Bola.com, Turin - Papan skor menunjukkan menit ke-17, gerak-geriknya meliuk di Juventus Stadium. Larinya tak kencang tapi pasti. Badannya melenggok melakukan tipuan, bek lawan pun tertipu! Sudut matanya menangkap siluet Stephan Licthsteiner yang merangsek ke kotak penalti , sepersekian detik kemudian ia mengangkat bola melewati kepala pemain bertahan Parma. Lichtsteiner meneruskan bola dan gol! 11 September 2011. Andrea Pirlo memulai eranya di Juventus. Sekarang era itu sudah berakhir, bisakah Juventus menjaga ketenangan menguasai capolista tanpa kehadiran penguasa bola yang tak memiliki rasa tekanan tersebut?
Pulpen (prolog) dan Pirlinho.
Advertisement
Sebuah pulpen. Jauh sebelum gol "telepati" itu terjadi dan trademark brewok ala Chuck Norris yang dirawatnya menjadi sensasi internet, Andrea Pirlo sedang duduk di kursi sebuah ruangan di kantor AC Milan. Bak seorang bocah fakir miskin mendapatkan mainan pertamanya, fokus Pirlo tak terlepas dari tabung cair tersebut. Dibolak-balik 360 derajat, air keringatnya sampai menetes dari dahinya lantaran dia mencoba menarik kesimpulan apa maksud yang ingin diberikan Il Diavolo Rosso pasca 10 tahun kebersamaan.
Ternyata itu memang hanya sebuah pulpen biasa, tak ada makna khusus kecuali ada emblem Milan di tengah-tengahnya. Pintu pun terbuka dan seorang pria plontos dengan kerutan di dahi berdiri di tengah-tengah rongganya.
"Terima kasih untuk segalanya, Andrea. Tolonglah, jangan gunakan pulpen itu untuk menandatangani kontrak dengan Juventus," pinta Adriano Galliani kepada Pirlo.
"Tak berapa lama setelahnya Juventus mengontak saya. Ada kontrak tiga tahun di Turin, tak butuh lama saya memberikan jawaban positif. Sehari sebelum semuanya resmi, Leonardo yang membesut Internazionale menelpon dan meminta bergabung. Saya menolaknya meski saya tidak memberitahu pulpen mana yang saya gunakan," tulis Pirlo dalam buku biografinya, I Think Therefore I Play.
Paragraf terakhir mengidentifikasikan karakter seorang Pirlo di dunia sepak bola. Penuh perhitungan tapi siap mengeluarkan tipu muslihat. Jika itu memang harus dilakukannya. Penuh perhitungan? Coba Anda perhatikan selama lima menit saja pesepak bola 36 tahun itu bermain. Kepalanya kerap menengak-nengok baik sebelum maupun setelah menerima bola dari rekannya Pasca si kulit bundar tak melekat di kakinya lagi pun dia tetap geleng-geleng kepala mencoba merekam pergerakan lawan lewat otaknya.
Tipu muslihat? Tipu Muslihat Pirlo bisa berupa umpan maut, pergerakan berbahaya atau tendangan bebasnya yang arahnya tak terduga. Sepanjang sejarah, Italia telah menelurkan bakat-bakat spesial macam Gianni Rivera, Giancarlo Antognoni dan Marco Tardelli.
Namun, meski tidak memiliki fisik kuat tapi belum ada yang selengkap dia, visi bermainnya dan operan-operan top. Meski di era modern di mana sepak bola mengutamakan fisik dan kecepatan, Pirlo tetap mengandalkan sepak bola lambat dan menjunjung tinggi paham kebebebasan untuk mengatur permainan. Baginya mengolah bola adalah sebuah kesenangan tak ternilai, kebebasan yang membuat pemain Brasil modern hanya bisa berandai-andai.
"Andrea Pirlo adalah orang paling Brasil dari semua orang Eropa dan Brasilnya-Juventus. Dia adalah pemain pertama yang saya ambil jika diberi kesempatan untuk membuat tim impian," tegas Dunga.
Gaya 'Brasil' ini toh disambut baik oleh pria Italia (yang memiliki chauvinisme tinggi) ini. Tak malu-malu, Pirlo kerap menyebut dirinya sebagai Pirlinho. Itu karena dia punya guru tipu muslihat (baca: tendangan bebas) asal negeri Samba bernama Antonio Augusto Ribeiro Reis Junior alias Juninho Pernambucano.
"Setiap sepakan yang saya lakukan membawa nama Andrea Pirlo dan merupakan 'anak-anak 'saya. Meski satu dari yang lain berbeda, toh akarnya masih dari Brasil. Setelah mencoba menganalisa apa yang dilakukan Juninho akhirnya jawaban itu didapat meski itu terjadi ketika saya ada di toilet, tidak keren memang," tukas Pirlo yang mengawali kariernya di Brescia tersebut.
Dua Sisi koin Andrea Pirlo dan Pena Juventus?
Dilepasnya Andrea Pirlo secara cuma-cuma ke Juventus akan menjadi penyesalan Silvio Berlusconi saat dia memomong cucu di masa depan. Datang dengan sinisme tinggi yang menyatakan bahwa dia sudah habis, Pirlo memaksa para pengkritik menjilat ludahnya sendiri. 119 kali bermain untuk Si Nyonya Tua, tak terhitung berapa keajaiban yang sudah dilakukannya.
Meski berganti klub, bisa dibilang apa yang dilakukan Pirlo tak jauh berubah. Semasa berbaju Rossoneri, dia disokong oleh trio gelandang enerjik Massimo Ambrosini, Clarence Seedorf dan Gennaro Gattuso dalam formasi 4-1-2-2-1 pohon natal. Sedangkan semasa di Juventus, tiga pemain itu digantikan oleh Arturo Vidal, Paul Pogba dan Claudio Marchisio. Tujuannya jelas. Pirlo yang tak punya fisik untuk beradu dengan bek-bek trengginas Serie A bisa terhindar dengan bermain di belakang garis tengah lapangan.
Posisinya ini disebut sebagai regista (pembagi bola sekaligus pemulai serangan) dan dengan keberadaannya yang jauh dari ancaman musuh, dia bisa menangkap lanskap lapangan lebih detail. Ke mana pemain x akan berlari, ke mana si Y akan terpancing meninggalkan sarangnya, seperti apa si Z bakal bereaksi jika diberi umpan panjang ke samping.
Probabilitas-probabilitas ini kerap dipikirkan Pirlo berusaha selalu lebih maju dua atau tiga langkah dari musuh yang mencoba menerka gerakannya. Di sini, Pirlo harus berterima kasih kepada kebiasannya untuk tengak-tengok situasi yang dipunyanya.
Gelandang yang memiliki usaha sampingan produksi minuman anggur itu memang bukan pemain dengan gocekan dribble yang bikin mata melotot. Bukan pula pemain yang bisa berlari 40 meter dalam kurun waktu di bawah lima detik. Pirlo memainkan memainkan sepak bola simpel dan lambat, gaya permainannya lebih cocok berada di era 80-an.
Bila boleh mengutip perkataan dari Johan Cruyfff: Sepak bola itu simpel tapi tak ada yang lebih sulit ketimbang memainkan sepak bola yang simpel. Untuk bermain sepak bola yang bagus, Anda butuh pemain bagus. Namun para pemain bagus ini selalu ingin menyelesaikan pekerjaannya dengan indah ketimbang sesuai dengan yang dibutuhkan."
Kesimpelan ini membuatnya kerap kali ditekan oleh musuh sampai daerah penguasaannya. Karena sebagai seorang seniman di lapangan hijau, dia sering berjalan dengan santainya dengan membawa bola bahkan Pirlo sempat berhenti sejenak untuk mengobservasi apa yang terjadi di lapangan. Namun ini menjadi sisi lemah tersendiri dari permainannya.
Masih ingat ketika Luis Suarez rela mundur ke belakang untuk menghentikan operan-operan rekannya kepada Pirlo. Atau masih ingatkah juga pergerakan aneh Dani Alves yang meninggalkan pos bek kanan demi memberi Pirlo tekanan. Kejadian ini terjadi dalam partai penentuan bernama Final Liga Champions 2015 dan akibat dari tekanan itu, serangan Bianconeri sempat mandek cukup lama. Di akhir laga, meski sempat memberikan perlawanan Si Nyonya Tua takluk 1-3 dari Barcelona.
Pasca pertandingan selesai, Pirlo tak bisa menyembunyikan air matanya dan foto konsolasi Paul Pogba kepada Pirlo tak bisa digambarkan dengan ribuan kata. Baginya, trofi final Liga Champions sangat berarti meski sudah direngkuh dua kali semasa berbaju Milan.
"Terdapat masa-masa di mana saya berpikir untuk pensiun karena setelah tragedi Istanbul 2005, semuanya tak masuk akal lagi. Di masa-masa pasca itu, saya kerap kali mencari jawaban dari pertanyaan yang tidak eksis. Meski pada edisi 2008, saya membalasnya dengan menghadapi Liverpool yang berperan di tragedi tersebut, Istanbul 2005 tak bisa dilupakan," tulis Pirlo dalam biografinya.
Bisa jadi salah satu faktor yang membuatnya hijrah ke MLS karena dia merasa tidak dipercaya lagi untuk mengatur tempo permainan Juventus di usianya yang cukup tua. Bisa jadi juga karena dia menyadari kalau Juventus tak akan lolos ke final Liga Champions lagi dalam waktu dekat.
Mari kita berbicara dengan fair, kelolosan La Vecchia Signora ke final Liga Champions juga diberkahi oleh keberuntungan. Skuat Juve masih terlalu jauh kualitasnya jika dibandingkan dengan Barcelona atau Bayern Muenchen. Tak ingin sakit hati lagi, Pirlo pun memilih untuk tidak menggantungkan harapan dan memilih untuk menjauh dari atmosfer sepak bola Eropa. Tapi kita tidak tahu, apakah pena yang digunakan untuk menandatangani kontraknya dengan New York City FC adalah pena buatan Juventus atau bukan..
Claudio Marchisio Penerusnya?
Di hari yang sama pengumuman pelepasan Andrea Pirlo, Juventus mengumumkan kalau mereka memperpanjang kontrak Claudio Marchisio. Sontak gelandang asal Italia itu tiba-tiba ingin memotong telinganya karena pertanyaan sama selalu mampir di alat pendengarannya: "Apakah Anda merupakan figur yang tepat untuk meneruskan Pirlo?"
"Saya tidak bisa menjadi penerus Pirlo karena saya pemain yang berbeda 180 derajat dengan Andrea. Kesamaan yang kami punyai hanyalah keberadaaan di lapangan tengah," demikian pernyataan Marchisio seperti dilansir Football Italia.
Perginya Pirlo (dan juga Tevez) tentu menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagaimana pelatih Massimiliano Allegri mencari solusinya. Namun dia tak perlu khawatir sampai-sampai harus mengubah formasinya. Formasi 4-3-1-2 yang sudah dicobanya musim lalu bisa diterapkan lagi untuk kampanye 2014 - 2015.
Dengan formasi ini, keunggulan Claudio Marchisio yang punya work rate lebih bagus untuk menutup ruang-ruang ketimbang Pirlo bisa lebih dimaksimalkan. Ini artinya Paul Pogba, Arturo Vidal dan nantinya pemain yang berposisi sebagai penyerang lubang bisa berkonsentrasi lebih untuk membobol gawang lawan. Namun perlu dicatat pula, Allegri harus menemukan cara agar membuatnya transisi saat timnya menyusun serangan dan bertahan tidak jomplang.
Sepanjang kariernya, Marchisio berposisi sebagai gelandang tengah tapi posisi dan tugasnya sangat jauh berbeda dengan yang dilakukan Pirlo. Marchisio menginterpretasikan tugasnya sebagai gelandang box to box. Untuk menunaikan tugasnya dengan sempurna, Marchisio harus menjadi pemain yang komplet.
Dia harus punya energi dan fisik yang mumpuni untuk menyambung alur bola dari lini bek ke tengah pertahanan. Dia juga harus melakukan tanggung jawab pragmatis seperti pemosisian pertahanan, tekel, menghalau operan dan tembakan lawan. Dia juga harus punya kualitas ketika melakukan penetrasi atau menembak dari jarak jauh.
Semasa di Turin, beberapa kali Pirlo harus absen karena cedera tapi Marchisio comes to the rescue dengan tampil prima. Menurut saya dia merupakan pemain terpenting dalam denyut jantung Juventus. Keberadaannya di lapangan memang tak begitu indah layaknya Pirlo yang kerap menerima kredit karena melakukan assist berujung gol. Marchisio lebih menyukai berperan sebagai "seniman bisu" dan dengan gaya permainannya seperti ini, Juventus bisa melaju lebih kencang di Eropa.