Bola.com — Piala Eropa 2016 di Prancis menjadi ajang nostalgia bagi Rusia. Sejarah mencatat, Rusia—saat masih bernama Uni Soviet—adalah juara Piala Eropa edisi perdana yang digelar di Prancis pada 1960. Prestasi itu merupakan salah satu yang terbaik, selain meraih dua emas Olimpiade (1956 dan 1988) dan menjadi semifinalis Piala Dunia 1966.
Advertisement
Baca Juga
Sukses Uni Soviet menjuarai Piala Eropa 1960 semakin lengkap karena mendominasi tim terbaik pilihan UEFA. Lima pemain Uni Soviet yang masuk daftar tim terbaik, antara lain kiper legendaris Lev Yashin, kapten tim Igor Netto, Slava Metreveli, Valentin Ivanov, dan Viktor Ponedielnik.
Pada Piala Eropa 1964 di Spanyol, Uni Soviet masih menjadi tim menakutkan dengan mengandalkan beberapa pemain 1960, seperti Lev Yashin dan Valentin Ivanov. Sayang, pada partai final, Uni Soviet kalah 1-2 dari Spanyol.
Dua edisi Piala Eropa berikutnya, Uni Soviet masih menunjukkan dominasi dengan lolos ke semifinal pada 1968 dan kembali jadi runner-up pada 1972. Uni Soviet lagi-lagi harus puas meraih status juara kedua pada Piala Eropa 1988.
Setelah Uni Soviet pecah pada 1991, muncul timnas CIS (Commonwealth of Independent States ), yang merupakan hasil kesepakatan pecahan Uni Soviet agar tetap ada wakil di Piala Eropa 1992. Tanpa bendera dan lagu kebangsaan, CIS tampil di ajang Piala Eropa 1992, namun terhenti pada penyisihan grup.
Setelah era CIS, Rusia melanjutkan kiprah pada Piala Eropa 1996 di Inggris. Ketika itu, Tim Beruang Merah gagal lolos ke babak perempat final setelah finis di posisi ketiga babak penyisihan Grup C. Rusia kalah bersaing dengan Jerman, Republik Ceska, dan Italia.
Prestasi terbaik yang diraih Rusia setelah era Soviet dan CIS adalah pada Piala Eropa 2008 di Austria-Swiss. Di tangan Guus Hiddink, Rusia berhasil menembus semifinal. Padahal, perjalanan Rusia pada babak penyisihan grup tidak terlalu mulus karena harus bersaing dengan Spanyol di Grup D.
Andrey Arshavin dkk. lolos ke babak delapan besar dengan menjadi runner-up grup. Pada perempat final, Rusia mengalahkan Belanda 3-1 lewat pertarungan dramatis di St. Jakob-Park, Swiss, 21 Juni 2008. Kedua tim bermain imbang 1-1 selama 90 menit. Akhirnya, Dmitri Torbinski dan Andrey Arshavin memastikan kemenangan Rusia lewat gol pada babak perpanjangan waktu.
Pada semifinal, Rusia kembali bertemu dengan Spanyol yang mengalahkan mereka 1-4 pada babak penyisihan grup. Namun, La Roja kembali menang 3-0 lewat gol Xavi Hernandez, Daniel Guiza, dan David Silva.
Rusia melaju ke putaran final Piala Eropa 2016 dengan status runner-up Grup G babak kualifikasi dengan mengumpulkan 20 poin. Rusia yang ditangani Leonid Slutsky akan bertarung di Grup B melawan Inggris, Wales, dan Slovakia.
Bintang:
Alan Dzagoev
Alan Yelizbarovich Dzagoev disebut sebagai pengganti Andrey Arshavin di timnas Rusia, saat tampil pada ajang Piala Eropa 2012. Momen penting yang membuat nama gelandang CSKA Moskow tersebut meroket pada waktu itu adalah ketika membobol gawang timnas Republik Ceska yang dikawal Petr Cech, dalam laga Grup A.
Sayangnya, Rusia terhenti pada babak penyisihan. Sebaliknya, Petr Cech bersama Republik Ceska melaju hingga ke perempat final.
Kendati gagal membawa Rusia lolos dari fase grup Piala Eropa 2012, nama Alan Dzagoev tercatat sebagai pencetak gol terbanyak (tiga gol), bersanding dengan Fernando Torres, Mario Balotelli, Cristiano Ronaldo, dan Mario Mandzukic.
Alan Dzagoev sebenarnya telah bersinar sejak Rusia masih di bawah arahan Guus Hiddink. Ketika masih 18 tahun, dia menjalani debut bersama timnas Rusia pada babak kualifikasi Piala Dunia 2010, 11 Oktober 2008. Hiddink menyebut Dzagoev sebagai pemain cerdas dengan umpan-umpan mematikan.
Sementara itu, Dick Advocaat mendefinisikan Alan Dzagoev sebagai pemain yang ingin terus berkembang secara profesional. Sanjungan dari dua pelatih itu memang dibuktikan oleh pemain kelahiran Beslan, 17 Juni 1990 tersebut pada Piala Eropa 2012. Perannya di timnas Rusia cukup krusial dengan mencetak empat gol dalam babak kualifikasi.
Pada kualifikasi Piala Eropa 2016, Dzagoev hanya mencetak satu gol. Selama babak kualifikasi, untuk urusan mencetak gol, Rusia mengandalkan bomber Zenit St. Petersburg, Artyom Dzyuba. Namun, pengaruh Dzagoev sebagai pengatur serangan tim dan memiliki daya jelajah tinggi masih tetap kuat.
Pelatih:
Leonid Slutsky
Pelatih CSKA Moskow, Leonid Viktorovich Slutsky, ditunjuk menjadi arsitek timnas Rusia, setelah Fabio Capello mundur pada Juli 2015. Rumor yang beredar pada waktu itu, Federasi Sepak Bola Rusia kesulitan membayar gaji Capello dan memilih melakukan penghematan dengan merekrut pelatih lokal.
Keputusan Rusia mengakhiri kerja sama dengan Don Capello juga berdasarkan hasil buruk, setelah kalah 0-1 di kandang dari Austria dalam kualifikasi Piala Eropa 2016.
Sosok sederhana asal Volgograd itu dianggap paling tepat menangani timnas, seiring dengan kebijakan hemat ala sepak bola Rusia, baik dalam aturan liga domestik terkait pemain asing maupun penunjukan pelatih timnas.
Nama Leonid Slutsky memang tak melegenda laiknya pesepak bola Uni Soviet yang lahir pada era 1970-an, seperti Oleg salenko, Vladimir Beschastnykh, atau Viktor Onopko. Karier Slutsky sebagai penjaga gawang sangat singkat. Ia pensiun ketika memperkuat FC Zvezda Gorodishche pada usia 19 tahun akibat cedera.
Bisa dibilang, sebagai pemain, Slutsky lebih dikenal dengan kisah dramatis jatuh dari pohon untuk menyelamatkan seekor kucing, hingga harus menutup karier di lapangan hijau.
Leonid Slutsky, pria tambun berusia 44 tahun mengemban beban cukup berat. Slutsky sebagai pelatih lokal yang meneruskan perjuangan Tim Beruang Merah setelah selama sembilan tahun ditangani pelatih asing, yakni Guus Hiddink (2006-2010), Dick Advocaat (2010-2012), dan Fabio Capello (2012-2015).
Di ajang Piala Eropa 2016, Rusia pun akan berharap banyak dari Leonid Slutsky yang memberikan banyak trofi bersama CSKA Moskow, yakni dua gelar liga, dua trofi juara Russian Cup, dan dua titel Russian Super Cup.
Legenda:
Lev Yashin
Ada lima hal yang mendefinisikan sosok Lev Yashin sebagai kiper legendaris dunia dari Uni Soviet. Pertama, Lev Yashin menggambarkan perjuangan remaja yang bekerja di pabrik militer Soviet saat Perang Dunia II.
Pada waktu itu, dia berusia 12 tahun. Saat bekerja di pabrik, Lev Yashin memanfaatkan waktu senggang bermain sepak bola dengan rekan-rekannya, hingga membawanya ke Dynamo Moskow.
Kedua, dunia tidak perlu lagi meragukan kehebatannya di bawah mistar gawang, khususnya dalam hal menepis tendangan penalti. Dari 812 laga yang dimainkan, Yashin sukses menggagalkan lebih dari 150 penalti.
Kegemilangan Lev Yashin terkenal ke seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia, saat Tim Garuda bersua Uni Soviet pada Olimpiade 1956.
Ketiga, Yashin jadi simbol tim nasional Soviet dengan memberikan gelar juara Piala Eropa 1960 di Prancis dan medali emas Olimpiade 1956 serta tiga kali tampil di Piala Dunia, yakni 1958, 1962, dan 1966.
Lev Yashin diabadikan dalam beberapa benda, seperti koin uang Rusia hingga patung di Rio de Janeiro. Tak hanya itu, Nama Lev Yashin dijadikan nama jalan di Rusia.
Dunia juga mencatat kutipan Lev Yashin yang melegenda, “Kegembiraan melihat Yuri Gagarin terbang di angkasa hanya digantikan oleh sukacita menyelamatkan tendangan penalti."
Lev Yashin disebut sebagai kiper terbaik sepanjang masa karena menjadi satu-satunya kiper yang meraih Ballon d'Or pada 1963. Namanya juga diabadikan sebagai penghargaan untuk kiper terbaik dunia, Lev Yashin Awards.
Lev Yashin semakin melegenda dengan akhir kehidupannya yang menyedihkan. Pemain berjuluk The Black Spider itu mengakhiri karier dengan sangat tragis, yakni mengalami cedera lutut pada 1971. Akibat cedera itu, 15 tahun kemudian salah satu kakinya diamputasi karena terjadi komplikasi. Pada 20 Maret 1990, Lev Yashin wafat pada usia 60 tahun karena penyakit kanker.
Sumber: Berbagai sumber