Bola.com — Italia adalah tim spesialis turnamen besar. Menapakkan kaki ke ajang besar seperti Piala Dunia atau Piala Eropa tak dirayakan berlebihan oleh publik Italia yang menganggap momen tersebut sebagai rutinitas.
Advertisement
Baca Juga
Tim yang pernah identik dengan taktik Catenaccio atau pertahanan gerendel ini telah mengoleksi empat gelar di ajang Piala Dunia, pada 1934, 1938, 1982, dan 2006. Adapun di kancah Piala Eropa, prestasi Gli Azzurri memang tidak terlalu mentereng, baru mengukir satu gelar juara pada 1968.
Kedigdayaan tim Negeri Pizza menembus turnamen besar kembali dibuktikan pada kualifikasi Piala Eropa 2016. Gianluigi Buffon dkk lolos ke turnamen yang bakal berlangsung di Prancis tersebut dengan meyakinkan.
Italia menyegel tiket ke putaran final Piala Eropa 2016 dengan memuncaki Grup H, unggul empat angka atas peringkat kedua, Kroasia. Posisi ketiga ditempati Bulgaria yang berselisih lima poin dari Italia.
Italia tak tersentuh kekalahan sepanjang kualifikasi. Tim yang masih diperkuat figur-figur senior seperti Andrea Pirlo dan Gianluigi Buffon tersebut membukukan enam kemenangan dan tiga kali imbang dari sembilan pertandingan yang dijalani. Ini kali ketujuh beruntun Gli Azzuri melenggang ke putaran final Piala Eropa.
Partisipasi Italia di ajang Piala Eropa 2016 dibayangi optimisme sekaligus kekhawatiran. Optimisme datang dari fakta Italia tampil mengesankan pada Piala Eropa empat tahun lalu. Dibayangi krisis ekonomi yang melanda dalam negeri, skuat Italia justru lolos hingga ke babak final.
Sayangnya, performa apik tersebut gagal ditutup dengan trofi Piala Eropa untuk kali kedua. Italia malah dipaksa bertekuk lutut dengan skor telak 0-4 kontra juara bertahan Spanyol, pada laga final di Kiev.
Sebaliknya, kekhawatiran apa yang membayangi publik Italia? Fans Gli Azzurri belum bisa melupakan petaka yang terjadi setahun lalu pada ajang Piala Dunia 2014 di Brasil. Tim sekelas Italia harus menghadapi kenyataan pahit tersingkir pada babak grup dalam dua Piala Dunia beruntun.
Kegagalan tersebut jadi aib besar bagi timnas Italia, tak pernah terjadi dalam setengah abad terakhir. Citra Italia sebagai tim spesialis turnamen besar pun terancam digugat jika kondisi tersebut tak kunjung dicari solusinya.
Beruntung, Italia mampu bangkit dengan tampil brilian sepanjang kualifikasi. Namun, pelatih timnas Italia, Antonio Conte, sadar sedang menghadapi tantangan besar di Prancis nanti.
Salah satu bintang paling berpengaruh dalam tim, Andrea Pirlo, telah memasuki masa senja. Apesnya, talenta muda seperti Mario Balotelli, yang awalnya diprediksi bakal menjadi bintang, malah terus melakukan bergulat dengan kontroversi dan kekonyolan.
Sudah 48 tahun Italia puasa juara Piala Eropa. Kans mengakhiri dahaga terbuka lebar pada tahun ini. Berbekal performa impresif sepanjang kualifikasi publik Italia berharap banyak pada tim besutan Antonio Conte. Namun, Italia tetap harus waspada. Jika tidak, pengalaman kelam di Brasil dua tahun lalu bukan tak mungkin bisa terulang kembali.
Bintang:
Andrea Pirlo
Italia memiliki seorang mastro lapangan tengah dalam diri Andrea Pirlo. Pemain kelahiran Flero, Italia, 19 Mei 1979, ini disegani para lawan berkat kontribusi vitalnya dalam memberikan umpan-umpan indah dan tendangan bebas yang mematikan.
Usia tak mudah merenggut skill menawan Pirlo. Buktinya, meski pada tahun ini usianya sudah menginjak 37 tahun, publik Italia masih menyampirkan harapan besar ke pundak Pirlo. Dia digadang-gadang bisa membawa Italia menyudahi puasa gelar Piala Eropa yang sudah berlangsung hampir 50 tahun, seperti yang dilakukannya 10 tahun silam.
Berkat umpan-umpan indah dan kejeniusannya, Gli Azzuri sukses menjuarai Piala Dunia 2006. Gelar tersebut terasa manis karena Italia berangkat saat skandal pengaturan skor tengah mengguncang kompetisi dalam negeri.
Pirlo mengawali karier profesionalnya bersama Brescia pada 1994, sebelum hijrah ke Inter Milan pada 1998. Petualangan pria berzodiak Taurus tersebut di Tim Biru Hitam jauh dari mengesankan, diwarnai dua kali dipinjamkan ke klub lain.
Peruntungan Pirlo berubah drastis sejak menyeberang ke sisi merah kota Milan pada 2001. Bersama AC Milan, Pirlo menemukan sentuhan emasnya. Tim berjuluk Rossoneri tersebut diantarnya merengkuh dua gelar Seri A, serta berjaya di Piala Super Eropa, dan Liga Champions.
Pirlo menikmati puncak kesuksesan bersama Timnas Italia pada Piala Dunia 2006. Berkat umpan-umpan briliannya, Gli Azzurri merengkuh gelar juara dunia untuk kali keempat, hanya kalah dari Brasil yang mengantongi lima titel.
Meskipun masih menjadi pemain yang sangat efektif pada usia yang menginjak kepala tiga, AC Milan tak memperpanjang kontraknya. Pirlo memutuskan menyeberang ke Juventus pada 2011. Hasilnya, dia sukses mengantar Juventus meraih back to back mahkota Seri-A dan juara Piala Super Italia.
Pemain veteran tersebut juga membuktikan berperan vital bagi Italia di ajang Piala Eropa 2012. Gli Azzurri dinobatkan sebagai Team of Tournament meskipun keok 0-4 dari Spanyol pada partai final.
Piala Eropa 2016 kemungkinan bakal menjadi yang terakhir bagi Pirlo. Skill, kecerdikan, dan umpan-umpan mematikan pemain yang kini New York City FC bisa menjadi kunci Gli Azzuri untuk kembali menguasai Benua Biru.
Pelatih:
Antonio Conte
Antonio Conte memanggul beban berat saat ditunjuk menggantikan Cesare Prandelli pada 14 Agustus 2014. Mendung hitam masih menyelimuti tim dan publik Italia setelah Gli Azzurri tersingkir dari babak penyisihan grup Piala Dunia 2014. Kegagalan itu memicu mundurnya Prandelli dan Presiden Federasi Sepak Bola Italia (FIGC).
Conte membesut Italia tanpa modal memadai di level internasional. Piala Eropa 2016 bakal menjadi debut pria berusia 46 tahun tersebut sebagai pelatih timnas. Meski demikian, karier Conte di level klub cukup harum. Juventus dibawanya tiga kali juara Seri A dan dua kali menjadi kampiun Supercoppa Italia.
Petualangan mantan pelatih Siena dan Bari tersebut di Timnas Italia ternyata berjalan mulus. Gli Azzurri sukses menyegel satu tiket ke putaran final Piala Eropa 2016 dengan berstatus juara grup. Tiket ke Prancis diamankan saat babak kualifikasi masih menyisakan satu pertandingan.
Satu fase berat telah berhasil dilewati Conte. Namun, tantangan ke depan tak kalah terjal. Meskipun lolos sebagai juara grup, Italia tetap berstatus underdog gara-gara ranking FIFA mereka. Italia masuk Pot 2 saat pengundian fase grup. Hasilnya, Gli Azzurri bergabung ke grup yang cukup keras bersama Swedia, Republik Irlandia, dan Belgia.
Tantangan Italia bukan hanya itu. Kemampuan Conte ternyata masih dipertanyakan. Publik belum sepenuhnya yakin sang arsitek telah membawa Italia ke level lebih baik dibanding dua tahun lalu.
Dalam 16 pertandingan di bawah racikan Conte, Italia menang sembilan kali dan kalah lima kali, serta dua kali kalah pada partai persahabatan. Namun, performa Gianluigi Buffon dkk jauh dari impresif, bahkan cenderung membosankan, saat menang atas tim-tim yang lebih kecil seperti Azerbaijan, Albania, Bulgaria dan Malta.
Kritikan publik Italia tak membuat Conte berkecil hati. Pria yang dulu berposisi sebagai gelandang itu yakin perpaduan talenta muda dan para pemain berpengalaman di skuat Gli Azzurri cukup untuk membuat “kehebohan” di Prancis.
Akan tetapi, Conte harus ingat, kehebohan saja tak cukup bagi publik Italia yang terkenal tajam dalam melontarkan kritik. Di mata fans Gli Azzuri, kesuksesan sama artinya dengan gelar juara. Tak lebih dan tak kurang.
Legenda:
Dino Zoff
Dino Zoff adalah satu di antara kiper terbaik dalam sejarah sepak bola dunia. Sosoknya bagaikan anomali saat dipercaya menjadi kapten Timnas Italia. Pada masa itu, kiper yang merangkap sebagai kapten masih langka dan istimewa.
Namun, Zoff memang pantas mendapat kehormatan tersebut. Dia mengukir banyak rekor bersama Italia maupun di kancah sepak bola dunia. Penjaga gawang yang pernah memperkuat Juventus, Napoli, dan Udinese tersebut adalah pemain tertua yang menjuarai Piala Dunia.
Pada 1982, saat usianya 40 tahun 4 bulan dan 13 hari, Zoff sukses memenangi Piala Dunia sebagai kapten Italia.
Pria kelahiran 28 Februari 1942 tersebut juga tercatat sebagai kiper yang paling lama membukukan clean sheets alias tak kebobolan, mulai September 1972 hingga Juni 1974. Gawang Zoff tak kebobolan selama 1.142 menit! Rekor mengesankan Zoff tersebut patah di tangan Haiti, pada perhelatan Piala Dunia 1974.
Melihat rekam jejaknya yang mengilap, tak banyak orang mengetahui dulunya keluarga Zoff sangat mengkhawatirkan tinggi badan sang penjaga gawang. Berbagai cara dilakukan keluarganya supaya tinggi badan Zoff bertambah. Sang nenek bahkan sampai memaksanya makan delapan butir telur sehari.
Di sisi lain, sang ayah menyuruh Zoff menjadi mekanik karena tak yakin sepak bola cocok untuk putranya itu. Namun, semua kekhawatiran tersebut berhasil ditepis Zoff. Pada akhirnya Zoff bisa mencapai tinggi badan cukup ideal, 182 cm dan membangun karier gemilang di dunia sepak bola.
Zoff menghabiskan mayoritas kariernya di Napoli dan Juventus, serta mencatat 112 caps bersama Gli Azzurri. Pada 1968 dia menjadi bagian skuat Timnas Italia yang menjuarai Piala Eropa.
Namun, dua tahun berselang dia tak dipanggil memperkuat Italia di ajang Piala Dunia di Meksiko. Gawang Italia dijaga oleh Enrico Albertosi yang membantu tim lolos ke final, namun gagal berbuah gelar juara.
Pada 1974, Zoff comeback ke timnas, tetapi Italia tersingkir di fase grup. Empat tahun berselang, Italia berstatus sebagai favorit juara di Piala Dunia 1978. Zoff juga kembali berdiri di bawah mistar gawang. Namun, lagi-lagi Azzurri gagal menuntaskan misi sebagai juara meskipun sempat mengalahkan tim tangguh Argentina pada fase grup. Gli Azzurri pun gagal lolos ke final dan juga kalah dalam laga perebutan medali perungggu kontra Brasil.
Puncak karier Zoff terjadi pada 1982. Pada Piala Dunia terakhirnya, Zoff merengguk kesuksesan. Setelah start lamban pada fase grup, Gli Azzurri mampu mengalahkan Argentina, Brasil, Polandia, dan Jerman Barat secara beruntun dan akhirnya menjadi kampiun.
Sumber: Berbagai sumber