Jelang Lawan Roma, Legenda Milan Beri Saran ke Inzaghi
Benarkah Vincenzo Montella Sudah Resmi Diikat Milan?
Â
Â