Bola.com, Verona - Ketika berbicara soal pencetak gol terbanyak sebuah liga, pikiran kita berpeluang membayangkan sosok pemain yang sempurna. Dia muda, dia gesit, dia lincah, pergerakannya di antara bek-bek lawan belum terbaca dan naluri mencetak golnya masih menggebu-gebu. Namun, apa yang terjadi di Serie A 2014/2015 merupakan fenomena. Di umur 38 tahun, Luca Toni menjadi top scorer liga bersama dengan Mauro Icardi (22 tahun). Mengapa si gaek belum sepenuhnya rela untuk memberikan tongkat estafet kejayaannya kepada para pemain muda? Mari simak analisa Bola.com:
1. Gaya Main Luca Toni
Baca Juga
Advertisement
Memiliki badan bongsor (193 cm), mari kita coret kemampuan dribble dan sprint yang dimilikinya karena mari kita akui saja masih banyak para pemain Serie A yang jauh lebih kencang berlari. Sejujurnya bagi para penikmat sepak bola, gerak-geriknya cenderung tak biasa dan kaku.
Namun, kelemahan ini tak membuat mental pemain yang mengawali kariernya di Modena itu hancur. Banyak para pesepak bola termasuk Pep Guardiola dan Luca Toni yang lebih memilih untuk memperkuat "senjatanya" ketimbang memperbaiki kekurangan agar terlihat sebagai pemain yang sempurna.
"Jika saya bermain dalam lingkup sepak bola semodern ini, saya tidak akan bisa masuk ke level profesional dan paling bagus saya hanya bermain untuk tim divisi tiga."
"Saya tidak cepat, saya tidak punya stamina untuk berlari terus menerus selama 90 menit di mana itu merupakan keharusan bagi seorang gelandang. Saya tidak bagus dalam duel udara, secara fisik juga tidak kuat. Apa yang bisa saya lakukan hanyalah mengoper bola dengan cukup baik," tutur Josep Guardiola dalam sebuah wawancara.
Alih-alih bersedih karena tidak bisa berlari cepat, Toni lebih memilih untuk menggembleng daya fisiknya, mencari cara bagaimana dia bisa membobol gawang lawan dan mengambil jalan yang ditempuh Guardiola. Kekuatan menahan dorongan dari bek-bek lawan dan kecakapannya dalam duel-duel udara pun dipilihnya dan ini terbukti sukses karena dia menjadi salah satu penanduk bola terbaik di Liga Italia.
Belum lagi dia dikenal sebagai pemain oportunis dengan gaya bermain tidak wajar. Meski sesekali membantu timnya merebut kembali bola yang hilang dari penguasaan, tapi Toni kerap kali menghabiskan mayoritas dari 90 menit pertandingan berdiri di area pertahanan lawan.
Namun saat rekan-rekannya mencoba menginisiasi serangan, dialah yang menjadi titik terakhir. Toni memiliki insting pembunuh ketika bola sudah diarahkan kepadanya, belum lagi dia juga terbilang nekat ketika harus bergumul dengan bek musuh (Goal.com memberikan nilai 8 dari 10) untuk atributnya ini.
Tak pelak keunggulan-keunggulan ini membuatnya disebut-sebut sebagai salah satu penanduk bola terbaik di Serie A. Dalam daftar yang diterbitkan bsports.com pada 2013, Toni hanya kalah dari Stefan Kiessling (Bayern Leverkusen) dan Javi Guerra (Real Valladolid) untuk urusan sundul menyundul si kulit bundar.
2. Strategi Hellas Verona: Keuntungan bagi Toni.
Di bagian ini alangkah baiknya, mari kita berkenalan dengan Andrea Mandorlini. Secara fisik, dia merupakan pria berusia 54 tahun dengan perawakan tegap setinggi 175 cm. Meski rambut peraknya tak selebat dulu tapi tatapan tajamnya belum hilang, tipikal seorang pria yang ortodok. Dia bukan tipe yang bisa Anda ajak obrol tentang pandangan modern ketika Anda berdua pergi memancing bersama. Singkat kata dia bukan sosok ideal yang ingin Anda temui ketika Anda bermain ke rumah kekasih Anda.
Begitupun dengan pemilihan strategi yang digunakannya di Stadion Marc Antonio Bentegodi. Mantan penggawa Internazionale itu sangat tergila-gila memasang formasi dengan skema tiga penyerang. Selama setahun kompetisi, Andrea sering kali menggunakan formasi 4-3-3.
Formasi ini akan berubah menjadi 4-1-4-1 ketika diserang lawan di mana para pemain sayap akan membantu para gelandang untuk menahan gempuran.Meski bermain dengan skema 4-3-3, Verona justru tak memborbardir lawan tapi lebih gemar bertahan, terutama ketika menghadapi tim-tim besar.
Secara umum karakteristika permainan mereka mengandalkan serangan balik cepat meski mereka tidak suka membongkar pertahanan lawan dari area tengah. Verona lebih menyukai bermain di sisi lapangan sembari dibantu oleh dua bek sayap yang gemar maju ke depan.
Namun bukan berarti gelandang tengah mereka lantas hanya bertugas sebagai penahan bola saja. Musim lalu mereka mempunyai Massimo Donati yang bertugas menjadi penyalur bola yang didapatnya dari belakang dan diberikan kepada para pemain sayap. Saat Donati pindah ke Bari pada awal musim 2014/2015, pelatih Andrea Mandorlini sekali lagi menunjukkan kekolotannya dengan memberikan peran ini kepada Emil Hallfredsson alih-alih merombak strategi.
Kemudian Emil akan menentukan kemana bola akan digulirkan sementara dua gelandang tengah lainnya akan bergerak tanpa bola bersamaan dengan pemain sayap untuk mencari ruang-ruang kosong yang dibuka oleh Luca Toni. Saat Verona mencoba mencetak angka, peran mantan penggawa Bayern Muenchen ini kian vital. Tak hanya berperan sebagai pemecah konsentrasi bek, dia juga berlaku sebagai target man rekan-rekannya.
Apa yang dilakukan oleh Mandorlini mungkin terinspirasi oleh dibelinya Luca Toni oleh Bayern Muenchen dari Fiorentina delapan tahun yang lalu. Kala itu, Die Roten tidak pernah juara dua tahun berturut-turut dan mereka ingin tren negatif tersebut berakhir.
Uli Hoeness pun dipekerjakan dan dengan kekagumannya terhadap sepak bola Inggris yang mengandalkan bola-bola atas. Dia pun memboyong Toni dan Miroslav Klose untuk menjadi big man di lini depan Bayern. Dengan kombinasi lari cepat dari Franck Ribery dan Bastian Schweinsteiger (kala itu masih diposkan sebagai pemain sayap), Toni pun kembali menemukan kejayaannya semasa di Fiorentina lantaran bisa mengemas 24 gol di musim perdananya.
Di Verona, Mandorlini menugaskan Emil Hallfredsson dan Juanito Gomez Taleb sebagai pengganti Ribery-Schweinsteiger. Nyatanya taruhan besar Mandorlini jitu. Andai Toni tidak mengemas 22 gol musim ini, maka Gialloblu bisa saja sudah terdegradasi dari Serie A karena Verona hanya mencetak 27 gol saja tanpa Toni.
Terkait gaya permainannya yang cenderung aneh di mata pecinta bola, mantan penggawa Brescia itu bahkan tidak bisa menjelaskan tipe aksinya di lapangan hijau.
"Permainan saya lebih kepada fox in the box namun sejujurnya saya tidak mengerti. Saya hanya menyentuh bola kemudian gol pun terjadi," tutur Toni kepada Guardian beberapa tahun lalu.
3. Klenik dan faktor X.
Dunia sepak bola tentu sudah semakin modern seiring dengan perkembangan zaman. Mulai dari penerapan strategi (tentu anda tidak pernah melihat tim yang masih menurunkan seorang libero bukan?), gaya hidup, nilai kontrak yang menjulang menjadi sederetan alasan mengapa sepak bola sudah semakin maju.
Namun, nyatanya banyak elemen pesepak bola yang masih percaya soal masalah klenik dan faktor-faktor non-teknis. Antonio Conte semasa di Juventus selalu menyebarkan minyak doa sebelum timnya bertanding, sebelum timnas Italia berlaga di Piala Dunia 2002, Giovanni Trapattoni membawa skuatnya menemui Paus untuk meminta berkah, Pippo Inzaghi selalu kentut di ruang ganti pemain agar keran golnya mengucur.
Salah satu ritual klenik juga dilakukan oleh para penyerang yang indikator performanya diukur dari banyaknya berapa kali gol yang bisa dikemas selama semusim. Bagi mereka, gol adalah segalanya dan untuk mendapatkan gol berbagai ritual harus dipertahankan.
"Alberto Gilardino selalu membawa sepatu bola yang dipakainya semasa masih kanak-kanak. Dia mengelapnya, menyentuhnya dengan gairah, mengajaknya berbicara bahkan sampai menciumnya. Jika sepatu itu tertinggal, dia resah bukan main dan tidak ada tanda-tanda bahwa dia akan membuangnya meski kondisi sepatunya sudah sangat buruk," tulis Andrea Pirlo dalam biografinya: I Think Therefore I Play.
Luca Toni? Dia punya motivasi tersendiri. Dia ingin membuktikan seorang target man tradisional tidak lekang oleh waktu.
"Lari mengejar sebuah bola, mencetak gol, berselebrasi dan bersedih dalam stadion adalah bagian besar dari hidup saya. Selama saya merasa enjoy melakukannya maka saya akan terus berkarier," ungkapnya kepada La Gazzetta dello Sport.
Mungkin faktor tersebut menyebabkan mengapa Toni bisa bermain kinclong musim ini. Bisa jadi karena dia ingin memberikan pembuktian terhadap para kritikus. Bisa jadi karena dia merasa Verona adalah rumah keduanya. Apa pun faktor eksternal yang dipunya Luca Toni itu tak bisa dipandang sebelah mata.
Sementara itu 234 kilometer selatan dari kota Verona, Gilardino yang berada di kota Florence sedang mengajak bicara sepatunya sembari berharap golnya kunjung datang.
 Baca juga :
Meme Kocak Sindir Model Rambut Baru Dani Alves
Pertama Kali: Game FIFA 16 Hadirkan Timnas Wanita
Serial The Simpsons Sudah Prediksikan Pejabat FIFA Ditangkap