Bola.com, Jakarta - Dalam sepak bola ada sebuah prinsip dasar yang dianut tim nasional Belanda pada era 1970-an, yakni "pertahanan terbaik adalah menyerang". Sebuah filosofi yang menjelaskan bahwa kecil kemungkinan sebuah tim akan kalah bila menguasai pertandingan dan terus menggempur pertahanan lawan.
Prinsip tersebut akan berjalan dengan baik apabila sebuah tim memiliki para pemain dengan kemampuan menyerang di atas rata-rata. Tetapi sebaliknya, hal itu tidak akan cocok untuk tim yang mempunyai banyak pemain bertipe bertahan.
Advertisement
Baca Juga
Diego Simeone mungkin sadar dengan kekuatan timnya saat kali pertama ditunjuk sebagai pelatih Atletico Madrid pada Desember 2011. Ketika itu, skuat yang dimiliki Los Colchoneros diisi mayoritas para pemain dengan kemampuan bertahan yang baik.
Hanya segelintir pemain yang diandalkan Simeone untuk menggempur pertahanan lawan, seperti Radamel Falcao, Diego Ribas da Cunha, Arda Turan, ataupun Adrian Lopez. Sisanya, Simeone mempunyai barisan gelandang yang piawai mematahkan serangan musuh dari lini kedua.
Pada debutnya bersama Atletico Madrid menghadapi Malaga, Simeone menggunakan formasi 5-4-1. Formasi yang tak lazim dipakai pada sepak bola Spanyol yang kebanyakan justru menggunakan 4-2-3-1. Skema lima pemain bertahan seakan sudah ketinggalan zaman.
Hasil imbang tanpa gol menghiasi laga pertama Simeone sebagai pelatih di Negeri Matador. Dari situ, sudah tercermin jika Simeone akan memainkan sepak bola yang meminimalisasi timnya dari kebobolan, yakni bertahan sebaik mungkin!
Percaya terhadap diri sendiri
Menilik kiprah Simeone saat membesut Estudiantes pada 2006, dia dihadapkan pada laga penentuan kontra Boca Juniors di Liga Argentina. Di atas kertas, komposisi para pemain Estudiantes jauh tertinggal dari Boca Juniors yang mengandalkan Rodrigo Palacio. Namun, Simeone tak patah arang memotivasi para pemain serta para suporter Estudiantes.
"Jika para suporter tidak yakin kami bisa mengalahkan Boca Juniors, maka mereka tidak perlu datang ke stadion," kata Simeone saat itu.
"Saya tidak tahu secara pasti apa yang akan terjadi nanti. Namun, saya meyakinkan Agustin Alayes bahwa dia bisa mematikan pergerakan Palacio. Tidak ada pilihan lain, dia harus mengawal ketat Palacio," ujar Simeone untuk memotivasi bek Estudiantes.
Hasilnya, publik Estudiantes bersuka cita karena melihat tim kesayangannya mampu menjadi juara Liga Argentina untuk kali pertama dalam 23 tahun terakhir.
Motivasi serupa dilakukan Simeone pada laga Piala Super Eropa 2012 melawan Chelsea. Kali ini, Simeone sudah menangani Atletico Madrid. Saat itu, Chelsea lebih diunggulkan karena memiliki para pemain kelas dunia, seperti Frank Lampard, Petr Cech, Eden Hazard, ataupun Fernando Torres yang notabene eks bintang Los Colchoneros.
"Apa yang saya katakan kepada tim? Saya hanya bilang bahwa Chelsea bukan tim yang tidak bisa dikalahkan. Jika ada satu dari 100 kesempatan yang ada, maka kami akan berusaha memaksimalkannya," tutur pelatih asal Argentina itu.
Kehebatan kata-kata Simeone membangkitkan semangat juang para pemain Atletico Madrid. Tak tanggung-tanggung, Los Rojiblancos menghantam juara Liga Champions itu dengan skor 4-1!
Hampir empat tahun setelah itu, Atletico Madrid tetap dianggap sebagai salah satu tim paling membosankan karena gaya defensif yang diterapkan Simeone. Meskipun, secara statistik, Gabi Fernandez dan kawan-kawan merupakan tim ketiga yang paling banyak membobol gawang lawan di La Liga pada musim ini.
Hanya Barcelona dan Real Madrid yang mencetak gol lebih banyak ketimbang Atletico Madrid. Terasa wajar karena kedua tim tersebut saat ini memiliki para pemain dengan mental menyerang yang baik.
"Kami tidak peduli dengan perkataan orang-orang mengenai gaya permainan kami. Terpenting, gaya tersebut sangat cocok untuk kami," kata striker Antoine Griezmann yang justru mampu mencetak 32 gol sepanjang musim ini.
Strategi bertahan memang tidak selalu digunakan Simeone dalam setiap pertandingan. Sang pelatih hanya menginstruksikan para pemainnya untuk mengandalkan serangan balik saat menghadapi lawan-lawan dengan penguasaan bola baik, seperti Barcelona, Real Madrid, ataupun Bayern Munchen.
"Saya mengatakan kepada pemain lebih memilih cara bermain menyerang namun kami terdegradasi atau bermain efektif untuk menjadi juara. Semua pemain lebih memilih opsi kedua," tutur Simeone.
Petarung lapangan hijau
Mengenal Atletico Madrid semenjak dilatih Simeone, ibarat melihat para petarung yang siap mati-matian menjaga bentengnya dari serangan musuh. Bukan tanpa alasan, menurut Whoscored, Los Colchoneros merupakan tim dengan rataan tekel tertinggi di La Liga sepanjang musim ini.
Hal itu cukup menandakan kekuatan Atletico Madrid dalam mematahkan serangan lawan. Ditambah, gawang yang biasa dikawal Jan Oblak hanya kebobolan 18 dari 38 pertandingan. Jumlah itu menjadi yang paling sedikit dibandingkan 19 kontestan La Liga lain.
Berbagai formasi telah digunakan Simeone sejak menangani Atletico Madrid. Namun, formasi 4-4-2 terbukti menjadi yang paling sering dipakainya selama hampir lima tahun berada di Vicente Calderon.
Dalam strategi itu, pertahanan awal justru dilakukan dua penyerang. Los Rojiblancos juga mengandalkan dua gelandang tengah sebagai pemutus serangan lawan. Posisi tersebut biasa diberikan kepada Gabi Fernandez dan Saul Niguez.
Namun, bukan hanya kedua pemain itu yang piawai berperan layaknya gladiator di lapangan. Thomas Partey, Augusto Fernandez, Tiago Mendes, Matias Kranevitter, hingga Koke bisa silih berganti menutup sektor tengah permainan.
"Saya tidak ingin ada pemain yang menjadi pusat perhatian. Jika ada pemain yang tidak bisa menjalankan peran, maka posisinya akan diganti pemain lain. Tidak ada jaminan bagi setiap pemain untuk tampil. Bila lengah, Anda akan kehilangan posisi," kata Simeone.
Impian besar
Pada akhir musim ini, Atletico Madrid sudah masuk jajaran klub yang mampu merusak dominasi klub-klub besar Eropa. Namun, belum ada jaminan Los Colchoneros akan meraih gelar.
Atletico Madrid dipastikan gagal membawa trofi La Liga dan Copa del Rey. Harapan satu-satunya tinggal final Liga Champions 2016. Los Rojiblancos akan berjumpa rival sekota, Real Madrid, di San Siro, Milan, Sabtu (28/5/2016).
Dari rekor pertemuan kedua tim musim ini, Atletico Madrid mendapatkan hasil lebih baik ketimbang Real Madrid. Torehan satu kali imbang di Vicente Calderon, dan raihan satu kemenangan di Santiago Bernabeu, bisa menjadi modal bagi Griezmann dan kawan-kawan saat menghadapi Real Madrid.
Laga nanti juga bisa menjadi pembalasan Atletico Madrid. Pada final Liga Champions 2013-2014, pasukan Simeone menyerah 1-4 melalui babak perpanjangan waktu. Yang menyakitkan, Atletico Madrid sempat unggul hingga akhirnya skor disamakan pada menit ke-90+3, yang membuat dilanjutkan ke babak perpanjangan waktu.
Selama klub berdiri 113 tahun lalu, Atletico Madrid belum pernah sekalipun merasakan gelar juara Liga Champions. Catatan terbaik hanya sebatas menjadi runner-up pada edisi 1973-1974 dan 2013-2014.
Impian besar untuk mengangkat trofi Liga Champions ada di depan mata. Dengan semakin padunya para pemain di bawah asuhan Simeone, harapan itu bisa jadi bukan hanya angan-angan belaka. Tampil disiplin, penuh konsentrasi, dan efektif akan menjadi kunci Atletico Madrid demi menaklukkan Real Madrid.
"Kenali diri sendiri dan lawan, maka Anda tidak akan mendapat musibah dalam ribuan kali pertarungan." - Sun Tzu (Ahli strategi perang China)
Sumber: Berbagai sumber