Bola.com — Swiss mengawali kualifikasi Piala Eropa 2016 di Grup E dengan hasil buruk. Tim yang dilatih Vladimir Petkovic itu mengalami kekalahan pada dua laga awal. Swiss takluk 0-2 ketika menjamu Inggris, dan berikutnya kalah 0-1 di kandang Slovenia.
Advertisement
Baca Juga
Setelah itu, Xherdan Shaqiri dkk baru bangkit. Mereka merebut lima kemenangan berturut-turut, sebelum akhirnya kembali takluk 0-2 di kandang Inggris. Swiss kembali bangkit dengan mengamankan dua laga terakhir dan memastikan lolos ke putaran final Piala Eropa 2016 dengan menjadi runner up Grup E di bawah Inggris.
Kekuatan tim ini terletak pada pemain-pemain yang memperkuat klub-klub di luar Swiss. Praktis hanya Basel, klub asal Swiss yang menyumbangkan pemain ke timnas. Pemain lain timnas Swiss kebanyakan berasal dari liga lain, seperti Bundesliga Jerman, Serie A Italia, Premier League Inggris, hingga Ligue 1 Prancis.
Swiss mengawali tradisi lolos ke putaran final dengan hasil apik sejak Piala Eropa Portugal 2004. Ketika itu Swiss tampil perkasa pada babak kualifikasi. Johan Vonlanthen dkk lolos sebagai juara grup 10, mengungguli Rusia dan Irlandia.
Namun, pada putaran final, Swiss gagal total. Hasil 0-0 melawan Kroasia, disusul kekalahan 0-3 lawan Inggris, dan 1-3 kontra Prancis, membuat Swiss terpuruk di dasar klasemen Grup B.
Empat tahun kemudian, Swiss tampil pada putaran final Piala Eropa 2008 dengan fasilitas sebagai tuan rumah bersama Austria. Namun, Stephane Chapuisat dkk gagal memanfaatkan keuntungan sebagai tuan rumah.
Swiss langsung rontok karena kalah pada dua laga awal melawan Rep. Ceska (0-1) dan Turki (1-2). Kemenangan 2-0 atas Portugal pada laga terakhir hanya membuat pendukung Swiss terhibur karena tersingkir lebih awal.
Pada Piala Eropa 2012 yang digelar di Polandia dan Ukraina, Swiss kembali gagal lolos ke putaran final. Mereka hanya menduduki tempat ketiga Grup G di bawah Inggris dan Montenegro.
Namun dua tahun berikutnya, pada gelaran yang lebih besar, Piala Dunia Brasil 2014, Swiss mencatat hasil terbaik. Mereka lolos ke babak 16 besar sebagai runner up Grup E. Hanya saja, pada fase knock-out, Swiss harus mengakui keunggulan Argentina yang menang 1-0 lewat gol Angel Di Maria pada masa injury time.
Kini, bisa dibilang Swiss punya skuat terbaik sepanjang sejarah mereka tampil di turnamen besar seperti Piala Eropa dan Piala Dunia. Saat berlaga pada putaran final Piala Eropa 2016, Swiss akan bersaing dengan Albania, Rumania, dan tuan rumah Prancis di Grup A.
Jadwal yang didapat Shaqiri dkk cukup menguntungkan karena mereka akan menghadapi tim debutan Albania pada laga awal. Kemenangan akan menjadi modal utama buat menantang dua tim berikutnya yang lebih tangguh.
Bintang:
Xherdan Shaqiri
Ketika putaran final Piala Eropa Prancis 2016 digelar, Xherdan Shaqiri baru berumur 24 tahun. Namun, pada usianya tersebut, Shaqiri bisa dibilang menjadi andalan di lini tengah Swiss.
Pemain yang berposisi sebagai gelandang itu adalah imigran berdarah Albania. Ia telah merasakan tampil di Piala Dunia 2010 dan 2014. Pengalamannya di kompetisi domestik Swiss cukup mentereng karena ikut memperkuat Basel saat merebut tiga gelar liga.
Sukses di dalam negeri, Shaqiri menarik minat klub raksasa Jerman, Bayern Munchen. Setelah bergabung dengan Munchen pada 2012, Shaqiri ikut andil dalam kesuksesan tim berjuluk The Bavarians itu meraih gelar treble (Bundesliga, Piala Jerman, Liga Champions) pada 2013.
Lantaran tak selalu mendapat tempat sebagai starter, Shaqiri tidak menolak ketika dijual ke Inter Milan pada Januari 2015. Namun tak lama memperkuat Inter, ia dijual ke klub Premier League, Stoke City pada bursa transfer awal musim ini.
Stoke memang bukan klub yang besar seperti Bayern atau Inter. Namun, di kedua tim tersebut Shaqiri mendapatkan jaminan lebih besar untuk tampil di tim utama sebagai starter.
Modal utama Shaqiri untuk memimpin lini tengah Swiss adalah kekuatan kedua kaki yang sama baiknya. Hal tersebut menunjang kemampuannya dalam melepas umpan maupun mengeksekusi peluang menjadi gol.
Lantaran kemampuan tersebut, Shaqiri mendapat julukan Messi dari Alpen. Jika tampil dalam kondisi terbaik di Prancis, Shaqiri berpeluang membawa Swiss untuk melangkah lebih jauh dari babak penyisihan.
Pelatih:
Vladimir Petkovic
Vladimir Petkovic mulai menangani timnas Swiss sejak 1 Juli 2014. Pria asal Bosnia itu menggantikan posisi manajer legendaris asal Jerman, Ottmar Hitzfeld.
Pada level klub, awal karir Petkovic hanya menangani tim-tim kecil di Swiss dan Turki. Kesempatan untuk menangani tim yang berlaga di kompetisi besar didapat saat ia melatih Lazio pada 2012.
Bersama Lazio, pelatih yang kini berusia 52 tahun itu meraih kesuksesan dengan mengantarkan tim asuhannya menjuarai Copa Italia 2013. Faktor disiplin dan kebersamaan menjadi modal Petkovic dalam menangani tim.
Pelatih yang punya julukan The Doctor ini melarang keras siapapun membawa gadget dalam pertemuan tim. Para pemain pun diharuskan memakai sepatu dengan rapi ketika makan.
Petkovic juga meminta seluruh anggota tim untuk makan bersama demi menjaga kekompakan dan soliditas. Berbagai hal tersebut menjadi contoh disiplin yang diterapkannya.
Soal gaya main dan perlakuan disiplin itu, ia mengaku terinspirasi dengan apa yang dikembangkan oleh manajer asal Italia, Fabio Capello. Semasa menangani Lazio, Petkovic memiliki formasi favorit 3-4-3 atau 4-3-3.
Dengan formasi tersebut, Swiss menjanjikan permainan menyerang dan atraktif. Sebanyak 24 gol dari 10 pertandingan yang dilesakkan Swiss pada babak kualifikasi menjadi pertanda racikan Petkovic punya agresivitas yang tak bisa dianggap remeh oleh lawan manapun.
Legenda:
Stephane Chapuisat
Stephane Chapuisat adalah salah satu pemain tersukses yang pernah dimiliki Swiss. Semasa bermain buat timnas pada periode 1989 hingga 2004, Chapuisat yang bermain di posisi striker ini mengoleksi 21 gol dari 103 penampilan.
Ia tampil di Piala Dunia 1994, Piala Eropa 1996, dan Piala Eropa 2004. Namun sayang, pada tiga turnamen besar itu, penampilan Swiss tak pernah bagus dan selalu rontok pada babak pertama.
Chapuisat justru memiliki penampilan bagus dan ketajaman ketika tampil bersama klubnya, Borussia Dortmund. Bersama klub Bundesliga Jerman itu, ia tampil sebanyak 218 dan mencetak 102 gol.
Pria yang kini berusia 46 tahun itu sempat merasakan gelar juara Bundesliga pada 1995 dan 1996. Gelar lain yang diraihnya bersama Dortmund adalah Supercup DFB 1995 dan 1996, Liga Champions 1997, dan Piala Intercontinental 1997.
Salah satu momen paling dikenang oleh Chapuisat adalah ketika ia mencetak gol dalam laga perempat final Liga Champions 1997 lawan Bayern Munchen. “Laga sesama Jerman itu sungguh spesial. Gol yang saya cetak malam itu tak akan terlupakan hingga kapanpun,” ujar Chapuisat.
Pada 2003, Federasi Sepak bola Swiss menganugerahi Chapuisat dengan penghargaan pemain paling berpengaruh sepanjang 50 tahun terakhir. Namun, ia tetap berusaha merendah dan tak menganggap diri sebagai pemain terbaik yang pernah dipunyai Swiss.
“Saya tak merasa sebagai pemain hebat buat Swiss karena sebagian besar karir saya justru dihabiskan bersama Dortmund,” kata Chapuisat dalam sebuah wawancara dalam situs FIFA.
Ia pensiun dari lapangan hijau pada 2006. Setelah pensiun, ia belum menekuni karir sebagai pelatih kepala. Chapuisat hanya melatih pemain-pemain muda yang berposisi sebagai striker, sama seperti dirinya dulu.
Sumber: Berbagai sumber